Aku,
Hanya menjadi sesosok bayangan yang enggan beranjak menjauhimu.
Kamu pusat duniaku, dan kamulah yang menghadirkan segenggam biru pada langit yang kelabu.
Kembali Bella,
Jangan biarkan aku memupuk rasa rindu sendiri.
🌜🌜🌜🌜
Bunyi gesekan gorden pada besinya membuat dua alis Adellia berkerut. Cahaya matahari menelusup tanpa malu, sinarnya tanpa sadar mengenai wajah Adellia yang tengah tertidur nyenyak.
Adellia menggeliat, dia merenggangkan otot dan sendinya yang sempat kaku karena aktivitas tidurnya. Adellia membuka mata dengan malas. Perlahan namun pasti, sosok berpakaian gaun biru tertangkap netranya.
"Eh mama! "
Adellia bangkit dari tidurnya lantas memeluk mamanya yang kini masih menatapnya tidak mengerti.
"Adellia kok nggak cepet cepet mandi sih? Entar kesiangan loh"
Suara lembut mamanya mengalun merdu memasuki telinga Adellia. Adellia memeluk Sinta semakin erat, ia begitu girang mendengar suara mamanya yang masih terdengar hangat. Bukan seperti peristiwa yang ia mimpikan itu. Mama cantiknya bahkan menjadi monster ketika di depannya, memarahi Papanya dan mengancam meninggalkan istana rumah tangga yang dengan susah payah telah di bangun.
"Bentar Ma, Adellia masih males"
Jawab Adellia sekenanya. Ia memang malas, lebih tepatnya ia ingin menatap wajah lembut mamanya sedikit lebih lama untuk menghilangkan mimpi kelam yang kemarin sukses menghantuinya.
"Ewh...Anak gadis kok malesan gini. Cepet mandi sana, enggak betah mama deket sama kamu. Bau!"
Ujar mama sambil mengapit hidung mancungnya dengan telunjuk dan ibu jari. Bibir Adellia mengrucut tak terima.
"Mama!Adel nggak bau tau. "
Sentak adel sambil bermanja di lengan Sinta. Sinta menepuk kepala Adellia lembut lantas tertawa terpingkal.
"Mana mau Taehyoung sama kamu. Bau gini anaknya."
"Ma! Adel gigit ya lama-lama,"
"Makanya mandi dong,"
Adellia mengerucutkan bibirnya, ia malas. Jujur, dia masih mengingat bayangan Sinta yang tidak seperti biasanya. Adellia takut kalau Sinta akan berubah ketika dirinya beranjak.
"Mandi Adel."
"Males,"
"Mandi sekarang atau-"
Alis Sinta naik turun menggoda. Adellia merinding, ditatapnya sang mama yang juga tengah menatapnya.
"Atau-"
"Atau apaan Ma?"
"Atau Mama gelitikin, hiah!"
Adellia berlari terbirit. Dia bisa mati muda kalau terus-terusan mendapat gelitikan maut dari mamanya. adellia membuka pintu kamar mandi, lantas menguncinya dari dalam.
"MAMA KEBIASAAN DEH, HIH NYERREMIN! "
Teriakan Adellia membuat Sinta terkikik geli, lantas rautnya kembali meredup dalam sekejap.
Pantaskah dia mendapat kebahagiaan ini?
.
.
.
Seorang gadis cantik menatap pemuda disampingnya dengan diam. Bibir kecilnya menyungging senyum, rambutnya yang dibiarkan terurai menari tertiup angin.
"*Jangan senyum."
Perintah pemuda bernama Auksa sembari mengalihkan wajahnya yang memerah. Alis gadis itu menyatu mendengar kata tersebut*.
"Emang kenapa ?"
Tanya Bella penasaran, Auksa menatap wajah keakasihnya penuh cinta. Tangan kanannya mengamit tangan Bella lembut.
