BAB 5. PERGI SALAH, BERTAHAN MALU

Hari ketiga Rangga libur privat seni kriya, Rangga masih berkebun hingga sore. Kali ini Mang Udin yang mengantar makan siang Rangga.

"Tumben, kamu yang mengantar. Mana gadis itu?" tanya laki-laki yang dari kemarin sibuk mengurus tanaman itu.

"Dia tidak mau. Katanya dia takut ada pekerja yang dendam padanya," jawab Mang Udin.

"Memang dia melakukan apa sampai ketakutan sendiri?"

"Entahlah Tuan. Saya juga enggak tahu. Dia itu mirip sekali dengan Nyonya. Tapi kelakuannya berbeda sekali," jawab Mang Udin, "Pak Dani dan Bu Irah nemu dia dimana, kok ada gadis aneh begitu. Jahil!"

Laki-laki yang diajak bicara Mang Udin tanpa menoleh, tersenyum smirk. Gadis itu harus diberi pelajaran! Dia sudah lancang dua hari kemarin.

"Itu makan siangnya saya letakkan di saung ya Tuan," kata Mang Udin. Laki-laki itu mengangguk.

Memang sejak kemarin laki-laki yang berbicara dengan Raisa adalah Rangga. Rangga sengaja tidak mengaku sebagai Tuan Rangga yang Raisa cari karena Ia malas berurusan dengan gadis yang wajahnya mirip mendiang istrinya. Rangga takut terbawa suasana rindu pada istrinya. Bagaimanapun istrinya telah meninggal. Sosoknya tak tergantikan. Tapi Rangga hanya suka melihat gadis itu dari jauh. Dari balik tirai jendela kamarnya ketika gadis itu menyapu halaman. Itu saja sudah cukup mengobati kerinduannya pada sosok Rena.

"Beritahu Pak Dani, Titin dan Raisa. Nanti malam Titin dan Raisa yang mengantar makan malam ke kamarku," kata Rangga.

"Memangnya ada apa Tuan?" tanya Mang Udin.

"Tidak ada apa-apa. Cuma nanti malam saja. Malam selanjutnya dan malam-malam yang lain, Pak Dani lagi yang mengantar makanan," jawab Rangga.

Jam 7 malam, Titin dan Raisa mendapat tugas mengantar makan malam untuk majikan mereka. Walau merasa heran, mereka tetap melaksanakan tugas itu. Pertanyaan dari Titin tak digubris Pak Dani. Malah Pak Dani menatapnya tajam. Titin menunduk takut, tak berani bertanya lagi.

Apalagi Raisa. Dengan berdebar-debar, ia memasuki rumah besar itu. Matanya terkesima melihat keindahan dan kemegahan rumah yang mereka sebut villa itu.

Saat menaiki tangga menuju lantai dua, Titin berbisik lirih pada Raisa.

"Hati-hati. Kamu jangan ngomong apa-apa. Aku aja yang ngomong pada Tuan Rangga,"

"Memangnya kenapa?" tanya Raisa.

"Tuan Rangga itu temperamental. Takutnya kamu salah ngomong. Apalagi Tuan Rangga itu dulunya depresi. Pernah masuk Rumah Sakit Jiwa," bisik Titin.

"Apaaa?!" Raisa terbelalak.

"Ish! Pelankan suaramu!" hardik Titin.

"Kenapa ....,"

"Sudah! Jangan bertanya lagi! Kita sudah mau sampai di lantai dua!" kata Titin ketus.

Titin pun mengetuk pintu kamar majikannya. Tak ada sahutan.

"Rumah sebesar ini, tapi kenapa sih makan harus di kamar?" gumam Raisa. Titin melotot mendengar gumaman Raisa. Raisa akhirnya bungkam.

Karena tak juga ada respon, Titin membuka pintu kamar. Dilihatnya tidak ada siapa-siapa di dalam kamar itu.

Titin mengajak Raisa masuk untuk meletakkan makan malam majikannya. Titin pun melakukan hal yang sama.

Netra Raisa terbelalak ketika melihat sebuah lukisan di kamar itu. Sebelum Raisa berbicara, Titin berbisik sambil menyentuh bahunya.

"Itu lukisan istrinya Tuan Rangga yang telah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu. Pak Rangga sangat mencintai istrinya itu,"

Raisa baru mengerti sekarang mengapa seluruh ART di rumah itu bersikap aneh ketika pertama kali bertemu dengannya.

Baru saja Titin selesai berbisik, seseorang keluar dari kamar mandi. Pandangan kedua wanita itu beralih ke sosok yang berjalan menghampiri mereka.

"Maaf, Tuan. Makan malamnya saya letakkan disini karena tadi Tuan tidak menjawab," kata Titin.

"Ya. Tidak apa-apa," jawab laki-laki itu.

Raisa mendadak kesulitan menelan salivanya. Nafasnya serasa tersumbat. Keringat dingin mulai mengucur di seluruh tubuhnya.

'Mati aku!' pikirnya.

Raisa sudah dapat menebak apa yang akan terjadi. Laki-laki itu jelas-jelas majikan mereka. Raisa sudah bertindak tidak sopan dua hari kemarin. Raisa hanya menunduk, menyesali tindakannya yang ceroboh kemarin.

"Kami permisi dulu, Tuan," kata Titin.

"Kamu tetap di sini, Raisa!" suara Rangga membuat Raisa tersentak. Ia yang tadi menunduk dan akan mengikuti Titin keluar kamar, mengangkat mukanya.

Titin tampak heran. Tapi ia segera keluar tanpa bertanya lagi.

Setelah Titin menjauh, Rangga menghampiri Raisa lebih dekat.

"Bagaimana, apa kau sudah tahu siapa yang berada dalam lukisan itu?" suara Rangga pelan, tapi membuat hati Raisa ketar ketir ketakutan.

"Su-sudah, Tuan!"

"Lalu apa komentarmu?"

"Maafkan saya, Tuan! Saya bersalah telah menuduh Tuan," Raisa semakin menunduk malu. Sangat malu akan ulahnya kemarin.

"Rena itu tidak bisa disandingkan denganmu! Dia wanita yang sempurna! Dia berpendidikan tinggi, lembut, dan penyabar," jelasnya, "Sementara lihatlah diriimu! Kamu gadis yang aneh!"

"Ya, Tuan," Raisa hanya bisa pasrah walau hatinya sakit mendengar penghinaan majikannya.

"Kau pikir aku akan jatuh cinta padamu? Jangan ge - er!" tak puas Rangga berkata tanpa memperdulikan hati Raisa yang sudah terluka.

"Saya minta maaf atas kesalahan saya tempo hari. Kalau Tuan ingin memecat saya, silahkan. Saya pasrah," ucap Raisa. Sudut netranya basah oleh butiran bening.

"Aku bukan orang yang kejam. Aku tahu kamu sedang ada masalah dengan keluargamu. Kali ini aku biarkan kamu bekerja di sini. Lain kali aku tidak tahu apa aku berubah pikiran," Rangga bicara dengan tegas.

"Ya sudah, pergilah. Aku mau makan malam," Rangga berjalan mendekati pintu kamar yang masih terbuka seperti mengusir Raisa.

Raisa segera keluar kamar sambil tetap menunduk. Setelah pintu kamar ditutup dari dalam, Raisa segera berlari menuju tangga dan menuruninya dengan tergesa.

Titin yang menunggunya di lantai satu terheran melihat sikap Raisa. Raisa tak memperdulikan panggilan Titin. Raisa ingin cepat-cepat pergi ke kamarnya untuk menumpahkan air matanya yang hampir keluar.

Sejak malam itu Raisa terlihat murung. Untuk pergi dari sana, akan semakin menegaskan kalau ia salah. Kalau bertahan disana, ia malu.

Rangga yang melihat perubahan sikap yang terjadi pada Raisa hanya bisa melihatnya saja dari balik tirai jendela. Agak sedikit kejam sih, membandingkan Rena dengan Raisa secara frontal.

Tapi apa mau dikata, ia tak suka ada orang yang mengusiknya. Apalagi mengkritiknya. Bahkan membuat kekonyolan dengan menjahili dirinya.

Tak ada lagi keceriaan yang ditampilkan Raisa di rumah itu. Ia terlihat banyak termenung. Hingga suatu hari ketika ia akan menyiram tanaman yang berada di luar pagar rumah itu, kedua tangannya ada yang mencekal dari belakang.

