Laura terlihat sangat tidak nyaman. Saat ini dia sedang dirias oleh tim makeup artist, tapi dia selalu melihat ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya.
"Laura, kamu kenapa? Sepertinya kamu cemas sekali," tanya Deborah, si makeup artist laki-laki yang bergaya seperti perempuan.
Laura tersenyum getir dan menggelengkan kepalanya seraya berkata,
"Tidak ada apa-apa Debby."
"Kita sudah mengenal lama sekali. Aku mengerti jika saat ini kamu sedang ada masalah," ujar Deborah dengan gaya kemayunya.
Nayla menghela nafasnya yang terlihat seperti sedang kesusahan di mata Deborah. Kemudian dia berkata,
"Deb, bisa gak ya jika aku ijin sebentar untuk ke kota?"
Deborah mengernyitkan dahinya seraya berkata,
"Kenapa kamu harus pergi ke kota? Bukankah kita masih harus syuting?"
Laura kembali menghela nafasnya. Dia berusaha mencari alasan agar dia diperbolehkan sutradaranya untuk pergi ke kota.
Tiba-tiba terbersit suatu alasan yang diucapkan oleh Laura begitu saja.
"Suamiku tiba-tiba masuk rumah sakit. Dan dia membutuhkan wali di sana untuk menandatangani persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter."
"Apa? Benarkah? Kenapa kamu tadi ikut ke sini? Harusnya kamu berada di rumah sakit menemani suamimu," sahut Deborah yang terkejut dengan penjelasan dari Laura.
Laura menautkan kedua tangannya dan memainkan jari-jarinya. Dia memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya untuk mengurangi kegugupannya karena berbohong pada Deborah. Kemudian dia berkata,
"Aku baru saja mengetahuinya. Apakah menurutmu pak sutradara memperbolehkan aku pergi sebentar?"
"Kamu coba saja sekarang. Sepertinya masih ada banyak waktu sampai kamu datang kembali ke sini. Untung saja kamu sudah menyelesaikan bagian pembukaannya tadi. Sekarang mendingan kamu buruan ijin ke pak sutradara, mumpung mereka sedang mengambil gambar para peserta," tutur Deborah sambil menarik tangan Laura agar beranjak dari duduknya.
Laura pun menurut. Tenaga Deborah yang aslinya memang laki-laki itu membuat Laura tidak bisa menghentikannya. Kini dia berdiri di hadapan sutradaranya.
"Ada apa Laura? Kenapa wajahmu seperti sedang cemas begitu?" tanya Anto, sutradara yang menangani acara variety show tersebut.
Laura menghela nafasnya, kemudian dia menceritakan alasannya persis seperti apa yang dikatakannya pada Deborah.
Sutradara tersebut terlihat sangat frustasi. Dia memegang dahinya dan memikirkan jalan terbaik agar tidak menunda syuting dan Laura pun tidak gelisah selama syuting berlangsung.
"Apa satu jam cukup untuk pergi ke sana?" tanya Anto dengan menatap tegas pada Laura.
"Satu jam? Maaf Pak, sepertinya kurang. Bukankah untuk mencapai sini saja kita butuh kurang lebih satu jam?" Laura mencoba bernegosiasi dengan sutradara tersebut.
Sutradara tersebut terdiam dan dia menatap Laura sembari berpikir. Kemudian dia berkata,
"Dua jam saya kira sudah cukup. Jika terlambat, kamu akan tau sendiri konsekuensinya nanti."
"Tapi Pak, dua jam itu–"
"Saya bisa mentolerir paling tidak hanya tiga puluh menit," sahut Anto, kemudian dia meninggalkan Laura yang masih berdiri di sana.
Laura masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh sutradaranya. Dia masih berdiri mematung dan bertanya pada Deborah,
"Deb, apa aku tidak salah dengar? Dua jam saja?"
"Iya, dan dia hanya bisa memaafkan keterlambatan mu sampai tiga puluh menit saja. Lewat itu… seperti biasanya, pasti ada konsekuensinya. Buruan berangkat, waktumu tinggal sedikit," ucap Deborah sambil mendorong-dorong tubuh Laura dari belakang agar cepat bergerak.
Laura pun segera berangkat. Dia tidak mau menyia-nyiakan waktunya yang hanya sedikit saja.
Dia menaiki ojek yang ada di depan lokasi syutingnya. Sayangnya ojek tersebut tidak bisa mengantarkannya hingga ke kota. Laura sudah memaksanya dengan mengiming-iminginya menggunakan sejumlah uang yang terbilang banyak, sayangnya tukang ojek tersebut menolaknya.
Akhirnya Laura menggunakan taksi menuju ke kota. Perjalanannya menyita waktu satu jam lebih lima menit hingga sampai di kantor suaminya.
