4. Teman Abnormal

"Lo gak papa?" tanya Andre, menata wajah Ellen yang sedikit pucat, sesudah dia keluar dari ruang kesehatan.

Ya, Andre adalah orang yang mengantarnya ke ruang kesehatan. Sementara Dika mengurus tiga orang teman perempuannya di ruang BK, itu pun karena Ellen yang memintanya.

Mungkin jika bukan Ellen yang memintanya, sudah pasti jika Dika tidak akan pergi mengurus urusan yang merepotkan seperti itu.

"Ya, gue gak papa kok. Sorry ya, lo jadi gak bisa makanan siang gara-gara gue. Sekarang mau gue belikan roti? Sorry, gue bukan orang kaya kayak kalian. Jadi gue enggak punya banyak omong untuk membelikan seseorang satu porsi nasi. Haha ... maaf," ucap Ellen, tampak sungkan.

Andre melambaikan kedua tangan yang, menentang pernyataan itu dengan tegas.

"Enggak, gue enggak terlalu lapar kok. Tadi gue ke kantin gara-gara Dika ajak gue. Bukan murni karena gue lagi lapar. Bukannya tadi yang lapar itu elo? Sekarang enggak papa kalau enggak makan? Gimana kalau gue aja yang beli, kan? Mumpung uang saku gue lagi kebanyakan," celetuk Andre, membuat keduanya tertawa di akhir kalimat.

"Hahaha, pasti enak punya orang tua ya? Gue juga pengen punya orang tua deh. Tapi enggak enaknya juga banyak, kan?"

Andre menganggukkan kepalanya cukup antusias, sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut.

"Ya, enaknya cuman kita enggak usah cari duit sendiri aja. Yang lainnya enggak enak, kan? Harus dituntut jadi ini, harus jadi seperti itu, harus begini, harus begitu. Bagi gue yang punya kedua orang tua lengkap, terkadang mereka mengekang tapi juga ada sayangnya. Mereka membesarkan dengan cara mereka sendiri-sendiri. Ya, cara mereka dengan porsi mereka. Bukan porsi gue! Lo pasti enggak pernah tahu rasanya tertekan di bawah harap-harap orang tua, kan?

Andre menatap Ellen yang terus memandangnya dari samping. Kedua manik mata wanita itu terlihat sangat cantik di bias dengan sinar mentari. Entah kenapa, wajahnya yang terlihat ketus kali ini terlihat sangat memesona.

"Apa itu karena gue yang lagi mandang dia sebagai teman wanita? Atau karena dia memang cantik?" batin Andre, tanpa sadar.

Tapi beberapa saat kemudian, setelah dia berdiam diri beberapa saat, Andre langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Berusaha menyingkirkan semua pikiran itu.

Ellen yang melihat kelakuannya, langsung membuat keningnya bergerigi. Dia juga bertanya, "Kenapa lo?" dengan nada yang sedikit menyantak.

Sampai-sampai membuat lawan bicaranya terkejut dan menoleh ke arahnya dengan tatapan ambigu. "Eh? Enggak, enggak ada apa-apa. Tadi dari mana?" tanyanya, seketika lupa pembahasan awal mereka.

Ellen tersenyum masam dan menggelengkan kepalanya. Dia sengaja tidak memberitahu sampai mana mereka berbicara.

Mungkin karena Ellen, tidak ingin menjawab pertanyaan Andre yang terakhir. Itu pertanyaan yang berat, untuknya, yang tidak pernah merasakan kehidupan bersama dengan kedua orang tuanya.

Andre yang juga lupa sampai mana mereka bercerita, akhirnya memilih diam sehingga mereka berdua sampai di kelasnya.

Begitu membuka pintu, Ellen langsung disambut dengan wajah panik oleh teman-temannya.

Mungkin karena dia pergi lebih dari 40 menit ke ruang kesehatan, karena itulah mereka sangat mencemaskan Ellen.

"Lo gak papa? Haduh luka banget ya?" tanya Sia, benar-benar merasa bersalah karena sudah melukai teman dekatnya.

"Enggak, gue gak papa kok, Si. Kata dokter gue enggak kenapa-napa. Bahkan katanya, gue mimisan bukan karena kena pukul, tapi karena memang gue kecapean aja. Ya, sebentar lagi ujian tengah semester. Gue harus siap-siap, kan?" celetuk Ellen, membuat teman-temannya terdiam dengan kedua mata yang membulat lebar.

"Bentar lagi ada ujian??" seru Sia, tak bisa menutup kedua mulutnya yang ternganga lebar.

"Anjirr, bego banget gue. Gue lupa kalau ada ujian tengah semester! Goblokkk ... anak siapa sih goblok kaya gini!" pekik Tama, tiba-tiba menggila dengan mengacak rambutnya dengan kedua tangan sampai benar-benar kusut.

Ellen yang melihat kelasnya menjadi kacau balau karena satu kalimatnya, hanya bisa mengelas senyuman makam dan melihat teman-temannya yang sedang heboh ke sana kemari dengan mengumpat ini dan itu.

Ellen menoleh ke arah Andre yang tampak terkejut dengan pemandangan itu. Ya, memang dia tidak pernah merasa terintimidasi di kelas ini. Tapi melihat murid-muridnya yang abnormal, sama saja! Andre tak pernah terbiasa terbaru dengan para makhluk astral yang memiliki karakter unik ini.

"Lo jangan pernah lelah lihat pemandangan kayak gini. Mulai hari ini sampai 2,5 tahun ke depan, lo bakal terus sama mereka tanpa terkecuali. Buat kelas unggulan, maupun IPA atau IPS, enggak akan ada pergantian murid. Karena orang-orang yang ada di sini, hanya orang-orang yang memiliki level otak dan cuan yang berbeda jauh dari kelas II dan seterusnya." Ellen tersenyum masam melihat ekspresi wajah Andre yang terlihat frustrasi. "Selamat berjuang wahai kawanku!" celetuknya, di akhir kalimat.

***

Klek ....

Andre berjalan masuk ke dalam rumah kakaknya, Ady, dengan langkah perlahan. Entah kenapa, mungkin karena dia merasa sungkan dan tidak ingin mengganggu tuan rumah yang sedang istirahat.

Karena dia baru pulang pada pukul 10.00 malam, setelah dia menyelesaikan bimbingan terakhirnya di tempat kursus pilihan kedua orang tuanya.

Andres langsung masuk ke dalam kamar, dan hendak menutup pintu sampai ada sebuah tangan yang mencegah papan kayu terbuat dari jati itu, tertutup.

Melihat pergerakan tersebut, Andre spontan menoleh dan menatap kakak ipar perempuannya, berdiri di depan pintu dengan senyuman masam.

"Maaf, Ndre. Dari tadi gue udah panggil lo, tapi loh aja yang gak nyahut! Maaf kalau buat kaget," ucap wanita cantik berusia 26 tahun itu, sambil mengelus senyuman masam.

Andre kembali membuka pintu, berdiri di ambang pintu kamarnya, di bagian dalam, sambil menatap kakak perempuannya itu.

"Gak papa, Mbak. Kenapa cariin gue? Ada yang mau di bantu?? Tapi gue capek banget sumpah," pekik Andre, ingin cepat-cepat tidur saja.

"Oh enggak, aman kok. Gue cuman mau bilang, ini kunci buat rumah. Lo pegang aja, siapa tahu pas gue atau abang lo gak ada di rumah nanti," ucap Sinta, memberikan sebuah kunci dengan bandul bintang kepada Andre.

Andre menerima benda itu dan mengangguk mengerti. "Oke, cuman ini aja, kan? Kalau gitu gue tidur sekarang, ya."

"Eh, bentar-bentar. Satu pertanyaan lagi!" celetuk Sinta, kembali menahan pintu kamar tersebut.

"Apaan lagiii?" geram Andre, membuat wanita itu mengulas senyuman masam untuk ke sekian kalinya.

"Gimana sekolahnya?"

Deg ....

Pertanyaan yang bahkan tidak pernah terbesit di pikiran orang tuanya, ini malah dia dengar dari wanita asing yang baru bergabung ke dalam keluarganya.

Andre tidak bisa menahan senyumannya. Dia tersenyum malu-malu, menunjukkan tatapan teduh, yang membuat Sinta mengulas senyuman lega.

"Baik, sangat baik. Terima kasih sudah memilihkan sekolah yang nyaman, Kak."

Sinta mengangguk dan meninggalkan kamar tersebut sambil berkata, "Istirahatlah, besok kamu harus sekolah kembali. Semangat!"

"Iya ...."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!