TAKDIR CINTA RANGGA
“Mas, aku tak mau kamu menemui dia lagi! Aku juga butuh kamu, Mas!”
“Sebentar saja, Rena. Aku cuma memastikan dia menjalani Kemo sesuai jadwal. Bersabarlah! Aku mohon pengertian kamu! Dia sebatang kara! Dia sakit parah! Hidupnya tak lama lagi. Setelah dia tiada, aku akan fokus sama kamu dan anak kita!”
“Bagaimana kalau aku juga sakit, Mas? Apa kamu tetap menemui wanita itu?”
“Kamu dan bayi kita sehat, sayang! Kalian kuat! Bersabarlah sedikit lagi. Hidupnya tak lama lagi. Kamu jangan banyak pikiran ya. Tetap jaga makan dan istirahat yang cukup. Aku pergi dulu,"
“Mas ....! Mas ....! Jangan pergi! Aku butuh kamu, Mas! Calon bayi kita juga butuh kamu!”
“Aargh.....!”
Rangga terbangun dengan nafas memburu. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Ia mimpi buruk lagi. Lagi-lagi mimpi seperti itu lagi yang menghantuinya. Dengan tangan gemetar, Rangga mengambil gelas berisi air bening di nakas. Diambilnya pula satu butir kapsul. Lalu kapsul itu dimasukkan kemulutnya bersama air minum sampai air itu habis. Lalu diletakannya kembali gelas yang telah kosong itu di nakas. Kalau sudah begini, ia tidak bisa tidur lagi. Ia takut mimpi itu datang lagi. Sebenarnya itu bukanlah mimpi. Itu adalah memori yang terekam di otaknya peristiwa 10 tahun yang lalu.
Dengan perlahan, ia berjalan ke balkon. Ia menatap langit malam yang penuh bintang-bintang.
“Rena ...., Maafkan aku! Maafkanlah aku! Andai waktu dapat diputar, aku tidak akan bertindak seperti itu. Aku akan tetap fokus padamu dan calon anak kita!” lirihnya. Buliran bening membasahi pipinya.
Ditatapnya bintang yang gemerlap di langit. Rangga memandang jauh seakan menembus bintang nun jauh di sana.
"Rena .... apakah bisa aku bertemu denganmu lagi di surga? Apakah kita dan anak kita akan bersama di surga?" lirihnya.
Ada rasa sesak bila mengingat mendiang istrinya dan calon anaknya. Rangga merasa gagal menjadi suami dan ayah yang baik.
Diambilnya sebatang rokok lalu dinyalakannya. Saat ini hanya dengan merokok, segala kegundahan hatinya menguap bersama asap rokok. Ya, walau hanya sesaat.
Tak terasa adzan shubuh sayup-sayup terdengar berkumandang. Hawa dingin dan suara adzan membangunkannya dari tidurnya. Masih belum terkumpul penuh kesadarannya, Rangga celingukan merasa heran ia berada di sofa yang berada di balkon. Setelah ia ingat ternyata ia tertidur di balkon setelah mimpi buruk semalam, barulah ia bangkit.
Dilihatnya sebuah sajadah terlipat berada di kamarnya.
Entah sudah berapa lama ia tidak menjalankan kewajibannya pada Sang Khalik.
'Tidak! Tidak! Aku sedang memusuhi Tuhan! Tuhan telah merenggut semua yang berharga milikku! Tuhan bersekongkol dengan Rena untuk menghukumku dengan hukuman yang sangat pedih padaku!' kata batin Rangga.
'Bahkan anak yang baru saja dilahirkan Rena, Kau ambil juga,'
'Ini lebih pedih dari perceraian! Kau menghukumku dengan tanpa ampun! Kenapa tak Kau buat mati saja diriku agar aku tidak menanggung beban bersalah seberat ini?! Aku hidup, tapi jiwaku mati!' umpat Rangga.
Rangga segera menuju ke ruangan gym. Ia segera meninju samsak tinju untuk menyalurkan kemarahannya. Setelah merasa puas dan lelah, Rangga merosot ke lantai. Nafasnya terengah dan tersenyum sinis
*******
"Sebenarnya Rangga sudah sembuh. Hanya saja akhir-akhir ini mimpi buruk menghantuinya lagi," kata Pak Dani, Kepala ART di villa milik keluarga Rangga.
"Buatlah dia lelah sebelum tidur, agar ia bisa tidur nyenyak," kata Om Adam, adik dari papanya Rangga pada Pak Dani. Selama ini Rangga tinggal menyepi, menyendiri, jauh dari seluruh keluarga, teman-temannya dan seluruh kolega bisnisnya.
