BAB 3. SEPERTI GADIS DALAM LUKISAN (Part 1)

Nyonya Cindy memenuhi janjinya untuk menginap di villa itu selama tiga hari. Banyak kebersamaan yang dilakukan oleh Ibu dan anak itu selama disana. Mulai dari membantu Rangga berkebun, mendampingi Rangga melukis, hingga bertemu dengan guru privat seni kriya yang datang pada saat hari ketiga Nyonya Cindy berada di sana.

Usia Nyonya Cindy yang sudah tidak muda lagi, membuat kesibukannya di dunia bisnis diserahkan sepenuhnya pada Daffa, anak sulungnya. Memang sejak suaminya tiada, ia sempat turut terlibat dalam mengelola perusahaan. Tapi kini ia memilih istirahat. Ia ingin menikmati hari tuanya bersama anak dan cucunya.

Daffa dan Wulan sudah memberinya cucu. Lalu bagaimana dengan Rangga? Nyonya Cindy merasa masih belum tenang andaikan sewaktu-waktu ia meninggal dunia, tapi Rangga belum hidup bahagia.

Melihat Rangga dengan aktivitasnya yang sekarang terlihat menikmatinya, cukup membuat Nyonya Cindy bernafas lega. Ia berharap suatu saat nanti Rangga akan mendapatkan jodoh lagi untuk menemani Rangga hingga menua.

Setelah melihat-lihat lukisan Rangga, Nyonya Cindypun segera berkemas-kemas untuk kembali ke Jakarta. Nyonya Cindi berjanji akan kembali lagi nanti dua bulan mendatang.

"Kalau hasil kriyamu belum siap, lebih baik kamu membuat pameran lukisanmu saja. Jangan terlalu memaksakan diri. Dua bulan terlalu singkat." kata Nyonya Cindy khawatir target Rangga tidak tercapai.

"Mama nanti yang akan membiayai pameranmu. Nanti biar Wulan yang mempromosikan pameranmu," kata Nyonya Cindy.

"Terimakasih, Ma," ucap Rangga dengan mata berbinar.

Nyonya Cindy mengangguk sambil tersenyum. Ia senang, setidaknya Rangga masih punya semangat untuk hidup. Dulu ia khawatir kalau Rangga akan bunuh diri ketika terpuruk sewaktu kehilangan istri dan anaknya. Sedangkan mantan kekasih Rangga? Entahlah. Nyonya Cindy masih penasaran dengan hati Rangga pada Resty. Apakah masih menyimpan cinta atau hanya iba saja. Karena Resty yang telah meninggalkan Rangga dahulu sewaktu akan bertunangan. menghilang tanpa jejak. Hingga Rangga patah hati. Dan setelah Rangga move on, menjalin hubungan serius dengan Rena hingga satu tahun, kemudian menikah, tiba-tiba Resty datang lagi dalam keadaan sakit parah.

Tidak ada lukisan Resty di ruangan lukis Rangga. Begitu juga di kamar Rangga. Nyonya Cindy hanya menemukan lukisan Rena di kamar Rangga yang ditutup kain, dan dibuka sewaktu-waktu oleh Rangga. Nyonya Cindy menyimpulkan, cinta Rangga lebih besar pada Rena dibandingkan Resty. Mungkin tindakan Rangga waktu dulu itu hanya demi kemanusiaan ataupun iba karena Resty sebatang kara dan dalam keadaan sakit Kanker stadium akhir. Ya, mungkin itu alasannya.

"Mama harap kamu harus mempertimbangkan tawaran Mama untuk kembali mengelola perusahaan Papamu. Perusahaanmu yang dulu itu biarkan saja dikelola oleh Varrel, suami Wulan. Kamu tentu tidak mau kan bertemu karyawan-karyawan kamu yang dulu?" tanya Nyonya Cindy sambil memasukkan pakaiannya pada koper.

"Aku sudah tidak mau kembali ke perusahaan itu. Kalau perusahaan Papa...., saat ini Rangga belum berfikir ke sana dulu. Saat ini Rangga hanya ingin fokus membuat pameran hasil karya Rangga selama bertahun-tahun," jawab Rangga sambil bersandar pada dinding kamar Mamanya.

"Oke. Kalau begitu, Mama pamit. See you later! Mama harap nanti ada perubahan yang terjadi yang membawa angin segar pada hidup kamu," Nyonya Cindy mencium kening Rangga.

