"Ayah, kenapa Ayah tampak murung?" Haya memegang tangan sang Ibu yang lembut bak sutera. Haya tidak mampu berkata dengan cepat, seolah-olah tenggorokan Haya tercekat. Padahal banyak sekali hal yang ingin Haya katakan.
Sang Ibu hanya mengusap pucuk kepala Haya dan memeluk nya dengan begitu erat. pelukan yang nyaman lagi meneduhkan hati siapa pun jiwa yang sedang merana, Haya begitu menikmati pelukan dari sang ibu.
"Ibu, kenapa ibu diam saja," ucap Haya masih dalam dekapan sang Ibu.
Haya mendongak ke atas untuk melihat wajah sang Ibu, nampak wajah sang Ibu berseri-seri dan menatap Haya dengan penuh kelembutan dan Cinta. sorot mata sang ibunda begitu meneduhkan, hanya senyum tanpa kata dan suara.
"Bu, kenapa Ayah begitu murung?" Seru Haya lagi, sambil melepas pelukan sang Ibu dan lagi-lagi sang Ibu hanya terdiam.
Nampak sebuah guratan kesedihan di wajah sang Ibu. Dengan ekspresi sedih sang ibu menundukkan pandangan, wajah ibu yang meneduhkan berubah memilukan.
"Ibu kenapa, kenapa ibu menjadi sedih?" Haya mengusap air mata sang Ibu dan memeluk nya kembali.
"Ibu, jangan menangis. aku mohon, Bu."
Lalu sang Ibu mengusap pundak Haya dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang.
Haya melepas pelukan dari sang Ibu dan mencoba mendekati sang Ayah.
Haya mendekat namun sang Ayah memalingkan wajah nya. Hati Haya begitu sedih, kenapa sang Ayah yang selama ini sangat menyayangi nya dan bahkan tak pernah sekali pun memarahi nya kini tak Sudi menatap wajah nya? Ada apa dengan ayah? kenapa ayah tidak mau menatap wajah ku?
Haya tertunduk pilu. kenapa orang yang teramat Haya cintai, tidak mau melihat wajahnya walau hanya sekilas.
"Ayah....!" Lirih Haya dan mencoba memegang bahu sang Ayah. Namun di hempaskan tangan Haya oleh sang Ayah, tidak begitu keras. Tapi bagi Haya, hempasan tersebut sangat menyakiti hatinya.
"Ayah, kenapa Ayah marah dan kenapa Ayah bersedih? Apa Haya membuat Ayah bersedih?" Haya bertanya penuh penasaran. Sang Ayah menoleh dan menatap mata Haya dengan begitu tajam. Bahkan tatapan penuh amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu.
"Ayah, ada apa?" Haya berusaha mendekati sang aayah.
Disana, di mata sang Ayah tidak ada kebencian dan kemarahan hanya ada guratan kesedihan yang jelas nyata. Tangan sang Ayah melambaikan tanda stop. stop berarti Haya jangan melangkah mendekati lagi, cukup berdiri di tempat.
"Ayah....!" Lirih Haya saat menatap mata sang Ayah yang berembun dan berlinang air mata.
Selama ini Haya hanya membuat sang Ayah menangis sebanyak tiga kali, itupun karena tangis bahagia, yang pertama saat Haya sakit dan kembali sembuh.
Yang kedua, saat Haya mendapat prestasi dalam sekolah nya, dan Ayah begitu bangga.
Yang ketiga, saat sang Ayah menikah kan nya dengan Niko. Sang ayah sadar tanggung jawab sudah berpindah.
Mata sang Ayah yang begitu sedih dan berembun. Sang Ayah pergi meninggalkan Haya yang masih berdiri mematung tak menyadari apa kesalahan nya.
"Ayah... " Panggil Haya saat sang Ayah berlalu menjauh.
"Ayah...." Panggil Haya sambil mengejar sang Ayah melewati kebun bunga. Seperti taman yang indah. Banyak kupu-kupu berwarna warni nan indah dan ada pelangi yang menghiasai.
Haya terus berlari hingga sampai di Padang pasir yang luas sang Ayah terus berjalan tanpa menoleh. Haya ragu antara mengejar Ayah atau berhenti karena lelah.
"Ayah...." Teriak Haya mencoba menghentikan langkah kaki sang Ayah. namun sang Ayah sama sekali tidak merespon panggilan Haya.
"Ayah...." Haya menangis dan terduduk di Padang pasir yang begitu luas saat tak lagi melihat sang Ayah, tiba-tiba sang ayah menghilang.
"Ayah, aku kehilangan jejakmu Ayah. Ayah kenapa Ayah begitu sedih dan tak mau memandang ku dengan penuh cinta, Ayah Haya sayang Ayah, jangan lakukan ini padaku!"
Haya menoleh ke kanan dan ke kiri
"Ayah....." Teriak Haya. Haya terbangun ke alam sadar, napas nya ngos-ngosan tidak teratur. sesak menghimpit perasaan Haya kali ini.
Di lihat nya Niko yang masih tertidur pulas. Haya menghela napas panjang.
"Aku cuma mimpi" lirih Haya mengusap dada. ada rasa lega, Haya lega karena hanya mimpi. hati Haya akan hancur saat itu adalah kenyataan.
"Ayah.... Kenapa mimpi itu terasa nyata. Ayah aku merindukan mu," Haya terisak pelan dan beringsut turun dari ranjang kamar tidurnya.
Haya keluar dari kamar dan menuju dapur untuk mengambil minum, mungkin dengan minum pikiran akan mimpi itu akan sedikit melemah dan tenang.
"Tenang Haya, tenang" Haya menasehati dirinya sendiri.
Haya meneguk air di dalam gelas dengan perlahan, kantuk yang tiba-tiba hilang dan kini berubah jadi gelisah tak menentu.
Haya terdiam dan memikirkan banyak cabang, rumit sekali masalah yang harus Haya hadapi semua rumit dan rumit.
"Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini?" Haya mengenggam gelas dengan gelisah.
Kricik.... Kricik....
Suara air terdengar oleh Indra pendengaran Haya, Haya terdiam dan memasang jelas suara apa yang di dengar nya.
Kriet...
Haya menoleh dan mencari sumber suara tersebut, dengan jalan mengendap dan pelan-pelan, Haya mendapati sesosok putih sedang berdiri membelakangi nya.
Tak lama sosok itu membalikan badan "astaga...." Seru Haya saat mendapati wajah bik Pina yang di balut mukena terusan berwarna putih tanpa motif tersebut.
Haya begitu terkejut sampai mau berlari.
"Ada apa Bu? ibu kaget. maaf, Bu."
Haya mendengus sebal oleh keterkejutan tersebut namun Haya mencoba membalas dengan seulas senyum. Ingin Haya marah. tapi Haya tahan.
"Maaf tadi bibik habis wudhu dan mau sholat Tahajud, eh malah bibik kentut. Jadi bibik mau ambil wudhu lagi, tapi sebelum bibik wudhu bibik minum dulu sebelum ke kamar mandi, maaf ya Bu sudah membuat ibu kaget?"
"Iya tidak apa-apa, bik," Haya menoleh ke arah jam dinding yang menunjukan pukul tiga malam.
Haya meninggalkan bibik menuju ruang keluarga, Haya merenung dan teringat akan Ayah dan Ibu yang selalu membangun kan nya untuk Sholat Tahajud. Namun Haya selalu saja malas-malasan. Bahkan sampai sekarang Haya masih saja menyimpan rasa malas tersebut.
"Haya bangun nak! Ayo katanya mau minta biar jadi orang sukses. Ayo bangun minta sama Gusti Allah nak," Haya teringat ucapan sang Ibu saat membuatnya mampu bangun karena ingin menjadi orang sukses.
"Ayah, ibu, Haya kangen," gumam Haya pelan.
Kini semua itu tinggal kenangan, sungguh Haya menahan rindu yang begitu berat dan menyakitkan.
Kini jangan kan sholat Sunnah, sholat wajib pun Haya tinggalkan dengan dalih malas dan capek. Padahal jika Haya mau menyempatkan pasti masih sempat, namun itu lah dunia yang penuh tipu muslihat.
Iman terkadang goyah oleh manis nya surgawi dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments