Ibra keluar dari kamar mandi dengan cuma dililit handuk. Cytra memalingkan mukanya melihat pemandangan yang tak sedap itu.
Ibra tak peduli dia terus mengambil pakaian yang sudah disediakan oleh asistennya, Bi Zar.
Cytra lalu ganti yang masuk ke kamar mandi dan bersih-bersih. Setelah mengenakan baju pengganti dia menyusul Ibra yang duduk di teras kamar menghadap ke lepas pantai.
"Bagaimana..., kau betah tinggal di kamar ini,"
kata Ibra setelah Cytra duduk di sampingnya.
"Aku senang dengan kamar ini, viewnya sangat menyenangkan," ungkap Cytra.
"Syukurlah kalau kamu suka. Kalau tidak kita pindah ke hotel saja bisa lebih bebas," goda Ibra.
"Bebas ngapain...," Cytra mencowel lengan Ibra.
"Awas ada Bibi. Bisa diadukan ke Mama kamu," Ibra menoleh ke belakang barangkali perempuan itu masih ada di dalam kamar.
"Kelihatannya kamu takut bicara kalau ada Bibi?" tanya Cytra menyelidik.
"Bibi sudah merawat aku sejak kanak-kanak. Dia sangat hormat dengan Mama, dan akan selalu mengadu apa yang terjadi denganku," kata Ibra menjelaskan soal keberadaan Bi Zar
"Memangnya apa saja yang dilaporkan kepada Mamamu?" tanya Cytra menyelidik.
"Bibi sudah berkata apa tentang aku?" Ibra balas bertanya.
"Katanya kamu punya jin. Sehingga semua wanita tidak mau jadi istrimu," kata Cytra bergurau.
Hahaha...Ibra tertawa keras menirukan suara jin pohon asem yang tumbuh di depan teras kamar. Padahal malam merangkak makin sunyi. Sehingga cukup membuat bulu kuduk Cytra merinding.
"Bibi ada-ada saja....Eeh kamu takut, ya," Ibra menatap Cytra yang melekatkan kedua tangannya ke dada. Padahal Cytra bukan takut karena jin. Tapi memang udara sangat dingin sekali.
"Saya tidak takut kalau jinnya kamu. Saya cuma takut kalau kamu berbohong," Cytra mulai mengungkit soal telpon Radita itu.
"Kamu takut apa dengan diriku?" Ibra ingin tahu apa yang dipikirkan Cytra.
"Ndak takut kok. Saya percaya kalau kamu cinta sama aku," Cytra menutupi rasa ingin tahunya tentang bisnis Ibra dan Radita.
Bersamaan itu phonsel Ibra bergetar lagi dan tertangkap oleh mata Cytra.
Ibra bergegas mengambil Hp dan memencet tombol stop.
"Kenapa tidak kau terima telponnya. Siapa dia?" tanya Cytra pura-pura tidak tahu.
"Mitra kerjaku di Jakarta. Tapi sekarang kebetulan ada di Bali," Ibra nampak kesusahan menjawabnya.
"Kenapa diputus ada salah apa dia denganmu," Cytra terus mendesak.
Ibra tidak menjawab pertanyaan Cytra. Ia menutupi kegugupannya dengan menyulut sigaret dan menghembuskanya keras-keras ke udara. Huufs!!
"Oya, kapan Mamamu pulang?" Cytra mengalihkan pembicaraan.
"Besok mungkin. Tadi sudah kuberitahu bila aku pulang membawa pesanannya," Ibra melucu.
"Pesanan. Kayak barang saja aku kau sebut pesanan." Cytra bersungut-sungut.
"Terus terang saja sebenarnya selama ini saya sedang dihukum oleh Mama tidak boleh pulang bila tidak membawa gadis calon istriku," kata Ibra jujur.
Oh! Ternyata itu yang membuat Ibra mengultimatum dirinya sebelum berhubungan intim di apartemen.
"Apakah Mamamu menginginkan menantunya seorang gadis?" tanya Cytra was-was.
"Tidak harus. Bagi dia yang penting aku menikah tahun ini. Dan setelah itu dia baru mau menyerahkan seluruh aset peninggalan Papa menjadi milikku."
"Kalau menurutku mamamu pintar dalam mensuport kamu mendapatkan istri."
"Begitulah sikap Mama. Tetapi aku belum menemukan yang cocok. Baru kali ini setelah ketemu kamu...,"
Tiba-tiba Hp Ibra bergetar lagi. Ibra memandang Cytra. Cytra mengangkat kedua bahunya. Tanda tak masalah telpon diterima. Sekalian ia ingin tahu apa yang dibicarakan.