"Bawa koper sama tas saya ya mang Udin!" perintah Nyonya Cindy ketika melihat Mang Udin sudah berada di depan pintu kamar

"Baik, Nyonya!" Mang Udin dengan sigap mengambil koper dan tas yang berada di kamar Nyonya Cindy.

"Mama semoga sehat selalu. Hati-hati di jalan ya , Ma!" ucap Rangga sambil merengkuh pundak Mamanya.

"Kamu juga ya! Harus sehat dan move on! Siapa tahu ketemu gadis idaman," kata Nyonya Cindy sambil mengerling.

"Ck! Gadis idamanku sudah di surga!" jawab Rangga sambil mencebik.

Rangga mengantar Mamanya hingga teras villa. Para ART sudah berjajar ikut mengantarkan Nyonya Cindy sampai ke teras.

"Hati-hati di jalan ya Nyonya!" kata para ARTnya serempak. Nyonya Cindy mengangguk sambil tersenyum.

"Kokom, perut kamu sudah besar? Sudah berapa bulan?" tiba-tiba Nyonya Cindy menyapa Kokom, salah seorang ARTnya di villa itu.

"Sudah tujuh bulan, Nyonya. Saya sekalian mau ijin, saya mau cuti dulu mulai besok," kata Kokom sambil menunduk.

" Ya sudah, gak apa-apa. Mang Udin, dijaga ya istri dan calon anakmu!"

"Tentu, Nyonya!" Mang Udin menjawab.

"Pak Dani, kalau pekerjaan di villa ini tidak tertangani dengan ART yang ada, cari ART baru untuk sementara selama Kokom cuti ya!" Nyonya Cindy memberi arahan sebelum ia pergi.

"Baik, Nyonya!" jawab Pak Dani.

Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman villa dan berhenti tepat di depan Nyonya Cindy yang akan pergi.

"Maaf Kak Cindy! Beberapa hari ini saya sibuk. Jadi baru sekarang ke sini," Om Adam, adik ipar Nyonya Cindy keluar dari mobil menghampiri Nyonya Cindy.

"Ck! Jangan terlalu sibuk! Nanti kamu lupa pada keluargamu sendiri," ujar Nyonya Cindy.

"Ha ha ha ! Tentu saja tidak akan lupa!" jawab Om Adam sambil bersalaman pada kakak iparnya.

"Sehat Kak?"

"Alhamdulillah, sehat,'

"Kak Cindy akan pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Om Adam.

"Iya. Aku sudah tiga hari di sini, aku sudah kangen sama cucu-cucuku. Jadi aku sekarang mau pulang ke Jakarta,"

"Wah, sayang sekali! Tadinya saya akan ajak Kak Cindy jalan-jalan sekitar puncak," kata Om Adam.

"Udah basi! Saya mau pulang! Saya pamit ya semuanya!" Nyonya Cindy melambaikan tangan pada semua ARTnya dan juga pada Rangga. Mang Udin yang telah memasukkan koper dan tas dibantu sopir Nyonya Cindy membalas lambaian tangan majikannya.

"Hati-hati di jalan Nyonya! Semoga selamat sampai tujuan!" ucap Mang Udin.

******

POV Raisa

Namaku Raisa. Usiaku 20 tahun. Aku anak yatim piatu. Aku tinggal dengan ibu tiri ku yang bernama Hety, dan saudara tiri ku yang bernama Sesil. Sebenarnya ada satu lagi saudara tiri ku yang laki-laki, tapi ia sekarang tinggal di kota dengan istrinya. Untunglah. Kalau ia ada di sini, aku takut. Ia kasar dan temperamental.

Ayahku sudah lama meninggal. Aku tinggal dengan Ibu tiri dan saudara tiri ku dengan penuh tekanan. Aku diperlakukan seperti pembantu di rumahku sendiri. Mereka menguasai harta benda peninggalan Ayahku. Keluarga dari Ayahku dan dari Ibuku, aku tak begitu jelas mengetahui keberadaan mereka. Keluarga kami sudah lama putus komunikasi. Hal itu terjadi sejak Ayah memutuskan menikahi Ibu tiriku. Ibu tiriku menjauhkan semua keluarga besar Ayah dan Ibuku. Apalagi mereka tidak menyetujui pernikahan Ayah dengan Ibu tiriku.

Tinggallah aku sendiri menjalani hidup ini tanpa orang-orang yang menyayangiku. Aku diperlakukan seperti budak di rumahku sendiri. Setiap hari aku harus melakukan pekerjaan rumah dan juga harus ke kebun. Aku harus mengurus kebun peninggalan Ayahku untuk ditanami berbagai macam sayuran. Hasil dari kebun itu untuk dijual dan digunakan untuk biaya hidup kami sehari-hari. Sedangkan Ini tiriku dan Sesil hanya menerima hasilnya saja. Mereka merampas semua hasil kebun. Aku hanya mengolah hasil kebun sedangkan mereka yang mengatur keuangannya.

Sebenarnya hidup yang kujalani masih bisa kujalani dengan sabar dan tabah kalau saja Ibu tiriku tidak punya rencana gila. Ibu tiriku berencana menikahkanku dengan seorang tuan tanah tetangga desa yang sudah tua, beristri empat, dan sudah beranak cucu. Aku dijadikan penebus hutang-hutang ibu tiriku yang tidak dapat membayar hutangnya. Tentu saja ibu tiriku berhutang untuk memenuhi gaya hidup Sesil yang hedon. Sehingga akulah yang kena getahnya.

“Raisa! Cepat pakai pakaian itu! Pakaian itu dikirim calon suamimu agar kau pergi makan malam dengannya sekarang!” teriak Ibu tiriku.

“Aku tak mau! Kenapa Ibu menjodohkan aku dengan laki-laki bangkotan yang sudah beranak cucu?! Aku tak Sudi!” balasku.

“Kamu tidak boleh membantah! Kamu harus pergi bersamanya malam ini!” Ibu tiriku mencengkeram pipiku.

“Tidak! Aku tidak mau! Kenapa bukan Ibu saja yang pergi dengannya? Atau Sesil?! Kalian kan yang punya hutang!” aku menghempaskan tangan Ibu tiriku.

Mendengar perlawananku, Ibu tiriku marah. Aku ditamparnya berkali-kali. Dengan penuh amarah, aku lari dari rumah. Cukup! Sudah cukup penderitaanku selama ini! Aku berhak atas hidupku. Tidak boleh ada lagi orang yang berbuat semena-mena pada diriku! Aku bertekad meninggalkan rumahku yang penuh kenangan bersama kedua orangtuaku.

Sepanjang jalan, tak henti-hentinya aku menangis. Aku berlari mengikuti kemana langkah kakiku. Hari sudah mulai malam. Tak kupedulikan sekelilingku. Langkahku baru berhenti ketika menyadari aku akan melewati sebuah area persawahan yang gelap dan sepi. Rasa takutku mulai menyergap. Jalanan terlihat lengang sekali.

Aku menajamkan penglihatanku ketika aku melihat sebuah mobil Avanza akan melintas di depanku. Aku memberhentikan mobil itu. Kulihat sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya duduk didepan.

“Pak, Bu! Tolong saya! Bawa saya pergi dari sini! Kalian pasti orang baik yang mau menolong saya!” aku memohon pada kedua orang itu.

“Ada apa nak? Kamu kenapa berada di tempat sepi begini sendirian?” tanya wanita paruh baya itu.

“Saya lari dari rumah, Bu! Saya tidak mau dijadikan penebus hutang ibu tiriku. Tolong, bawa saya pergi. Saya takut mereka akan menyusul saya!”

Mereka tampak terdiam. Mereka memandangku seperti sedang menelisik. Lalu wanita paruh baya itu berbisik pada laki-laki paruh baya. Laki-laki itu memandangku lagi. Kemudian iapun mengangguk. Wanita itu tampak berbisik kembali. Aku sebenarnya agak curiga takut kalau-kalau mereka orang jahat. Tapi aku tidak ada pilihan lain selain ikut mereka. Aku akan waspada.

“Baiklah, ayo masuk!” kata laki-laki paruh baya itu.

Aku bersorak dalam hati. Segera aku buka handle mobil dibelakang. Akupun duduk dibelakang mereka.

“Terimakasih, Pak, Bu!” ucapku.

Sebenarnya aku bertindak gegabah, ikut dengan orang yang tidak dikenal dijalan. Tapi apa mau dikata, aku setidaknya terlepas dari belenggu Ibu tiriku. Untuk selanjutnya aku akan menyusun rencana. Yang terpenting aku pergi dari tempat itu.

Mobil pun perlahan meninggalkan tempat sepi itu. Kurasakan pandanganku ke belakang. Takut-takut ada orang suruhan Ibu tiriku yang mengikutiku. Aman. Tak ada yang mengikutiku ternyata.

“Namamu siapa, nak? Kamu dari desa mana?” tanya wanita paruh baya itu.

“Nama saya Raisa, Bu. Saya dari desa sekitar sini.”

“Kamu mau kemana? Apa ada yang akan kamu tuju?” tanya laki-laki paruh baya yang sedang menyetir mobil itu.

“Saya tidak tahu. Saya hanya lari dari rumah. Saya tidak punya saudara yang akan saya tuju. Kalau boleh, saya akan ikut kalian saja. Saya bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ataupun bekerja di kebun,” terdengar lancang sebenarnya. Tapi daripada aku terlunta-lunta di jalan, lebih baik kuberanikan diri untuk tinggal bersama mereka.

“Sebenarnya sangat riskan kami membawa seorang gadis malam-malam di jalan. Kami takut dituduh menculik atau membawa lari anak orang. Tapi melihat kejujuranmu dan masalah yang sedang kamu hadapi, kami mau menampung kamu sementara di villa majikan kami,” kata laki-laki paruh baya itu.

“O ya, kenalkan, nama saya Dani dan istri saya bernama Irah,” kata laki-laki paruh baya itu.

“Senang bertemu kalian, Pak Dani dan Bu Irah. Terimakasih sudah berbaik hati memberi tumpangan pada saya. Juga terimakasih sudah percaya pada saya," ucapku tulus.

POV Raisa off

Lima belas menit kemudian mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah rumah yang besar. Raisa terbelalak melihat kemegahan rumah itu. Dirinya memang pernah lewat di daerah itu. Hanya rumah itu satu-satunya yang terlihat berbeda. Rumah yang dekat dengan kebun teh, jauh dari pemukiman penduduk sekitar, tapi mempunyai bangunan yang indah dan megah. Baru kali ini Raisa melihat rumah itu dari dekat.

Pak Dani dan Bu Irah turun dari mobil, diikuti Raisa. Pak Dani dan Bu Irah tampak sibuk menurun-nurunkan belanjaan dari bagasi. Dengan sigap, Raisa membantu mereka menurunkan belanjaan itu.

"Banyak sekali belanjaannya, Bu," komentar Raisa.

"Iya. Belanja bulanan," jawab Bu Irah.

"Memangnya di rumah ini berapa orang Bu?" Raisa penasaran.

"Satu orang," jawab Bu Irah,"Sekalian bawa masuk ya Raisa," kata Bu Irah sambil menjinjing belanjaan. Kedua tangannya penuh menenteng keresek berisi belanjaan.

"Ya, Bu," jawab Raisa sambil mengikuti Bu Irah masuk.

"Satu orang, tapi belanjaannya banyak banget," kata batin Raisa.

"ART disini ada empat, bahkan lima. Cuma yang satunya cuti hamil. Kami yang mengurus Tuan muda selama di sini. Ini villa keluarganya," jawab Bu Irah seakan mengerti jalan pikiran Raisa.

Raisa hanya mengangguk. Matanya sibuk melihat-lihat bangunan paviliun yang berada di belakang gedung utama.

"Letakkan saja disitu belanjaannya. Biar nanti Ibu yang membereskannya," kata Bu Irah ketika berada di sebuah dapur yang menghubungkan antara bangunan utama dan paviliun.

Setelah barang balanjaan diletakkan di dapur, Bu Irah mengajak Raisa mendekati paviliun yang berjejer memanjang. Setelah dekat pada sebuah kamar, Bu Irah membuka pintu kamar itu.

"Kamu tidur di kamar ini. Bersihkan badanmu. Kamar mandinya ada di dalam. Setelah itu pergilah ke dapur. Kami menantimu untuk makan malam. Kamu pasti belum makan," kata Bu Irah.

"Iya, Bu. Terimakasih," jawab Raisa.

"Di lemari, ada beberapa potong pakaian ganti. Pakai saja. Itu disediakan untuk ART baru. Semoga saja cukup ditubuhmu," kata Bu Irah lagi.

"Terimakasih, Bu," ucap Raisa. Ia merasa beruntung sekali ditampung oleh pasangan suami istri yang bekerja sebagai ART di villa itu.

TO BE CONTINUED

Happy reading my readers! Jangan lupa tinggalkan jejak ya

Terpopuler

Comments

Defi

Defi

Rangga pun malah terlena dengan mantan, clbk sampai2 abai dengan istrinya lagi hamil

2023-07-11

0

Yudhiari Denada

Yudhiari Denada

definisi datang saat butuh

2023-04-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!