"Aku takut kalau langit jadi jatuh cinta sama kamu. Soalnya berat nyainginya, "
Jawab Auksa membuat Bella tergelak.
Mana mungkin langit menyukainya. Pikir Bella dalam hatinya.
Bella menatap auksa lebih dalam, ia semakin menghiasi bibirnya dengan senyum mempesona.
"Dia nggak akan rebut aku dari kamu Sa. Aku udah terlanjur memiliki langit abadi yang khusus untukku sendiri. Langit paling spesial dan langit yang paling indah sejagat raya. "
Sekarang Auksa yang mengerutkan alisnya karena tak mengerti. Bella menghambur ke pelukan Auksa, gadis itu mendongakkan kepalanya agar dapat melihat wajah kekasihnya yang kini tengah menunduk menatapnya.
"Kamu tahu langit itu siapa Sa?"
Auksa menggeleng kecil menanggapi.
"Langit itu ya kamu Sa, cowok yang sekarang tepat dipelukan aku. Kamu adalah langit yang lebih dulu menjatuhkan senja ke dasar cinta sampai akarnya. Langit yang membuat senja tidak akan mampu berpaling ke langit lain sekalipun langit yang lainnya itu lebih besar dan lebih luas. I love you Sa. "
Ucapan Bella sukses membuat Auksa mematung, jantungnya berdetak abnormal. Auksa mencium Bella lama sekali. Dia ingin menikmati setiap momen bersama kekasih tercintanya.
"Kamu senjanya? "
Bella mengangguk lantas memberikan senyum manisnya.
"Bisa kamu jabarin kenapa aku milih senja ketimbang yang lainnya? "
Auksa mengernyit, dia mamaksa otaknya untuk berpikir lebih keras. Setelah menemukan jawaban, Auksa memegang dua tangan Bella dengan lembut. Netra hitam kecoklatanya bertubrukan dengan bola mata Bella yang indah.
"Senja adalah sumber senyum bahagia sang langit. Tanpanya, langit akan tampak murung dan tidak sempurna. Bel, aku, Auksa Legarvan Alfadiaraga, hari ini dengan tegas meminta, kamu mau kan jadi senjanya Auksa sampai batas waktu yang tidak ditentukan?"
Pinta Auksa sambil membawa Bella dalam rengkuhan kehangatannya. Bella membalas pelukan Auksa erat, hatinya benar-benar terasa bahagia.
"Iya , aku mau jadi senjanya kamu yang tidak akan pernah menghilang walau pagi dan malam menghalangi, aku juga mau jadi senja yang tetap setia datang untuk menunggu pelukan sang langit,"
"Kamu langit aku yang paling tampan bernama Galaksi Auksa."
Auksa membalas pelukan Bella semakin erat. Semilir angin serta pemandangan senja menambah keromantisan kedua insan yang kini tengah berdiri tepat di atas gedung milik Auksa.
Auksa terbangun dari tidurnya, entah kenapa mimpi itu kembali menelusup secara diam-diam dalam alam pikirannya. Keringat Auksa menetes deras.
"kenapa harus mimpi sialan itu lagi sih?"
ujar Auksa mengutuk. Dia tidak menyukainya. walaupun mimpi itu sangat indah karena terdapat Bella di dalamnya, Auksa tetap akan membencinya. Kenapa? karena kehadiran mimpi itu membuat niat Auksa sulit direalisasikan. Auksa tidak ingin terlalu lama terpuruk dalam mencintai Bella yang tidak pernah memunculkan diri.
"Kenapa kamu memilih dia kketimbangaku Bella? Bukannya aku sudah berusaha buat jadi langit yang sempurna buat kamu?"
"Kenapa kamu milih mencari langit lain dan meninggalkan aku disini bersama semua kenangan yang bahkan susah untuk aku hilangkan?"
Auksa mengacak rambutnya, dia tak paham dengan senja yang memilih meninggalkanya, namun Auksa lebih tak mengerti dengan dirinya yang sangat mencintai Bella dengan begitu dalamnya.
Memang benar takdir mempermainkan hatinya, bahkan setelah satu tahun berlalu tanpa kabar, Auksa masih tak mampu menghapus wajah bidadari Bella. Wajah cantik yang selalu menampilkan segurat senyum bersama lesung pipit, dengan mata yang selalu menampakkan binar ketika menatapnya.
Auksa memeriksa jam yang melingkar pas di pergelangan tangannya, dia menghembuskan nafasnya sedikit lantas berlalu menuju kamar mandi.
Auksa selalu menjadikan pekerjaan sebagai pelampiasannya, dia tak mau terlihat rapuh karena kepergian Bella kekasihnya. Auksa akan mencoba berusaha bangkit lagi dan melupakan kenangan yang selalu menghantuinya. Auksa percaya kalau dia pasti bisa melakukannya.
Auksa menyalakan shower kamar mandi, dibiarkannya air itu menubruk wajah bak dewanya yang kini tengah mendongak. Tak elak, walaupun Auksa berusaha membuang semua itu, Auksa tetap tak bisa menampik rasa rindu yang menghujaninya.
Dia merindukan Bella yang telah lama menghilang.
.
.
.
Seorang gadis dengan tatapan mata kosong melangkah pelan menyusuri gang. Hatinya pilu, hancur dan perih.
Dia Adellia Alexa Argantara. Adellia kira semua hal yang menimpanya akhir-akhir ini hanyalah mimpi belaka, namun ternyata perkiraannya itu salah. Semuanya benar terjadi dalam hidupnya.
Adellia masih ingat tatkala ia menanyakan keberadaan Papa kepada Mamanya. Dia juga masih ingat ketika Sinta mengalihkan wajah dan menjawab pertanyaan itu dengan sorot sendu.
Papanya meninggalkanya.
Semudah itu pahlawan hidupnya menyerah pada rumah tangganya, lantas berhenti menjadi ayah yang baik untuk pitrinya.
Adellia melangkahkan kakinya goyah tanpa semangat. Lalu untuk apa dia hidup?
Adellia memiringkan bibirnya, ia menyesali segala takdir kejam yang dengan pasrah dia jalani.
Tin!
Adellia menoleh, sebuah sedan putih dengan laju cepat memperingatinya agar segera menyingkir, Adelia mematung, tubuhnya kaku, sedang otaknya tiba-tiba saja berhenti beroperasi.
"Awas! "
Adellia tak mengubris teriakan histeris dari orang-orang yang melihatnya dari kejauhan. Tanpa sedar, senyum Adellia terbit. Sepertinya mati adalah pilihan paling tepat untuk mengakhiri semua ini.
Brakkkkkk!!!!
Tubuh Adellia terpental keras. Kedua matanya terpejam rapat.
Apakah dia sudah mati? pikirnya dalam hati. Namun suara bariton dari seorang pria membuatnya kembali tersadar. Adellia membuka kedua matanya pelan. Kedua retinanya menangkap sosok pemuda yang tengah menatapnya dengan sorot marah.
"Lo mau mati? "
suara khas pria mengisi telinganya yang tengah berdengung, mata Adellia mulai mengabur. Dadanya juga berdetak kencang. Adellia menunduk, air matanya mengalir membasahi pipi.
"Gue pengen mati"
isaknya sembari meremas jas pemuda yang menyelamatkanya. pria itu melindungi kepala adellia dengan lengannya.
"Hiks, dunia nggak biarin gue hidup. Kalau bukan karena lo, gue bakal temuin eyang lebih awal, gue juga bisa mati tanpa merasakan sakit lagi."
Adellia menangis terisak. Ia memukul dada pria yang berada di depannya
"Gue pengen mati hiks. "
"lo Sinting?"
Umpatan itulah yang Terakhir Adellia dengar. Karena setelah itu, kedua matanya tertutup sempurna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments