Ana Maria menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah ruangan. “Sial. Bahkan dia menyediakan ruang khusus untuk wanita itu,” umpat Ana Maria.
Cukup lama ia berdiri di sana sampai seorang perawat datang menghampirinya. Sepertinya perawat itu baru selesai melakukan pemeriksaan di dalam sana.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya perawat tersebut. “Apa Anda saudara atau kerabat pasien kami yang ada di dalam?”
Ana tersetak mendengar pertanyaan perawat tersebut. “I-iya. Apa saya bisa menjenguk saudara saya?”
“Boleh, tapi saya sarankan untuk tidak terlalu lama dan tetap harus menjaga kondisi pasien agar tetap stabil. Karena pasien harus tetap mejaga kondisi tubuhnya dari kontraksi yang sedang dialami,” pesan perawat tersebut.
“Baik, Suster,” balas Ana.
Wanita itu menghela napas lega setelah perawat tersebut pergi menjauh dari ruangan itu.
Dengan jantung yang berdegup cepat karena gejolak emosi, Ana Maria membuka perlahan handel pintu ruangan tersebut. Pelan bahkan nyaris tidak terdengar. Mungkin karena suara erang kesakitan dari wanita di dalam sana.
“Argh! Sayang. Sakit!” erang Laura dengan suara tertahan.
“Sabar, Sayang. Kamu pasti bisa melawan rasa sakit itu. Aku di sini.” Cristian mengecup punggung tangan Laura yang sedari tadi ia genggam.
Pasangan itu terlalu asyik dengan dunia mereka, sehingga tidak menyadari jika ada sepasang mata yang sedang memperhatikan keduanya di dalam ruangan yang sama.
Kaki Ana Maria menjadi kaku seketika dan ia menghentikan langkahnya. Napasnya terengah menahan emosi yag sudah membuncah.
Mata yang berkabut amarah itu mentap nyalang pasangan di depannya. Namun, sebisa mungkin Ana menetralkan gejolak di dada. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan.
“Cristian, sakit!” Laura kembali mengerang dan mencengkeram tangan Cristian. Ia mulai merasakan kembali kontraksi di perutnya.
“Aku di sini, Sayang. Bertahanlah sebentar lagi. Ini demi anak kita, buah cinta kita,” ucap Crsitian menenangkan Laura. Pria itu mengecup kening Laura dan cukup lama ia melakukan itu.
Ucapan Cristian bagai sebuah bensin yang menyiram tubuh Ana yang sudah memanas karena kobaran api yang membakar tubuhnya sejak ia melihat foto-foto suaminya bersama wanita bernama Laura itu.
Ana Maria tidak bisa lagi menahan dan berdiam diri. Kini, ia melangkah mendekat ke arah brankar, dimana Laura sedang terbaring sembari terus merintih.
“Aku sudah tidak kuat lagi. Rasanya sangat sakit, Sayang!” Kembali Laura mengerang.
Sementara itu, pria yang bernama Cristian tidak tega melihat istrinya yang terus mengerang kesakitan.
“Baiklah. Aku akan panggilkan dokter.” Cristian mencoba melepaskan genggaman tangannya pada tangan Laura dan beranjak dari duduknya.
Namun, belum sempat melangkah, ia dikejutkan dengan sosok wanita yang merupakan istri pertamanya.
“A-ana,” gumamnya nyaris tak terdengar kerena suaranya yang tercekat di tenggorokan.
Tatapan keduanya bertemu. Cristian bisa melihat dengan jelas kekecewaan di wajah sang istri. Tidak. Tepatnya mata wanita itu sudah dipenuhi oleh kabut amarah.
Ana Maria mengulas smirk dan berjalan semakin mendekat. Ia tidak peduli dengan gelengan suaminya dan tatapan penuh harap dari pria itu agar tidak mendekat ke arah brankar.
“An—”
“Christian, sakit!”
Suara erangan Laura memangkas ucapan Christian. Pria itu segera beralih pada Laura yang sedang berusaha menggapai tangannya.
Mau tidak mau, Cristian kembali duduk dan menenangkan Laura. Mengusap pungung dan perut wanita itu secara bergantian.
Kemudian terus meminta Laura menarik napas dan mengembuskan dengan perlahan. Meminta agar wanita itu tenang.
“Apa kamu perlu bantuanku untuk memanggil dokter, Sayang?” ucap Ana Maria dengan senyum penuh arti.
Christian bahkan tidak menyadari jika istri pertamanya itu sudah berada di sisi brankar yang berseberangan dengannya.
Sontak Laura yang sudah lebih tenang pun menoleh ke arah sumber suara. “Sayang?” Laura mengulang kembali panggilan wanita di sampingnya.
