Theo

Megan melangkah menuju gudang, sesuai dengan perkataan Lica tempo lalu. Dia menghela nafas, ini adalah keterpaksaan. Jika mau bisa saja dia menghiraukan semua ini, namun Chelsea pasti akan membalasnya dengan bantuan kekuasaan keluarga. Anak beasiswa tidak ada pilihan lain, selain menurut.

Membuka pintu secara perlahan, gudang terlihat sepi dengan abu yang hinggap di mana-mana. Tampaknya gudang ini juga terbengkalai, karena katanya sedikit angker. Itu hanya mitos sekolah.

Bertepatan dengan itu deru langkah kaki menuju kearahnya, Megan sudah menduga bahwa itu adalah Lica dengan gengnya dan benar saja itu memang mereka. Lica berjalan di depan, menyilangkan tangan di dada dan mengangkat dagu. "Marie tutup pintunya. Jika sampai ada orang lain yang melihat, itu akan menjadi sulit. " katanya dan lekas dilakukan oleh Marie. Kini keadaan menjadi lebih gelap.

Marie berkata dengan senyum sinis, "Ini situasi yang mencekam, seolah memang gudang angker!" kemudian menyalakan senter. "Oh, sudah terang."

"Apalagi yang akan mereka lakukan." kata Megan dalam hati. Dia mundur satu langkah untuk mencari jarak aman.

"Aku dengar gosip mengenai kamu pacaran dengan Pangeran sekolah. Benar-benar naif." ujar Lica tidak suka.

"Tidak Lica. Dia tidak naif, hanya tidak tahu diri saja. Cara apa yang telah kamu lakukan hingga Pangeran sekolah yang didambakan semua perempuan, berhasil memilihmu?" Kali ini Marie yang berbicara, jangan lupa ekspresi merendahkan itu.

"Jika aku berkata, kami hanya bersandiwara, apakah mereka akan diam?" kata Megan dalam hati, tapi dia tidak mungkin mengatakan itu. Menutup mata sesaat lalu kemudian membukanya. "Sudahlah, ini memang konsekuensinya."

"Apa!?" tukas Chelsea yang samar mendengar perkataan Megan barusan, tidak dengan jelas. Megan diam dan saat akan membuka mulut, rambutnya dijambak dengan brutal.

"Kau sialan. Tidakkah kamu malu? Lihat dirimu, miskin dan jelek."

"Benar itu, kamu hanya sampah yang tidak akan bisa didaur ulang. Sampah bermimpi untuk menjadi berlian? Kamu pikir ini zaman dongeng Cinderella." tukas Marie memanas-manasi. Senang saja melihat ekspresi tersiksa Megan.

"Berhenti." Untuk pertama kali kata itu keluar dari mulut Megan. Sebuah pemberontakan. Siapa juga yang tahan dijambak terus menerus. "Aku mohon. Kalian telah salah paham."

"Salah paham? Kamu pikir kami bodoh." Chelsea berjongkok di depan Megan yang sudah bersimpuh di lantai, karena tidak sanggup berdiri. "Lebih baik aku melihat Marie bersama dengan Juza dari pada mahluk jelek sepertimu." Dia kemudian berdiri dan mengambil sebotol air mineral yang khusus ia beli.

Basah.

Kepala dan seragam Megan telah basah. Melihat sekitar wajahnya, tidak lagi bisa dibedakan mana air mata dan air mineral. Tubuhnya terlalu sensitif dan langsung mengeluarkan air mata, atau sebenarnya itu respon hati?

"Apa salahku kepada kalian?"

"Masih belum mengerti? Tentu saja karena kamu tidak bisa menerima kenyataan. Jika saja kamu putus sekolah dan tidak lagi di sini, bukankah semua beres? Kudengar Nenekmu sakit, bukankah lebih baik mencari uang untuk biayanya. Dasar orang miskin yang tidak menyadari posisinya." caci Marie tiba-tiba, pandangannya sengit kepada Megan.

Megan diam untuk sesaat, baru kesadarannya kembali saat Marie tiba-tiba menendang tulang keringnya. Megan meringis menahan sakit. "Jangan mencoba memberitahu siapa pun, jika tidak ingin riwayatmu tamat."