"Halo...," Ibra bersemangat menyapa. Lalu mimiknya nampak tegang mendengarkan penelpon berbicara.
"Tidak bisa! Saya minta uang itu harus dikembalikan segera!" kata Ibra dengan nada tegas.
Agak lama Ibra mendengarkan lawan bicaranya mengutarakan sesuatu. Ibra cuma diam. Dadanya naik turun tanda dia tegang.
Beberapa kali Ibra hembuskan asap rokok tak beraturan. Lalu dia meletakan Hp-nya kembali di meja agak keras.
"Ada apa dengan mitra kerjamu itu," tanya Cytra cepat.
"Saya harus menemuinya malam ini. Kalau tidak anak itu akan diberikan kepada orang lain."
"Anak siapa yang akan diberikan?" Cytra was-was.
"Anak Radita," jawab Ibra pendek.
Bagai tersambar petir di siang bolong Cytra mendengar jawaban Ibra yang sangat mengejutkan itu.
Sesungguhnya Radita tidak punya anak. Di rumahnya memang ada dua anak kecil. Tapi itu anak Cytra yang waktu keluar dari rumah mendiang suaminya Samyokgie, papa Radita, tidak boleh dibawa serta. Sekarang anak itu mau diberikan pada Ibra. Ada apa ini???
"Radita tidak punya anak!. Itu anak...," Cytra tercekat tenggorokannya tak bisa bicara. Dadanya naik turun. Tanda dia sedang tegang dan stres.
Lebih kaget lagi Ibra. Dia tidak menyangka kalau Cytra kenal dengan rekan bisnisnya itu. Malah tahu pula kalau Radita tidak punya anak.
"Kamu tahu Radita, sayang," Ibra menatap Cytra tak berkedip.
"Dia itu anak mendiang suamiku dari istri pertama," Cytra tak bersemangat mengatakan itu.
"Oh. Berarti yang dimaksud Radita itu anakmu yang ada di foto di apartemenmu itu?" Ibra mulai paham.
"Terus terang saja sebenarnya kamu sedang bisnis apa dengan Radita?" tanya Cytra dengan nada jengkel.
Ibra akhirnya menceritakan kalau usaha Radita jatuh bangkrut. Lalu pinjam kepada Ibra uang yang jumlahnya tidak kecil. Kebetulan sebelum itu Ibra pernah minta bantuan untuk dicarikan anak kepada Radita. Hal itu untuk mengelabui mamanya saja bahwa dia sebenarnya sudah menikah dan punya anak.
"Kamu akan terlibat kasus penjualan anak kalau hal itu dilakukan. Kau bisa dipenjara."
"Jangan dong, sayang. Masa saya mau dipenjara. Nanti akan lama kita menikahnya kalau aku dipenjara," Ibra merajuk.
"Jangan bergurau. Ini persoalan serius. Cepat kamu telpon lagi dia. Jangan sampai anak itu diberikan kepada orang lain."
"Kebetulan tadi dia minta harus bertenu malam ini. Katanya dia mau pinjam lagi uang. Waktunya hanya malam ini. Besok dia sudah kembali ke Jakarta," Ibra bangkit dari kursi.
"Saya ikut!" seru Cytra.
"Sudah kamu di rumah saja sama bibi. Saya cuma sebentar."
"Tidak. Kalau tidak boleh saya pulang saja," ancam Cytra.
"Jangan begitu dong, Sayang. Besok kamu kan akan ketemu mama."
"Tidak pokoknya saya harus ikut menemui dia."
"Ok. Kamu bisa ikut. Tetapi jangan sampai dia tahu saya bersama kamu yang punya anak tersebut. Karena dia pasti akan kabur tidak berani menemuiku," saran Ibra.
"Ok. Saya cuma ingin tahu dia bersama anak itu tidak. Kalau memang anak itu dibawa akan saya minta langsung," Cytra punya rencana lain.
"Ok. Mari kita berangkat."
Ibra dan Cytra akhirnya keluar dari rumah besar seperti hotel itu. Padahal malam sudah sangat larut.
Menurut Ibra di perjalanan, dulu Mamanya membangun rumah itu renacananya mau digunakan untuk hotel. Karena di Bali bisnis itu sangat strategis. Tetapi karena tidak ada yang mengelola, karena Ibra sendiri belum bisa bekerja, masih seneng hura-hura, akhirnya dibatalkan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments