... "Hati terasa sangat begitu sakit jika kita dipaksa untuk berpisah dengan orang yang sangat begitu kita cintai, dan hati akan semakin terasa tersiksa jika kita dipaksa untuk menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai."...
Menjelang malam tangisan Melody tak kunjung berhenti, dadanya terasa sangat begitu sesak. Masalah hidupnya kini kian bertambah, belum usai dengan kepergian sang kakak kini ia juga harus menerima kenyataan pahit dalam perjalanan asmaranya. Eric marah besar, kecewa dan langsung pergi begitu saja meninggalkannya siang tadi tanpa sebuah senyuman dan tanpa sebuah kata. Yang terlihat darinya sebelum Eric pergi adalah rahang mengeras, giginya bergemeletuk dan sepasang matanya yang terlihat tajam tapi terdapat kesedihan di dalamnya. Semua itu tak terlepas dari kejujuran yang telah Melody katakan padanya.
Melody berbaring di tempat tidur dengan kedua mata menatap langit-langit kamar, sementara kedua bola matanya berselimut lapisan bening yang kini mengalir semakin deras dengan tubuh yang meronta-ronta karena merasakan dada yang sangat begitu sesak dan perih. Ulu atinya seperti disayat oleh sebilah pedang yang membuatnya terasa sangat sakit dan ngilu.
Dulu hidupnya terasa sangat mudah, namun entah mengapa semuanya berubah dengan sekejap mata. Melody tak bisa melakukan apapun, sekalipun untuk brontak dan membantah pun ia tak bisa. Memikirkan banyak hal di kepalanya membuatnya sama sekali tak kunjung merasa tenang dan rasanya ia ingin lari dari kenyataan yang ada.
Melody beringsut dan duduk di tepi ranjang lalu tangannya pun menggapai frame photo yang tergeletak di atas meja nakas samping tempat tidurnya. Dan tampak terlihat jelas bagaimana potret Adelia yang terlihat cantik kala ia masih sehat, Melody memeluk photo itu erat. Lagi, air mata yang menggantung itu pun kembali menetes. Setelah kepergian sang kakak hingga sampai detik ini pun Melody sama sekali belum bisa merelakan, ia berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi buruk tapi semakin ia menepisnya ia malah semakin frustasi.
Tiba-tiba suara pintu kamarnya terdengar sedang dibuka, Melody sama sekali tak ingin melihat siapa yang datang ke kamarnya. Sampai akhirnya ia pun merasakan gerakan di samping tempat tidurnya yang diduduki seseorang.
"Ibu minta maaf." suaranya terdengar penuh sesal lalu satu tangannya pun terulur mengusap puncak rambut Melody dengan lembut.
Mendengar ibunya berbicara demikian, Melody hanya bisa memejamkan mata seiring butiran air mata itu kembali menetes membasahi pelupuk pipinya.
"Seharusnya Ibu dan Ayah tidak perlu menyetujuinya, tapi Ibu dan juga Ayah tidak punya pilihan lain karena semua itu keinginan kakakmu." sang Ibu mengelus bahu Melody dengan penuh kasih sayang disertai dengan suara isakan yang terdengar di telinga Melody saat ini.
Melody tak punya alasan kuat untuk menyalahkan kedua orang tuanya ataupun menyalahkan sang kakak, karena mungkin ia hanya bisa menganggap semua yang terjadi padanya hanyalah takdir. Melody duduk menyamping lalu menatap ibunya dengan tatapan sendu sebelum akhirnya ia berhambur memeluk sang Ibu seraya menangis sesegukan.
"Tapi aku tidak mencintainya, Bu." protes Melody di sela isakan.
"Cinta akan berjalan seiring berjalannya waktu, percayalah." ucap sang Ibu lirih seraya mencium puncak rambut putrinya.
Sementara Melody masih saja sesegukan. "Aku tidak percaya kalau aku akan menikah dengan calon kakak iparku, Bu. Rasanya sangat begitu aneh dan aku sama sekali tidak bisa melakukannya." lirih Melody seraya menahan rasa sesak yang semakin melingkupi ruang kalbunya saat ini.
"Lakukanlah karena semua ini permintaan terakhir kakakmu," ujar sang Ibu seraya membelai rambut panjang milik Melody dengan tangisan tertahan.
Melody melepaskan pelukan itu, lalu dengan cepat ia pun menghapus air matanya dengan punggung tangannya, tapi air mata itu malah semakin mengucur deras dan tak mau berhenti sedikitpun.
Lalu detik berikutnya Melody hanya bisa diam dan ia tidak mengatakan apapun lagi. Dan kini netra nya sama sekali tak teralihkan dari frame dengan potret sosok Adelia yang kini masih ada di genggaman tangannya.
"Nak, kamu harus tetap menikah dengan Mas Aldi untuk menggantikan kakakmu. Persiapkan dirimu, Nak." pinta sang Ibu yang membuat himpitan itu semakin mendesak Melody semakin pekat dalam pilu yang tak kunjung berhenti dan malah semakin menghampirinya dengan begitu bertubi-tubi.
Akan tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Melody inginkan, dulu dalam bayangannya ia hanya ingin menikah dengan Eric sang pujaan hati, dalam pelaminan yang megah dan kebahagiaan yang sempurna, karena mimpi indah itu adalah idamannya. Namun kenyataan kali ini telah berhasil menenggelamkan semua mimpi-mimpinya dalam sekejap, bagaikan ia terjatuh dengan begitu keras dalam ketinggian yang terasa sangat begitu menyakitkan.