Lica tersenyum, menepuk pundak Marie dan berkata, "Tidak harus seperti itu, biarkan dia mengeluarkan suara untuk mengadu dan lihat siapa yang memihak kepadanya. Apa yang dia katakan tidak mungkin direspon dengan baik."

"Kejam sekali! Aku jadi sedikit kasihan padanya." ujar Marie kemudian mengeluarkan sebutir telur. Dia memperlihatkan ke depan Megan. "ini hadiah dariku sebagai permintaan maaf. Tenang saja aku tidak sejahat itu, ini hanya telur biasa."

Pluk.

Telur itu pecah dan mengenai sebagian rambut Megan. Gadis itu memilin roknya, untuk kesekian kali menunduk. Seharusnya dia tidak berontak, jika tidak ingin tiga gadis ini menjadi lebih kejam.

"Cabut!" titah Lica dan kemudian membuka pintu saat itu juga seorang pria tidak sengaja lewat dan melihat keadaan di dalam gudang. Megan yang bersimpuh dengan lemah, dan telur yang mengotori sebagian rambut. Keadaannya juga basah.

"Apa yang terjadi kepadamu?" katanya yang sudah berada di depan Megan. Gadis itu melirik sebentar dan membuang muka.

"Ini pasti tindak pembulyan. Jangan khawatir aku akan membantumu, dan membawamu ke UKS. Tampaknya wajahmu pucat sekali."

Dengan gaya brider style, Pria itu menggendong Megan setelah menyingkirkan telur di rambut Megan terlebih dahulu.

Setelah sampai di UKS, Pria itu dengan taletan membaringkan tubuh Megan yang pingsan dengan baju yang basah.

"Dek!" panggilnya kepada salah satu PMR yang bertugas.

"Iya, Kak?"

"Tolong rawat gadis ini. Aku mau kembali ke kelas, sudah jam masuk pelajaran. Oh iya, jangan lupa ganti bajunya, sepertinya basah." tukasnya langsung diangguki.

"Akan aku lakukan. Kembali saja ke kelas Kak Theo, jika terlambat kamu bisa tertinggal pelajaran."

"Terimakasih." Setelah berkata demikian, Theo menghilang dari balik pintu menyisakan Gadis PMR yang bername tag Jesica. Jesica sendiri langsung melakukan tugasnya, mengganti seragam Megan dengan seragam baru yang ada di UKS, lalu membiarkannya tidur.

***

Jam kedelapan telah terdengar, tinggal satu les lagi supaya SMA Bintang akan pulang. Begitu juga dengan Megan yang terdiam kaku, dia baru saja bangun dan bingung kenapa ada di UKS.

"Kamu terlihat menyedihkan saat kutemukan di gudang dan kamu pingsan setelahnya." tukas Theo kembali membaca buku yang ia bawa.

Sedikit info, Theo adalah anggota OSIS dan juga salah satu teman dari Juza, hanya saja jarang bertemu dan Megan tidak tahu akan hal itu.

"Terimakasih dan maaf karena telah membuatmu kerepotan." ujar Megan hendak bangkit, namun ditahan oleh Theo. "Istirahatlah, kamu masih pucat. Jika terus dipaksakan bisa saja kamu pingsan lagi."

Megan tersenyum kikuk, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku hanya sedikit tidak nyawan terus berbaring."

"Oh? Bersandarlah kalau begitu. Aku akan menemanimu di sini hingga jam terakhir usai."

"Tidak perlu." tolak Megan halus. Dia memandang sebentar ke arah Theo yang sudah menurunkan buku dari pandangannya.

"Kata perawat tubuhmu masih terlalu lelah. Sepertinya terlalu sering mendapat serangan fisik, kamu dibully?" jeda sejenak untuk Theo menghela nafas. "aku sebagai anggota OSIS tentu saja tidak akan membiarkan ini terjadi. Bisakah kamu memberitahu siapa pelakunya?"

"Kenapa harus menanyakan ini." batin Megan dan memilih diam. Siluet Theo tampak malas untuk memperpanjang masalah maka dia berkata, "Ya tentu saja, dia pasti telah menekanmu untuk tutup mulut. Tapi sayang, aku sudah melihat wajah itu. Lica dari angkatan kelas Xl bukan?"

Megan mendongak, untuk memastikan kebohongan di netra indah itu.

"Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal." kata Theo.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!