“Ups. Apa aku salah bicara?” tanya Ana sembari terkekeh kecil dan menutup mulutnya dengan gaya yang elegan.
“Sayang, aku bisa jelaskan semuanya,” sanggah Christian dengan panik.
“Tentu saja kau harus menjelaskan semuanya,” tukas Ana yang menatap murka suaminya. Ia kemudian beralih menatap Laura yang kebingungan. “Tapi sebelumnya, aku ingin wanita ini tahu sesuatu.”
Christian tahu jika saat ini Ana Maria sedang dipenuhi oleh kabut amarah. Dia bisa saja melakukan hal nekad pada Laura, sedangkan saat ini kondisinya akan melahirkan.
“Sa-sayang?” ucap Laura. Kali ini ia menoleh pada Christian dan menatap pria itu dengan kebingungan. Sesekali wajahnya meringis menahan sakit yang mulai sering datang.
“Ya. Kau tidak salah dengar. Dia adalah suamiku. Aku Ana Maria dengan tatapan tajam. Ia rasa itu cukup untuk mewakili arti dari tatapan Laura pada Christian yang menuntut sebuah penjelasan.
“Su-suami?”
“Ya. Raphael Christian adalah suami sahku, Ana Maria. Kami sudah menikah selama sepuluh tahun,” ucap Ana dengan tegas. “Apa ucapanku cukup jelas?”
Sedikit pun tidak ada rasa iba saat Ana melihat wanita yang tengah berbaring dengan lemah itu perlahan meneteskan air mata yang mulai merembas pada bantal yang menyangga kepalanya.
“Apakah dia tidak mengatakan yang sebenarnya padamu? Atau kau sebenarnya sudah tahu jika pria yang memanggilmu ‘sayang’ itu sebenarnya sudah beristri?” Ana menatap Laura dan Christian bergantian.
“Ti-tidak mungkin. Kamu pasti bohong,” elak Laura yang tidak percaya dengan pengakuan tersebut.
Ia terus menggeleng. “Kamu pasti sengaja ingin menghancurkan hubungan kami,” sambungnya dengan air yang semakin deras mengalir dari sudut mata.
“Aku bukan wanita murahan sepertimu!” bentak Ana tidak terima. Tentu saja ia tidak terima jika mendapat tuduhan seperti itu.
“Aku adalah wanita terhormat dan tidak akan merebut milik orang lain!” tegasnya dengan penuh penekanan.
“Tapi Christian adalah samiku dan aku satu-satunya wanita yang dia cintai,” tukas Laura semakin tidak terima mendengar pengakuan dan pembelaan Ana Maria.
“Tidak! Kaulah ****** yang sebenarnya. Kau hadir dalam kehidupan rumah tangga kami dan menjadi duri di dalamnya. Jika kau wanita baik-baik. Kau pasti akan mencari tahu lebih dulu, siapa pria yang akan menikahimu itu!” sentak Ana.
Ana tidak peduli dengan isak tangis Laura dan wajah lemah wanita yang tengah berbaring di atas brankar tersebut.
Ana Maria tidak peduli jika wanita itu sedang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan anak dari pria yang sama-sama mereka cintai.
“Ana, cukup. Aku mohon. Kita bisa bicarakan semuanya baik-baik.”Christian mencoba untuk menghentikan kemurkaan istrinya.
“Tidak! Kau sudah mengkhianati pernikahan kita, Christian dan sekarang, kau menyuruhku untuk diam saja?"
"Apa kau ingin aku menjadi wanita bodoh yang menyaksikan kebahagiaan kalian? Hah? Apa kau ingin aku diam saja saat mendapatkan pengkhianatan ini? Tidak Christian! Aku tidak sebodoh itu."
Chritian perlahan melepaskan genggeman tangan Laura dan berjalan menghampiri Ana. Ia berpikir harus menenangkan wanita itu lebih dulu. Meredam amarah istrinya agar keadaan tidak semakin buruk.
“Lepas! Jangan sentuh aku lagi, Christian. Kau tentu tahu apa konsekuensi atas pengkhianatanmu ini, bukan?” Ana menepis kasar tangan Chrsitian dan menatap nyalang pria itu.
“Argh!”
Keduanya menoleh dan menatap Laura yang sedang mengerang kesakitan. Ana Maria membeku di tempatnya saat melihat bagaimana wanita itu benar-benar kesakitan.
Laura terus mengerang dengan wajah yang memucat. Sementara itu, Christian segera menekan tombol darurat yang berada tepat di belakang punggung Ana Maria.
“Tolong tunggu di luar. Kami harus memeriksa pasien,” ucap dokter yang sudah masuk dan diikuti oleh dua orang perawat.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 279 Episodes
Comments