Dengan berat hati, ia harus menerima permintaan terakhir dari kakaknya meskipun sebenarnya ia ingin menolak, namun setelah berulang kali ia membaca surat wasiat yang ditulis tangan oleh kakaknya secara langsung, tentu hal itu membuat hati Melody tak tega dan dilema. Meskipun semuanya terasa sangat begitu sulit karena bayang-bayang Eric yang selalu mendominasi dan seringkali menghantui pikirannya.
Sang Ibu bangkit dari posisi sebelumnya, tangannya terulur lalu mengusap kembali puncak rambut Melody dengan seulas senyuman sendu sebelum akhirnya ia pergi dari kamar Melody tanpa kata lagi. Mungkin ibunya juga merasakan tekanan yang dirasakan Melody saat ini, namun semuanya tak ada pilihan lain.
Melody langsung menutup wajah dengan kedua tangannya, ia menangis histeris. Dan tiba-tiba saja isi dari wasiat itu terasa menggema di kedua telinga Melody saat ini, seolah-olah menjadi pengingat bahwa pernikahan itu harus tetap terjadi.
Jika aku jadi kamu, aku pasti akan bersyukur. Karena kamu memiliki raga yang kuat dan jiwa yang begitu tegar. Tidak seperti aku yang tampak lemah bagai mayat hidup sekarang. Dan apa kamu tahu, Melody? Aku sangat begitu menyayangimu, kamu adalah adik yang baik, dan juga patuh. Betapa aku sangat bangga padamu, jika saja aku tidak sakit seperti ini, aku bisa mewujudkan mimpiku untuk menikah dengan Mas Aldi. Rencana menikah itu akan dilakukan pada tahun ini, dan kami sudah saling berjanji untuk menikah. Ayah dan Ibu juga sudah tahu, dan kau juga sudah tahu 'kan rencana ini? Lalu apa kamu mau membantuku untuk mewujudkan mimpiku pada tahun ini, Melody? Ini adalah permintaan terakhirku, aku harap kamu bisa membantuku untuk mewujudkannya. Menikahlah dengan Mas Aldi, ini demi aku. Jika kamu membantuku, aku pasti sangat berbahagia nanti. Aku yakin kamu tak ingin melihatku bersedih 'kan? Jadi, aku ingin minta tolong padamu dan bantu aku, ya? Please! Menikahlah dengan Mas Aldi, aku mencintaimu ... sangat! Salam hangat dari kakakmu, Adelia.
Surat wasiat itu begitu terngiang-ngiang di telinga Melody bagaikan mantra yang hinggap di kedua telinganya dan tak mampu menghilang begitu saja. Bahkan, ia bisa merasakan bagaimana ekspresi Adelia jika ia berbicara langsung padanya tanpa menggunakan surat. Mungkin ekspresi memohon akan terpatri jelas di raut wajahnya dengan disertai seulas senyuman pahit yang terlihat dari bibir pucatnya. Adelia memohon untuk menggantikan posisinya untuk menikah dengan Aldi. Dan jika Melody setuju, apakah Aldi juga akan menyetujui hal itu?
Dan bahkan sekelebat memori tentang Eric muncul secara bersamaan dengan senyumannya manisnya yang terpatri di wajah tampannya, serta perlakuannya yang sangat begitu romantis yang telah berhasil menjadikannya bak ratu. Detik itu, tubuh Melody meluruh ke lantai, ia mengacak rambutnya frustasi, menjerit dan juga berteriak memanggil Eric dengan keras.
"Eric?!" teriak Melody memanggilnya kemudian ia pun menangis lagi seraya meramas helaian rambutnya dengan kasar. "Ini bukan mauku, aku mencintaimu." lirihnya sambil sesegukan.
Melody tertawa hambar bagaikan gadis yang sudah kehilangan kewarasan dan seketika saja inisiatif itu muncul, sampai akhirnya ia memutuskan untuk meraih ponselnya di atas meja nakas dan ia berniat untuk menelepon Eric saat ini juga.
Tuuut ...
Nada sambungan telepon terdengar tanda bahwa nomor itu aktif, namun telepon darinya tak kunjung diangkat juga, sampai akhirnya sambungan telepon itu langsung di tolak seakan Eric tak ingin bicara lagi dengannya. Melody mendesah pelan kemudian ia pun mencoba untuk menghubungi Eric kembali, namun kali ini nomor tujuannya berubah menjadi nomor yang sudah tak terdaftar lagi seolah nomor itu sudah non-aktif.
"Eric, please .. No!" rengek Melody seraya menghapus air matanya cepat dan ia pun sama sekali tak menyerah untuk mencoba untuk menghubungi Eric lagi, namun responnya tetap sama nomor yang dituju sudah tak terdaftar.
Karena tak dapat dihubungi, maka Melody memutuskan untuk meninggalkan pesan lewat SMS, dm instagram serta chat via whatsApp.
Melody :
✉️Eric segera kabari aku jika ada di tempat ya, aku tunggu. Kita harus bicara, aku mohon padamu, please!
Setelah mengirim pesan, rupanya pesan itu pun masih dalam status tertunda dan centang satu. Melody memejamkan mata dan berusaha untuk bersikap setenang mungkin, meskipun rasa khawatir itu benar-benar merayap di dalam dadanya saat ini.
"Semoga Eric baik-baik saja." doa Melody seraya menghela nafas gelisah diantara isak tangisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments