Berita yang Tersebar

"Bu, Bu, tau tidak? Kemarin saya lihat Bu Asih sama Fania ke klinik dekat pasar itu." Bu Yuni memulai acara perghibahan pagi ketika sampai pada tukang sayur keliling yang biasa mangkal di depan komplek.

''Bu Yuni kayak gak pernah lihat orang ke klinik aja. Berarti salah satu dari mereka ada yang sakit." Ibu-ibu muda yang tepat berada di sampingnya menimpali sembari tangan memilah beberapa jenis sayuran, sedangkan dua ibu-ibu lainnya mengangguk tanda menyetujui.

''Eh, saya belum selesai. Si Fania sama Bu Asih masuk ke Poly Kandungan, buat apa coba?" tanya Bu Yuni.

Sontak ketiga orang yang berada di dekatnya menghentikan kegiatan masing-masing. Mereka kompak memberi isyarat melalui tatapan mata.

''Mungkin Bu Asih mau ngasih adek lagi buat anak-anaknya." Bu Dedeh berseloroh.

''Si Asih mah udah tua, kalau Bu bidan biasanya nyebut manu ... manu ... Apa ya? Aish, meni lupa pisan padahal baru kemarin dikasih tau. Si Asih ‘kan seumuran cece'," ujar Bu Rahmah yang kental dengan gelagat sundanya.

''Menopause, Ce." Anita si ibu muda membenarkan.

''Nah, itulah namanya. Meni belibet pisan ngucapnya," jawab Bu Rahmah diiringi cengiran khasnya, ''Tapi kalau bukan si Asih terus siapa? Masa si Fania, gak mungkin atuh. Dia ‘kan belum kawin," sambungnya lagi.

''Mungkin Bu Yuni salah lihat," timpal Bu Dedeh yang kurang mempercayai ucapan tetangganya.

''Astaga, Bu. Sumpah! Saya melihat dengan jelas. Pas saya mau nebus obat si bapak gak sengaja lihat dua orang itu masuk ke Poly Kandungan. Jangan-jangan si Fania...." Bu Yuni tidak melanjutkan ucapannya, melainkan memberi isyarat perut buncit menggunakan tangannya.

''Gak mungkin ah, Bu. Saya tau betul si Fania itu gadis seperti apa. Dia bukan gadis seperti itu." Anita membantah tuduhan itu.

''Eh, Nita. Kamu jangan ketipu sama topeng luarnya. Jaman sekarang banyak wanita yang berlagak polos, taunya di belakang kita ... Ih, amit-amit." Bu Yuni mengetuk pelan pelipis dan gerobak bergantian.

Mamang tukang sayur yang sejak tadi menyimak perghibahan mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Dia tidak peduli asal setelah ini, ibu-ibu itu akan membeli dagangannya.

Tanpa mereka sadari, Efendi yang tidak sengaja melintas sempat mendengar berita itu. Pria paruh baya itu segera bergegas ke rumah untuk memastikan kebenarannya.

...----------------...

"Asih, Asih, sini kamu!"

Asih berlari tergopoh-gopoh menghampiri teriakan suaminya yang berasal dari arah dapur. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, suara Efendi menggema di seluruh penjuru rumah mengagetkan Asih yang masih membersihkan teras depan. Mungkin para tetangganya juga bisa mendengar keributan itu.

''Ada apa? Astaga!" Asih tak bisa menutupi keterkejutannya saat melihat keempat benda kecil ada di genggaman suaminya.

Dia lupa membuang benda itu karena terburu-buru sewaktu akan ke klinik kemarin. Beruntung bukan kedua anak kembarnya yang menemukan.

''Milik siapa ini? Apa milikmu?" tanya Efendi masih dengan nada yang sama.

Asih meneguk ludahnya kelat, lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Tidak mungkin dia berbohong karena dirinya pun sudah memasuki waktu menopause sejak dua bulan yang lalu.

''Jawab! Mendadak bisu kamu," sentak Efendi yang membuat Asih menutup mata seketika.

''I-itu...."

''Ada apa sih, Pak, Bu? Pagi-pagi sudah ribut, malu didengar tetangga," tegur Fena menghampiri kedua orang tuanya.

''Ini, bapak menemukan benda ini. Milik siapa ini? Apa milikmu?" Efendi berganti mencecar putri bungsunya.

''Amit-amit, Pak. Itu bukan punyaku. Mungkin ibu mau ngasih adek lagi."

Fania mulai mengerjapkan mata ketika mendengar keributan itu. Dengan malas dia turun dari tempat tidur untuk menghampiri sumber suara. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu ketika mendengar suara lantang sang ayah.

''Jadi, ini milik Fania. Di mana anak pembawa aib itu? Biar ku hajar dia. Bisa-bisanya membuat malu keluarga."

''Pak, jangan, Pak. Fania hanya korban. Dia gak salah," ratap Asih dengan suara menahan tangis.

Fania mengurungkan niatnya untuk keluar kamar. Dia memilih masuk kembali, lalu mengunci pintu. Dia meringkuk bersandar pada pintu, kedua tangannya digunakan untuk menutup kedua telinganya. Sungguh, dia tidak siap menerima amukan sang ayah.

Dia masih belum bisa menerima kenyataan justru sekarang di hadapkan pada masalah yang semakin rumit.

''Kau tau, Sih. Para tetangga mulai membicarakan tentangnya. Ada yang melihatmu sama anak itu masuk ke Poly Kandungan. Mereka sudah curiga. Aku malu, Sih, malu!"

''Iya, aku paham dengan yang perasaanmu, Mas. Tapi mau bagaimana lagi, putri kita adalah korban. Dia tidak salah. Fania juga belum bisa menerima kenyataan ini.''

''Kita ini sudah miskin! Setidaknya kita harus punya harga diri. Tapi lihat apa yang anak itu lakukan! Dengan sengaja, dia melempar kotoran di mukaku. Anak tidak tau diuntung!"

Fania semakin merapatkan kedua tangannya pada telinga. Dia tidak tahan mendengar semua itu. Pertengkaran itu terdengar sangat jelas karena berada tepat di depan pintu kamar.

Air matanya mengalir deras tanpa bisa dicegah. Dia merutuki nasibnya yang begitu malang. Dia merasa seperti anak yang tidak berguna. Berkali-kali, Fania memukuli perut ratanya berharap janin itu bisa keluar.

"Jika dia tidak bisa menemukan pria yang menghamilinya, maka gugurkan janin itu."

Setelahnya Fania bisa mendengar suara benda dibanting keras entah itu vas bunga atau gelas. Dia tidak peduli, pikirannya benar-benar kalut saat ini.

...----------------...

''Kalian dengar, ‘kan, Ibu-ibu? Dugaanku ternyata benar. Berarti yang saya lihat kemarin benar-benar Fania." Bu Yuni berusaha memperdaya kedua tetangganya yang tidak lain Bu Dedeh dan Bu Rahmah.

Ketiga wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya saat melewati rumah Fania. Mereka bisa mendengar jelas keributan yang ada di dalam sana, bahkan sempat melihat Efendi keluar dengan sisa kemarahannya.

''Cece teh masih tidak percaya kalau Fania seperti itu. Tapi apa yang cece' dengar barusan...." Bu Rahmah tidak mampu melanjutkan ucapannya.

Dia masih belum mempercayai kenyataan ini.

''Wah, tidak bisa dibiarkan ini. Kita mesti melakukan sesuatu sebelum si Fania menggoda suami kita." Bu Dedeh bersuara.

''Saya setuju dengan Bu Dedeh, selain itu dia juga sudah mencoreng lingkungan kita." Bu Yuni menimpali dengan nada menggebu-gebu.

''Tidak mungkin kalau cuma melakukan sekali bisa hamil. Pasti si Fania sudah melakukannya berkali-kali. Saya juga sering melihat Fania pulang tengah malam. Dari mana coba? Kerja macam apa itu, sampai tengah malam kadang pagi baru pulang," sambung Bu Yuni.

Dia yang memang sejak lama tidak menyukai keluarga Asih terutama Fania pun maju di garda terdepan. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menjatuhkan martabat keluarga itu dari lingkungan tempat tinggalnya.

Terpopuler

Comments

Rosita Tumbelaka

Rosita Tumbelaka

Jgn kuatir..ini sfh bagus dan sopan tata bahasanya...Ayoo teruskan bakagmu...jgn patah semangat...betjuanglah...

2023-07-02

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!