Ketika menoleh, ternyata Sisil dan Yudi, saudara tirinya. Raisa memberontak. Tapi karena tenaga Yudi besar ditambah Sisil, maka Raisa tak bisa berkutik.

"Akhirnya ketemu juga! Kamu kali ini tidak bisa lari! Akan ku cari sampai ke ujung dunia pun!" teriak Yudi menyeringai.

"Lepaskan! Tolong lepaskan! Aku tidak mau pulang!" teriak Raisa.

"Heh, gadis tolol! Kamu mau jadi istri orang kaya masa enggak mau! Dasar bodoh!" maki Sisil.

"Kenapa bukan kamu saja! Kan kamu yang mau jadi orang kaya! Aku sih ogah!" jawab Raisa.

"Tutup mulutmu! Kamu tidak boleh membantah dan melawan!" mereka menyeret Raisa ke mobil.

"Toloooong ...! Toloooong ....!" teriak Raisa

Orang-orang yang mendengarnya berdatangan. termasuk Mang Udin dan Pak Dani. Sebuah mobil yang akan masuk rumah itu pun berhenti.

"Hei ada apa? Kenapa kalian membawa paksa gadis itu?!" Om Adam ternyata yang datang. Ia keluar dari dalam mobil.

"Ini bukan urusan anda! Dia adik saya! Dia telah kabur dari rumah. Dan orang-orang di sini telah menyembunyikannya dari keluarganya. Kami mencarinya kemana-mana.Kami bisa menuntut kalian!"

"Tolong saya! Saya mau dinikahkan paksa! Saya tidak mau jadi penebus hutang!" Raisa berusaha menjelaskan pada orang-orang disana agar membantunya.

"Diam! Lancang sekali mulutmu! Ayo masuk! Cepat masuk!" Yudi menampar pipi Raisa.

.

Raisa yang kesakitan akhirnya pasrah dibawa pergi saudara tirinya.

Kejadian itu membuat heboh orang - orang yang berada di daerah itu. Pak Dani melaporkan kejadian itu pada Rangga. Om Adam yang ada di sanapun ikut memberikan komentar dan sarannya.

"Kasihan gadis itu. Sebaiknya kamu membantu membayarkan hutang keluarganya. Tapi kalau cuma demikian, tidak menutup kemungkinan keluarganya itu akan menyeretnya lagi dalam masalah baru. Sebaiknya kamu ikuti saran Om," kata Om Adam.

"Apa saran Om?" tanya Rangga.

"Nikahi gadis itu!"

"Apa?! Om sudah gila!" Rangga tidak terima saran dari Om Adam.

"Dengarkan dulu! Dengan demikian, Ia terlepas dari keluarganya. Ia sudah ada yang melindunginya.Mereka tidak berhak lagi ikut campur pada kehidupan gadis itu. Kalau perlu ancam sekalian keluarganya itu," kata Om Adam.

"Itu semua terserah padamu! Kalau kamu berniat membantunya. Kalau tidak ya .... terserah," ujar Om Adam lagi.

Rangga menghembuskan nafas. Dia merasa bimbang. Di satu sisi ia merasa kasihan dengan Raisa. Ucapannya yang tajam malam itu cukup membuatnya merasa bersalah telah melukai hati gadis itu. Di sisi yang lainnya, ia tak mau berpaling dari Rena. Ia merasa takut kalau ia membuka hatinya untuk gadis lain akan membuatnya semakin bersalah pada Rena.

"Saya butuh waktu untuk memikirkannya Om," jawab Rangga kemudian.

"Tentu saja! Tapi jangan lama-lama! Kalau terlalu lama, akan sia-sia. Bisa jadi kamu terlambat! Dia segera dinikahkan dengan kakek-kakek bangkotan," kata Om Adam semakin membuat Rangga khawatir.

"Baik. Tunggu besok pagi!" ucap Rangga.

"Oke! Pikirkan baik-baik! Dia gadis lugu. Walau dia agak bar-bar, kamu bisa membimbingnya nanti. Sudah saatnya kamu membuka lembaran baru. Kasihan Mamamu Dia ingin melihatmu berkeluarga, supaya Mamamu merasa tenang dan bahagia melihatmu bahagia."

"Rena di atas sana akan bahagia kalau melihatmu sudah berubah menjadi lebih baik. Bangkit dari keterpurukan. Kamu harus tetap menjalani hidup. Bukan hanya untuk dirimu sendiri. Tapi juga untuk orang lain di sekitarmu," Om Adam memberi wejangan panjang lebar. Sebagai adik dari Papanya Rangga, ia berkewajiban mengingatkan Rangga.

******

Sementara di tempat lain, Raisa yang di bawa paksa oleh kedua saudara tirinya, hanya diam di dalam mobil. Ia tidak berniat melawan lagi pada kedua saudaranya.

Setidaknya Raisa merasa lega karena sudah pergi dari villa itu dengan tanpa memerlukan alasan. Sudah dari kemarin ia memikirkan cara apa yang tepat agar ia bisa pergi dari sana. Ia sudah kehilangan muka untuk bertatap muka ataupun berinteraksi dengan Rangga.

Ia merutuki dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh dan ceroboh dengan mengusik laki-laki itu. Apalagi mendengar bahwa majikannya itu pernah depresi dan di rawat di RSJ, membuat Raisa semakin bersalah saja.

'Biar nanti aku akan memikirkan caranya kabur dari Sisil dan Yudi. Hmm .... sepertinya nanti kalau aku turun dari mobil ini,' kata Raisa bermonolog dalam hati.

Tapi sial! Ternyata setelah mobil itu sampai di rumah mereka, mereka sudah disambut oleh keluarga Pak Beni, lelaki tua si Tuan tanah itu.

Para bodyguard Tuan Beni ikut menjaga Raisa agar tidak bisa kabur. Rupanya di rumah itu sedang diadakan acara lamaran. Yudi dan Sisil yang sudah mengetahui keberadaan Raisa, segera menangkap Raisa untuk dihadirkan pada acara lamaran itu.

Dengan tangan terikat, Raisa dipaksa didandani di kamar Sisil alakadarnya supaya tidak terlihat lusuh. Setelah selesai, kedua belah pihak keluarga Pak Beni dan keluarga Bu Hery, Mama tiri Raisa, segera melakukan pembicaraan tentang rencana pernikahan.

Bu Hety memberikan syarat agar hutangnya lunas dan meminta mahar yang banyak untuk pernikahan Raisa. Ia sudah punya rencana bersama Sisil dan Yudi, uang mahar itu untuk mereka. Sedang Raisa nanti keluar dari rumah itu di bawa suaminya dengan tanpa membawa apa-apa.

Mereka sepakat untuk mengadakan akad nikah dulu besok. Sedangkan pesta pernikahannya akan dilaksanakan satu minggu lagi.

"Saya tidak setuju! Akadnya sekalian dengan pesta pernikahan saja. Mengapa terburu-buru?" Raisa mencari alasan untuk menangguhkan pernikahannya.

"Saya khawatir nanti kamu kabur lagi, cantik! Kamu harus cepat menjadi istri akang," kata Pak Beni tersenyum menggoda Raisa.

'Cih! Akang! Pala mu peyang! Aki-aki sudah bau tanah pengen dipanggil akang!' gerutu Raisa dalam hati.

Setelah sepakat, keluarga Pak Benipun meninggalkan rumah Raisa. Raisa digiring oleh Yudi ke kamar Raisa. Raisa di dorong dengan kasar hingga terjatuh. Tak lama kemudian pintu dikunci dari luar.

Raisa meringis kesakitan. Ia mengedarkan pandangannya pada seluruh sisi kamarnya. Jedela kamarnya telah dipasang palang kayu yang di paku, keadaan kamar yang berantakan setelah ditinggal beberapa hari, hingga kondisi lemari pakaiannya yang acak-acakan. Sepertinya keluarga Mama tirinya mencari sesuatu yang berharga di rumah itu.

"Mereka pikir masih ada yang tersisa di rumah ini! Semuanya sudah habis di ambil alih orang-orang jahat itu!" gumam Raisa getir.

🌻

🌻

🌻

🌻

🌻

TO BE CONTINUED

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!