Dua tahun Rangga depresi berat dan dirawat di RSJ. Setelah dinyatakan sembuh, selama 8 tahun Rangga menghukum dirinya sendiri dengan mengasingkan diri tinggal di villa di daerah perkebunan teh di daerah Bogor.
"Tuan Rangga masih melukis dan berkebun untuk mengisi kesehariannya.Tapi ia ada rencana untuk belajar membuat kerajinan tanah liat," ujar Pak Dani.
"Baguslah. Nanti saya akan mencari guru lesnya. Nanti kalau sudah dapat, saya kasih kabar ke Pak Dani," kata Om Adam.
"Baik, Tuan," jawab Pak Dani.
Om Adampun berlalu dari hadapan Pak Dani. Ia segera masuk ke mobilnya. Tak lama mobil Om Adam meninggalkan villa itu. Hari ini Om Adam tidak menemui Rangga karena ada meeting dengan koleganya di sebuah rumah makan tak jauh dari kantornya.
Sejak Papanya Rangga meninggal dunia tiga tahun yang lalu, Om Adam yang mengelola bisnis di daerah Bogor itu. Daffa, kakaknya Rangga sibuk mengelola beberapa bisnis di beberapa kota besar lainnya sehingga perusahaan yang di daerah Bogor diserahkan pengelolaannya pada Omnya.
"Bu, Bu ...! Sekarang waktunya makan siang. Cepat siapkan makan siang untuk Tuan Rangga," perintah Pak Dani pada Bu Irah, istrinya, ketika Pak Dani memasuki dapur.
"Ya, Pak. Ini sedang disiapkan oleh Kokom dan Titin," jawab Bu Irah.
Pak Danipun segera mengantarkan makanan untuk makan siang Rangga ke kamar Rangga yang berada di lantai dua.
Tok, tok, tok!
Cekrek....
Pak Dani membuka pintu kamar Rangga setelah mengetuknya.
Braak!
Braak!
"Astagfirullah ....! Tuan...! Tuan Rangga! Tuan Rangga kenapa?!" Pak Dani sangat terkejut melihat Rangga sedang mengobrak abrik kamarnya.
"Mana lukisan itu?! Mana lukisan itu?!" tanya Rangga tampak marah
"Lu-lukisan apa Tuan?" tanya Pak Danu tergagap.
"Kemana lukisan yang tertutup kain?! Siapa yang memindahkannya?!"
Pak Dani meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di nakas. Kemudian ia menghampiri tuannya dengan takut-takut
"Maaf, Tuan. Mungkin tadi pagi Mang Udin yang membantu Si Titin bersih-bersih di kamar ini, membawa lukisan itu ke gudang," jawab Pak Dani.
"Apa?! Ke gudang?! Tidak ada yang boleh memindahkan satu barangpun di rumah ini tanpa izinku?! Paham?!" Rangga tampak emosi
"Ma-maaf, Tuan. Itu atas perintah Tuan Adam," Pak Dani menunduk. Tak kuasa untuk menatap Rangga.
"Ini rumahku! Dia tidak berhak mengatur di rumah ini!" hardik Rangga.
"Kau kan tahu, itu lukisan siapa?" Rangga menatap tajam Pak Dani.
"Ya, Tuan, saya tahu," Pak Dani semakin menundukkan kepalanya
"Itu lukisan Rena, Istriku! Aku yang melukisnya!" sentak Rangga.
"Ya, Tuan. Maafkan saya. Nanti saya akan suruh Mang Udin untuk meletakkan lukisan itu ke kamar ini lagi," kata Pak Dani masih menunduk.
"Ya sudah! Cepat bawa kemari lagi!" perintah Rangga.
"Baik, Tuan. Mmm. ... Itu makan siangnya Tuan. Segera dimakan ya Tuan, supaya maag Tuan tidak kambuh. Juga obatnya harus diminum," kata Pak Dani.
"Hmm....," hanya itu suara Rangga.
Pak Dani segera keluar dari kamar Rangga. Setelah berada di luar kamar Rangga, sambil berjalan menuju tangga untuk turun ke lantai satu, Pak Dani mengelus dadanya. Ia benar-benar takut kalau Tuannya kambuh lagi depresinya.
'Ya Tuhan ...., semoga Tuan Rangga sembuh total. Kasihan beliau ....,' kata Pak Dani dalam hati.
Memang lukisan itu dipindahkan atas perintah Om Adam. Om Adam khawatir Rangga akan selalu teringat Rena. Padahal sudah beberapa tahun ini Rangga normal. Emosinya juga sudah stabil. Entah mengapa akhir-akhir ini Rangga kembali mimpi buruk. Kadang suka marah-marah yang tidak tahu penyebabnya apa. Jadi Om Adam berinisiatif untuk menyingkirkan lukisan itu agar Rangga bisa move on.
******
"B*jingan! Pengkhianat! Gara-gara kamu, adikku menderita! Adikku sedang berjuang mau melahirkan anakmu di rumah sakit ini, kamu enak-enakan disini sama pelakor!" David, kakak Rena menghantam Rangga yang sedang mendorong kursi roda yang diduduki Resty.
"Aku bukan pelakor! Hentikan!" teriak Resty histeris melihat Rangga dipukuli seseorang. Rangga sedang berusaha menghindar pukulan dari David.
"Hei, kamu! Kalau bukan pelakor, lalu apa?! Dia punya istri yang sedang hamil besar, tapi suaminya ini selalu sibuk mengurusi wanita macam kamu! Kalau kamu mau mati, mati saja! Jangan merepotkan suami adikku!" hardik David.
"Tunggu! Sebentar! Rena mau melahirkan?! Bukankah belum waktunya? Kandungannya baru 8 bulan!" Rangga menangkis serangan David, dan mencoba untuk berdialog dengan David.
"Kamu tentu saja tidak tahu. Istrimu dan Aku sudah berkali-kali meneleponmu, tapi kamu tak mengangkatnya. Oh iya, tentu saja karena kalian sedang sibuk memadu kasih!" ucap David sinis sambil terengah menghentikan pukulannya.
"Kak! Aku bukannya sedang selingkuh! Aku sedang mengantar Resty Kemoterapy!" ujar Rangga.
"Halah! Alasan! Lihatlah bapak-bapak, ibu-ibu, mbak-mbak! Apakah bisa dibenarkan, istrinya sedang hamil besar bahkan mau melahirkan. Tapi suaminya ini yang sok ganteng, lebih memilih mengantar selingkuhannya berobat daripada mengantar istrinya periksa kandungan!"
Terdengar suara bisik-bisik di area lorong rumah sakit itu.
"Kak! Aku tidak tahu kalau Rena akan melahirkan! Aku beritahu juga, Resty itu bukan selingkuhanku! Dia hanya sebatang kara di Jakarta ini! Dia sedang sakit parah! Aku hanya menolongnya!" teriak Rangga.
"Tapi mantan pacar kan?" sinis David. Terdengar lagi riuh bisik-bisik orang-orang yang ada di sana.
Rangga tercekat. Dilihatnya orang-orang menatap sinis pada Rangga dan Resty.
"Rena memanggil-manggil kamu, tapi kamu tidak memperdulikannya. Kamu tetap pergi menemui kekasihmu itu! Dimana nuranimu b*jingan?! Dimana nuranimu pelakor?! Kamu menyuruh perawatmu agar pengobatanmu selalu diantar Rangga bukan? Padahal sudah ada perawat yang digaji Rangga untuk mengantar dan merawatmu!" David semakin berani berbicara lantang.
"Huuuu dasar pengkhianat dan pelakor! Harus dibasmi!" teriak salah seorang yang berada di sana.
"Huuu ....!" teriak yang lainnya bersahut-sahutan menimpali.
Lalu terdengar nada dering hp. Ternyata dari hp David. David segera mengangkatnya.
"Ya?! Apaa?! Eklampsia! Ya Allah ....," David hampir terhuyung mendengar berita buruk itu. Dengan segera ia menyambar tubuh Rangga lagi. Kali ini tanpa ampun, David memukul Rangga hingga babak belur.
"Kau tahu?! Rena terkena eklampsia? Dia koma sekarang! Kamu puas?! Apa kamu mau menikah sama pelakor sekarang?!" David memukuli Rangga dengan brutal.
"A-appa?! Re-Rena?! Renaaaa ....!" Rangga meraung-raung sambil berusaha menangkis pukulan David
"Kalian! Apa-apaan ribut di rumah sakit! Kalian ikut kami!" Dua orang Satpam yang baru datang segera meringkus David dan Rangga.
"Kalian, bubar! Bubar! Kenapa tidak ada yang melerai dua orang ini?! Bikin ribut saja!"
Orang-orang pun bubar. Tapi mereka masih menatap Rangga, David, Resty dan perawat Resty.
"Pak, saya mohon, Pak! Saya mau melihat istri saya Pak! Dia koma, Pak. Dia telah melahirkan di rumah sakit ini, Pak!" Rangga memohon-mohon pada Satpam itu.
"Baiklah! Dampingi dia Pak! Awas kalau bohong! Setelah ini, bawa lagi dia ke kantor keamanan! Orang yang ini biar saya yang bawa!" kata salah seorang Satpam itu pada temannya.
"Pak! Saya juga mau melihat adik saya, Pak!" kata David.
"Sudah, kamu diam! Kamu yang pertama bikin onar di sini!" hardik Pak Satpam itu sambil meringkus kedua tangan David dan menggelandangnya ke kantor keamanan rumah sakit.
"Renaaaa....! Tidaaaak ......! Renaaaa ....!" terdengar jerit tangis ketika Rangga baru sampai di ruang UGD setelah mencari keberadaan keluarganya di poli ibu dan anak.
Rangga terduduk lunglai. Peristiwa itu terbayang lagi diingatannya. Hatinya terasa disayat-sayat. Sakit sekali rasanya. Bahkan pukulan dari Davidpun tak seberapa dibandingkan luka bathin akibat peristiwa itu.
Dua jam setelah melahirkan, Rena meninggal. Dua jam kemudian, bayi Rena meninggal. Rangga ingat, seluruh keluarga besarnya dan keluarga besar Rena menudingnya penyebab semua itu. Bahkan teman sekantor pun tak ada yang bersimpati padanya. Semua ucapan duka cita hanya ditujukan pada keluarga Rena. Sedangkan pada Rangga. Tak satupun yang mau menyapanya. Padahal Rangga pimpinan di kantor itu.
Rangga merasa dikucilkan, dihakimi. Ia tak sanggup menanggung beban bersalah. Ia terlalu abai pada istrinya. Pikirnya Rena wanita yang kuat. Tapi Rangga lupa, sudah berapa kali ia tak mengantar Rena ke dokter Obgyn. Jadinya ia tak tahu kondisi kehamilan Rena yang terbaru.
Rangga kini sedang menangisi peristiwa masa lalunya lagi. Suara tangisannya terdengar jelas ke lantai satu. Kalau sudah begitu, seluruh ART di villa itu termenung semua. Tak tahu harus berbuat apa. Tak ada yang berani mendekat. Termasuk Pak Dani.
"Nyonya, sebaiknya Nyonya cepat ke sini. Kami tidak tahu harus bagaimana. Mungkin hanya Nyonya yang bisa membuat Tuan Rangga tenang," Pak Dani berinisiatif menelepon Nyonya Cindy, Mamanya Rangga.
"Kok bisa begitu lagi sih Pak? Katanya sudah sembuh. Ini sudah sepuluh tahun lho Pak! Ada apa sebenarnya?" Nyonya Cindy merasa gusar.
"Tidak tahu, Nyonya. Nyonya sebaiknya segera kesini," kata Pak Dani.
"Oke, nanti sore saya akan ke sana," jawab Nyonya Cindy.
Di dalam kamar, Rangga sedang menatap lukisan sosok Rena, mendiang istrinya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Angannya jauh mengingat masa-masa suram itu.
"Istri anda terkena Eklampsia, Pak. Eklampsia adalah kondisi medis serius yang dapat mempengaruhi wanita selama kehamiln. Kondisi ini merupakan lanjutan atau komplikasi dari pre-eklamsia, yaitu kondisi langka yang serius di mana tekanan darah tinggi dapat menyebabkan kejang selama kehamilan."
"Ibu hamil dengan pre-eklampsia atau mengalami hipertensi berat selama kehamilan berisiko mengalami eklampsia yang ditandai dengan kejang dan kemudian diikuti penurunan kesadaran atau koma."
"Hingga saat ini, penyebab pasti dari eklampsia belum diketahui. Namun, kondisi eklampsia diduga berkaitan dengan beberapa hal, seperti: Kelainan pada plasenta dan fungsinya, tidak kuatnya aliran darah pada plasenta, tidak kuatnya aliran pembuluh darah pada plasenta, faktor genetik. Bisa juga karena Ibu hamil banyak pikiran atau stress. Saya kira anda tahu kondisi istri anda walau anda tidak mengantarnya periksa kandungan," kata dokter yang biasa memeriksa Rena sewaktu Rangga berkonsultasi pada dokter itu.
"Saya ...., saya ....," Rangga tidak dapat melanjutkan perkataannya karena rasa bersalah menyergapnya.
"Istri anda dibawa ke rumah sakit dengan tanpa rujukan dari saya. Sebenarnya apa saja yang Anda lakukan sebagai suaminya?! Gegabah sekali anda!" Rangga dimarahi oleh dokter itu.
"Ma-maaf."
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Defi
Menyesal pun tak ada guna, bisa2nya abai sama istri sendiri
2023-07-11
0