"Untuk apa anda minta maaf pada saya? Minta maaflah pada istri Anda! Semoga istri anda disana memaafkan anda!" dokter itu mendengus kesal.
"Mita, panggil pasien selanjutnya!" dokter itu seakan mengusir Rangga dengan menyuruh asistennya memanggil pasien berikutnya yang akan konsultasi dan periksa kandungan.
"Sebenarnya bukan saya yang membawa istri saya ke rumah sakit, dok. Saya tidak sedang bersamanya waktu itu .....," Rangga masih ingin menjelaskan.
"Sudah tidak ada gunanya lagi sekarang kan Pak? Sebagai teman Mamanya Rena, saya sangat kecewa dengan kabar yang saya dengar di luar! Saya harap itu jadi pelajaran bagi anda, agar dikemudian hari anda tidak melakukan kesalahan yang sama. Itupun kalau ada wanita yang masih mau sama bapak!" kata dokter wanita itu menahan emosinya. Kedekatannya secara pribadi dengan keluarga Rena, membuatnya kesal mendengar kabar tak sedap tentang suami Rena di luar.
Sebenarnya dokter itu juga marah pada Bu Astrid, Mama Rena, karena tidak berkonsultasi padanya ketika Rena akan melahirkan. Bu Astrid beralasan bahwa Rena memaksa ke rumah sakit XXX ketika perutnya kontraksi. Belakangan baru diketahui, Rena ingin berada di rumah sakit yang sama dengan Resty, mantan kekasih Rangga yang sedang Kemo di rumah sakit itu. Karena Rangga berada di rumah sakit itu. bersama Resty.
Rangga menghembuskan nafas kasar bila mengingat masa-masa itu. Seluruh rangkaian kejadian itu masih terekam jelas di ingatannya.
Tok!
Tok!
Tok!
"Rangga! Ini Mama, nak!" terdengar suara dari balik pintu kamar Rangga.
Rangga merasa terkejut. Ia yang sedang merenung langsung bangkit dengan mata berbinar. Rangga menghapus air matanya yang telah menetes sejak tadi.
Cekrek!
Pintu kamarpun dibuka.
"Mama!" pekik Rangga.
"Rangga!" Nyonya Cindy memeluk Rangga. Ranggapun memeluk Mamanya. Mereka bertangisan.
"Maaf, Mama baru bisa ke sini lagi. Kamu baik-baik aja kan, nak?" tanya Nyonya Cindy setelah mengurai pelukannya. Ranggapun mengajak Mamanya untuk masuk ke kamarnya.
"Tak apa, Ma. Rangga senang Mama masih ingat Rangga," jawab Rangga.
"Kamu itu bicara apa sih? Kamu itu kan anak Mama, ya Mama enggak akan lupa dong," ucap Mamanya.
"Apa yang kamu rasakan sekarang, nak?" Nyonya Cindy bertanya sambil duduk di kursi yang ada di kamar Rangga.
"Akhir-akhir ini, Rangga merasa aneh. Suasana hati Rangga jadi melow. Rangga juga sering mimpi buruk. Kenangan masa lalu membayang-bayangi Rangga lagi. Padahal, beberapa bulan lalu, Rangga merasa sangat sehat," jawab Rangga.
"Kamu masih konsultasi ke Psikiater?"
"Sudah lama tidak lagi. Sudah Rangga katakan, Rangga merasa sehat dan baik-baik saja. Tapi Pak Dani selalu menyuruhku minum obat. Itu atas perintah Om Adam katanya. Obat itu direkomendasikan dari Psikiater kenalan Om Adam katanya,"
Nyonya Cindy mengernyit heran.
"Boleh Mama lihat obatnya?"
"Sudah diminum siang tadi. Lagipula obat itu tidak ada bungkusnya. Obat itu diberikan satu butir sehari pada waktu makan siang."
"Aneh! Ya sudah, cobalah jangan kau minum dulu obat itu. Itupun tanpa sepengatahuan seluruh ART disini dan Ommu. Nanti kamu rasakan perbedaannya. Reaksinya gimana. Mama khawatir ....," Nyonya Cindy tampak ragu-ragu meneruskan perkataannya.
"Khawatir kenapa Ma?" sambar Rangga.
"Mmm ...., enggak, enggak! Pokoknya kamu jangan minum obat itu lagi. Tapi orang lain jangan sampai tahu. Kamu harus memberitahu Mama reaksi yang kamu rasakan setelah beberapa hari tidak minum obat itu, oke?" bisik Nyonya Cindy takut ada yang menguping.
"Mama dengar katanya kamu akan dicarikan guru privat kerajinan dari tanah liat?" Nyonya Cindy bersikap biasa lagi.
"Ya, rencananya Rangga mau belajar membuat kerajinan seni kriya," jawab Rangga.
"Kalau sudah mahir, Rangga ingin buka pameran hasil karya Rangga, Mah, lukisan dan seni kriya," imbuhnya.
"Bagus. Memangnya hasil karya kamu udah banyak?" Nyonya Cindy sempat melirik lukisan yang tertutup kain hitam.
"Sudah tiga bulan Mama tidak kesini. Lukisanku makin banyak lho Ma!" Rangga tampak antusias.
"Mama mau lihat?" tawar Rangga.
*Nanti saja, Rangga. Mama mau nginap 3 hari kok. Masih banyak waktu," jawab Nyonya Cindy.
"Oke kalau begitu. Mama pasti lelah. Mamah istirahatlah dulu di kamar Mama," saran Rangga.
"Ya, Rangga. Setelah makan malam nanti kita lanjutkan lagi obrolan kita," Nyonya Cindy tersenyum.
"Oke, Ma," Rangga pun tersenyum.
*******
Setelah makan malam, Nyonya Cindy dan Rangga duduk di ruang tengah. Tak ada benda elektronik di villa itu yang bisa dijadikan hiburan untuk Rangga. Rangga benar-benar menjauhi itu semua. Bahkan sudah lama iapun tidak memakai hp. Rangga benar-benar menyepi. Bila membutuhkan sesuatu dari keluarganya, Pak Dani yang menelepon keluarga Rangga. Bila keluarganya rindu pada Rangga, mereka menelepon Rangga melalui hp Pak Dani.
"Rangga, sudah waktunya kamu keluar dari tempat menyepimu ini, nak. Sudah terlalu lama kamu bersembunyi dari dunia luar. Mama ingin melihat hari tua Mama tidak punya beban karena memikirkanmu. Bangkitlah, Rangga! Hidupmu masih panjang! Jangan sia-siakan hidup kamu dengan menyiksa diri seperti ini," pinta Nyonya Cindy. Diusianya yang sudah menginjak kepala enam, ia masih tampak cantik. Walau rambutnya disana sini mulai memutih.
"Entahlah, Ma! Rangga masih belum siap! Rangga merasa masih ada yang mengganjal di hati. Rangga tidak layak hidup bahagia setelah apa yang Rangga lakukan pada Rena," Rangga menolak permintaan Mamanya.
"Mama yakin, Rena sudah memaafkanmu di sana. Iapun tak ingin melihat kamu begini terus. Sepuluh tahun, Rangga! Mama tak tega melihat kamu terpuruk seperti ini terus!"
"Tapi Mama juga dulu menyalahkanku," ujar Rangga.
"Maafkan Mama! Waktu itu siapapun emosi padamu. Apalagi Mama dan Papamu sudah sangat berharap menimang cucu. Tapi kamu mengecewakan harapan kami. Tapi ya sudahlah! Semua sudah berlalu. Kamu sudah menyadari kesalahanmu. Kamu harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mama ingin kamu bahagia," Nyonya Cindy berkaca-kaca.
"Maafkan Rangga," lirih Rangga sambil menyentuh tangan Mamanya.
"Mama ingin kamu membuka lembaran baru hidupmu. Bukalah hatimu. Mama tak ingin sampai Mama mati, kamu masih begini. Mama merasa gagal menjadi orangtua," kata Nyonya Cindy.
"Pulanglah ke rumah Mama. Kelola lagi perusahaanmu ataupun perusahaan peninggalan Papamu. Terlalu berat Kakakmu menanggung sendirian," ucap Nyonya Cindy lagi
"Maafkan Rangga, Ma. Rangga belum siap. Rangga masih merasa berdosa. Rangga layak dihukum oleh Rena. Inilah hukumanku, Ma," kata Rangga bersikeras.
Nyonya Cindy tak dapat berbuat Apa-apa. Dengan menahan air mata, ia menyentuh pundak Rangga. Lalu tanpa sepatah katapun, Nyonya Cindy beranjak dari ruang tengah itu menuju kamarnya.
Didalam kamar, Nyonya Cindy menahan tangis. Sekuat tenaga ia berusaha tidak menangis dihadapan Rangga. Ia tak ingin mental Rangga terganggu dengan tangisannya. Dikamar pun, Nyonya Cindy tak mau tangisannya terdengar oleh Rangga.
"Rangga ...., Mama sayang kamu, nak! Maafkan Mama. Mama belum bisa menjadi orangtua yang baik," gumam Nyonya Cindy.
Angannya melayang jauh. Ia teringat pada Kakak dan adik Rangga, Daffa dan Wulan. Mereka telah hidup bahagia dengan keluarga kecil mereka. Hanya Rangga yang hidupnya harus mengalami kepahitan.
Flashback
"Bu besan, Rena akan melahirkan prematur! Tolong hubungi Rangga. Teleponnya tidak aktif. Saya khawatir .... saya khawatir Rena tidak dapat bertahan lama," kata Bu Astrid ditelepon.
"Ya Allah! Memangnya apa yang terjadi, Bu Astrid?! Kemana Rangga?!" tanya Nyonya Cindy panik.
"Menurut Rena, Rangga sedang menemani Resty kemoterapy," jawab Nyonya Astrid.
"Apaaa?! Keterlaluan! Anak itu harus di kasih pelajaran! Istri sedang hamil besar, hpnya malah tak diaktifkan!" rutuk Nyonya Cindy.
"Kata Rena, sebenarnya Rangga telah memberitahu Rena bahwa Rangga akan menemani Resty Kemo. Lalu Rena tiba-tiba merasa perutnya mulas. Rena sudah mencoba memanggil-manggil Rangga. Tapi Rangga tidak mendengarnya karena terlihat sedang menerima telepon dan langsung masuk ke mobil," jelas Nyonya Astrid.
"Saya akan ke rumah sakit sekarang, Bu Astrid! Nanti saya juga akan coba menelepon Rangga," kata Nyonya Astrid.
Nyonya Cindy lalu menelepon Wulan agar Wulan bisa tiba lebih dahulu untuk menemani Nyonya Astrid. Tempat kuliah Wulan berdekatan dengan rumah sakit tempat Rena melahirkan. Nyonya Cindy juga berulangkali menelepon Rangga. Tapi panggilannya masih belum diangkat juga.
"Ya Allah .... semoga baik-baik saja menantu dan cucuku!"
"Rangga! Awas, kamu! Mama tak akan memaafkanmu kalau sampai terjadi apa-apa sama mereka!" geram Nyonya Cindy.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, Nyonya Cindy langsung menuju ke ruangan bersalin. Papanya Rangga karena sedang ada pekerjaan, akan menyusul nanti. Bu Astrid tampak sedang menangis tersedu-sedu dengan Wulan.
"Ada apa Bu?!" Nyonya Cindypun ikut menangis sambil menghampiri Nyonya Astrid.
"Bu Cindy ...., Rena koma setelah melahirkan! Dia terkena Eklampsia! huu huu huuu ....!" tangis Bu Astrid sambil merangkul Nyonya Cindy. Nyonya Cindypun berangkulan dengan Nyonya Astrid dan Wulan.
"Astagfirullahaladziim ....!" pekik Nyonya Cindy.
Dengan gundah, Nyonya Cindy, Nyonya Astrid dan Wulan menunggu di teras UGD. Mereka sempat melihat bayinya Rena sebelum dimasukan ke inkubator. Kondisi bayi Rena pun kritis. Bayi Rena yang prematur dipasangi selang-selang di dada, perut dan hidungnya. Tampaknya bayi Rena juga ada penyakit bawaan. Nyonya Cindy hanya bisa berdoa semoga mereka bisa melewati masa kritis itu dan selamat.
"Maa ...., apa yang terjadi Maa?!" tiba-tiba Rangga muncul bersama seorang Satpam.
"Kamu dari mana saja Rangga?! Suami macam apa kamu, membiarkan istri melewati masa-masa sulit sendirian!" Nyonya Cindy tak dapat menahan emosinya. Ia memukul - mukul badan Rangga.
"Mas Rangga kejam! Mas Rangga lebih memilih bersama wanita itu daripada Mbak Rena! Mas Rangga b*jingan!" maki Wulan sambil ikut memukul-mukul Rangga.
Nyonya Astrid yang melihatnya hanya menangis. Ia juga sebenarnya sangat marah pada menantunya itu. Tapi ia menahan emosinya. Biar Rangga dipukuli oleh Mamanya dan adiknya sendiri.
Flashback off
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan dipintu kamar, membuyarkan lamunan Nyonya Cindy.
"Ma? Mama sudah tidur belum?" tanya Rangga di balik pintu.
Nyonya Cindy tidak menjawab. Ia lebih memilih menarik selimutnya menutupi ujung kaki sampai dada. Dipejamkannya matanya. Hari ini cukup melelahkan setelah melakukan perjalanan ke Bogor, ditambah melihat Rangga yang masih terpuruk. Hatinya merasa lelah dan letih. Ia ingin mengistirahatkan pikirannya malam ini.
Tak lama Nyonya Cindypun sudah terlelap ke alam mimpi.
TO BE CONTINUED
Hai, hai para readers, berikan vote, like dan komentarmu ya. Terimakasih. LOVE YOU ALL!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Defi
ya ampun Rena, ya jadi nambah fikiran lah lihat suami lebih mementingkan mantan pacarnya
2023-07-11
0