Sesampainya di kantor suaminya, ternyata Arsenio tidak ada di kantornya. Dia bersama dengan timnya sedang meninjau lokasi untuk pembuatan iklan yang akan dikerjakannya.
"Arsenio sialan. Kenapa dia tidak memberitahuku?" gumam Laura dengan mengeratkan giginya untuk menahan kekesalannya.
Segera diambilnya ponsel di tasnya. Dengan lincahnya jari tangannya mencari nomor ponsel suaminya.
"Halo, kamu di mana sekarang?" tanya Laura tanpa menyapa Arsenio ketika suaminya itu menjawab panggilan teleponnya.
Aku sedang berada di lokasi yang akan aku gunakan untuk syuting iklan besok. Ada apa? jawab Arsenio dari seberang sana.
"Di mana?" tanya Laura dengan tegas menahan emosinya.
Di daerah puncak. Ada apa sebenarnya? Tumben sekali kamu menghubungiku hanya untuk menanyakan hal ini, ucap Arsenio yang merasa heran pada istrinya.
Laura menghela nafasnya. Tubuhnya terasa lemas mendengar jawaban dari suaminya yang mengatakan bahwa dia sedang ada di daerah yang sama dengan lokasi syutingnya saat ini.
"Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Bukankah sudah aku bilang jika kamu harus memberitahuku apabila keluar dari kantor?" omel Laura sambil menunggu taksi yang lewat di depannya.
Maaf, aku lupa. Ada apa sebenarnya? Kamu tidak biasanya begini, tanya Arsenio yang terdengar sangat ingin tahu.
"Cepat kirim lokasimu saat ini. Aku akan membawakan makan siang untukmu," perintah Laura pada suaminya.
Setelah mengatakan itu, Laura segera mematikan teleponnya. Dia menghentikan taksi yang masih sedikit jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Laura tidak hanya melambaikan tangannya untuk menghentikan taksi tersebut. Bahkan dia berada di tengah-tengah jalan agar taksi tersebut mau berhenti.
Taksi tersebut pun berhenti tepat di depan Laura. Segeralah Laura masuk ke dalam taksi tersebut dan mengatakan tujuannya.
"Ke Puncak Pak. Tolong dipercepat ya Pak, agar cepat sampai," ucap Laura pada sopir taksi tersebut.
"Baik Bu," tukas sopir taksi tersebut menanggapi ucapan Laura.
Tring!
Terdengar suara notifikasi dari ponselnya.
Segeralah Laura melihat ponselnya. Dia menghela nafasnya dan mencengkeram celananya untuk melampiaskan amarahnya ketika membaca pesan dari suaminya yang berisi lokasi tempatnya berada saat ini.
"Kenapa aku harus tergesa-gesa berlari ke sini jika dia ada di dekat lokasi tempatku tadi?" gumam Laura sambil melihat ke arah sampingnya yang terdapat box makanan.
Makanan tersebut dibeli Laura di tempat makan kesukaan Arsenio sewaktu dia akan menuju kantor suaminya.
Setelah beberapa saat, taksi tersebut bergerak sangat lamban. Bisa dikatakan hampir tidak bergerak selama beberapa menit.
"Maaf Bu, sepertinya kita akan lama sampai di tempat yang ibu tuju. Macetnya sampai depan sana Bu, panjang sekali," ujar sopir taksi tersebut tanpa menoleh pada Laura yang ada di belakangnya.
"Ada apa ya Pak kok bisa semacet ini?" tanya Laura seraya melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.
Sopir taksi tersebut membuka jendela kacanya, melongok sebentar melihat ke depannya. Kemudian dia berkata,
"Biasa Bu, weekend pasti seperti ini."
Laura menghela nafasnya. Rasanya dia sudah tidak punya tenaga untuk menjalankan sisa misinya.
Namun, bayangan akan hutang ibunya membuat dirinya kembali bersemangat untuk menjalankan misi tersebut.
"Pak, saya sedang buru-buru. Sebaiknya saya turun di sini saja. Ini uangnya Pak," ucap Laura seraya memberikan uang pada sopir taksi tersebut.
Laura segera membawa box makanannya keluar dari taksi tersebut setelah membayarnya. Dia berjalan menerobos kemacetan hingga ada beberapa tukang ojek yang berjejer di sana.
Laura pun menaiki ojek salah satu dari mereka. Dia meminta agar tukang ojek tersebut mencarikan jalan tercepat menuju tempat suaminya sekarang berada.
Beruntung sekali gerakan Laura sangat cepat dan lincah sehingga kemacetan yang sangat panjang itu dapat dilampauinya.
Setelah membayar ojek tersebut, Laura segera berlari kecil menuju lokasi yang diberikan oleh suaminya.
"Pak, bukannya itu istri Bapak?" tanya salah satu rekan Arsenio padanya sambil menunjuk dengan menggunakan dagunya pada seorang wanita yang berjalan ke arah mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments