Terlihat dari muka berseri Sabrina yang manis, tercurahkan antusiasme saat dia memberitahu nama-nama tanaman yang ada di sekitarnya. Sifat cerewet itu tak dapat dibatasi, mencerocos tak karuan. Sementara Sekar masih tersenyum lebar, turut serta tertarik dengan semua yang dilontarkan Sabrina. Anak dari kalangan mahsyur itu tak sesekali memedulikan busana elok nan indahnya terkena tanah, meninggalkan bekas noda.
Saat itu mereka tengah menanam bunga Camelia yang berwarna merah muda, tercetak semringah tatkala Sekar mencium bau tanah yang disiram oleh Sabrina. Entah sudah berapa lama mereka habiskan di sana, bertukar cerita dan kesan yang dibagikan bersama. Mereka akrab lebih cepat dari yang terkira. Mungkin dikarenakan Sekar tak memiliki adik maupun kakak, terutama teman perempuan yang dapat diajak berbicara. Hatinya saat ini bermekaran, berbunga-bunga menikmati keadaan.
"Jangan terlalu berlebihan," Suluh tiba-tiba muncul membawakan buah-buahan dan minuman. "Istirahatlah sebentar."
"Wah Kakak!" Sabrina berlari menerjang minuman yang berwarna cokelat, duduk di atas batang pohon yang terbelah rata. "Kak Sekar, sini!"
Perempuan berambut cokelat yang dikuncir kuda itu tersenyum tulus, membalas, "Terima kasih, Sabrina."
Tatapan Suluh dan Sekar tertaut, tampak jelas bahwa Sekar masih tidak enak akan reaksi yang dilontarkan di dalam kereta. Dia beralih ke tanaman itu dan Suluh memberikan nampan kepada Sabrina. Laki-laki itu harus berbuat sesuatu, mencoba mencairkan suasana seperti sedia kala. Dia secara perlahan mendekati Sekar yang sedang memupuk bunga Camelia di sana, ikut jongkok di sebelahnya.
"Aku minta maaf, harusnya aku--"
"Tidak," sahut Sekar memotong perkataan Suluh dengan disertai hembusan napas setelahnya. "Maafkan aku, tidak seharusnya aku seperti ini."
"Saat tahu bagaimana kehidupanmu selama ini, dadaku mendadak sesak," lirih suara yang berasal dari bibir merah Sekar membuat tenggorokan Suluh tandus, menelan ludah keras-keras. "Aku tak bisa menahan, aku tak dapat menerima kenyataan semacam itu."
"Suluh," kali ini Sekar menoleh, mimik wajahnya tersibak sepenuhnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Mangapa dunia setega itu?"
Suluh terbelalak, tak bergerak dan hanya membeku tercekat. Kenyataan pahit itu tak bisa dibantah, tak dapat didebat. Fakta valid di mana manusia berusaha bertahan. Bentala tak sesekali merasa iba, tak merasa kasihan akan makhluk tak berdaya yang ditelantarkan. Tak memilih di antara manusia yang dihukum oleh kerusakan.
"Mungkin itu sudah hukum alam?" kata Suluh memaksakan senyuman sembari melihat ke arah tanaman berwarna merah muda itu. "Yang kuat memangsa yang lemah, bukankah demikian?"
"Tapi menurutku, menjadi kuat adalah untuk melindungi," secara tiba-tiba Suluh mendekap tangan Sekar yang membuatnya terkejut bukan main. "Memberikan kedamaian."
"Kamu seharusnya tak harus melakukan ini," Suluh secara lemah lembut menarik telapak tangan Sekar, mencegah dirinya menanam. "Biarkan aku yang mengurus semuanya."
"Kak Sekar," tiba-tiba Sabrina bersuara. "Apa Kakak mau ke bukit?"
Perempuan berambut cokelat itu teralihkan. "Bukit?"
Sabrina membalas dengan anggukan dalam-dalam, "Pasti nanti Kak Sekar suka!"
"Bukankah itu lumayan jauh dari sini?" ucap Suluh menoleh ke belakang, mempertanyakan kembali ajakan adiknya.
"Tidak terlalu, kok!" Sabrina sedikit memaksa, berjalan mendekati Sekar dan menarik-narik tangannya.
"Hey, tunggu dulu," cegat Suluh sebelum mereka melangkah lebih jauh. "Apa kamu ingin ke sana Sekar?"
Mereka terdiam. Tak lama kemudian Sekar tersenyum penuh keingintahuan. "Aku tidak masalah."
Suluh berdehem sambil berdiri, menepuk tangan supaya tanah-tanah yang menempel berterbangan. "Baiklah, aku akan izin dulu kepada Pak Arnadi."
Sinar mentari telah bergeser ke arah Barat, langit yang semula biru cerah berubah kekuningan. Perjalanan mereka saat itu terhimpit oleh sawah-sawah yang terbentang luas, disertai desiran semilir menenangkan jiwa. Sabrina tak dapat membendung keceriaannya, melompat-lompat ketika berjalan.
Suluh sibuk menasehati adiknya yang terlalu banyak tingkah, sementara Sekar benar-benar menikmati suasana. Suara air mengalir deras, terpaan sepoi-sepoi yang melambaikan rambutnya, serta ketenangan tiada tara tak dapat dia temukan di tempat tinggalnya. Kota yang hampir tak pernah tertidur.
"Itu di sana!" Teriak Sabrina sambil menunjuk-nunjuk ke sebuah bukit yang di atasnya ada satu pohon besar dengan dedaunan lebat. Tanpa aba-aba, anak itu berlari kencang yang memaksa Suluh harus menyusulnya.
Menyaksikan tingkah kakak adik itu menimbulkan kenyamanan di lubuk hati Sekar, merekahkan senyuman sampai-sampai terlihat giginya yang rapi berjejer. Awalnya dia hanya melangkah pelan yang berubah semakin cepat. Dia tak mengindahkan apapun untuk sekarang ini, rasa itu tak sanggup diacuhkan begitu saja. Suatu kebebasan.
Suluh yang sempat menengok ke belakang, sadar bahwa Sekar melakukan hal yang sama seperti adiknya. Berlari dan melompat-lompat tanpa ragu dan kepalsuan. Suluh hampir mengira dia bukan Sekar, seperti orang yang berbeda. Namun kebahagiaan yang tak terlukiskan kadang kali mengabaikan tata krama, mengalir dalam kenikmatan. Sekar kini berusaha mendaki bukit, sedikit kewalahan karena belum terbiasa.
Sebuah tangan buatan itu terulurkan, Sekar mendongak menatap Suluh yang tersenyum tulus. "Butuh bantuan?"
Sekar menyeka peluh keringat yang mengalir di lehernya bersama muka semringah. "Terima kasih."
Mereka berdua mendaki sampai di pucuk, dinanti-nanti oleh Sabrina yang riang gembira. Bukit yang tak terlalu tinggi itu ternyata menyuguhkan panorama yang sungguh luar biasa indah. Di bawahnya terhampar padang rumput dengan ditumbuhi beraneka macam bunga, dibumbui dengan gagahnya Gunung Bukirama di hadapan mata. Melihat ekspresi Sekar yang begitu cerah, Suluh merasa lega. Setidaknya dia dapat memulihkan cuaca buruk suasana hati perempuan yang dilanda gundah.
Tak terasa sinar mahkota itu memudarkan langit dari kuning cerah mendadak kemerahan. Helaian tangan kuning langsat yang lembut itu menyusuri rambut Sabrina, terlelap di pangkuan Sekar. Anak berusia sepuluh tahun itu pasti kelelahan setelah segala aksi yang dipertunjukkan. Bersama suasana yang tenang menghanyutkan, siapapun dapat tertidur di bawah naungan pohon besar yang mencengangkan.
"Maaf telah merepotkanmu," ujar Suluh menurunkan volume suaranya.
Sekar menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa. Aku senang bila dia nyaman bersamaku."
Suluh manggut-manggut sambil tersenyum. "Ya, kulihat-lihat kalian cepat akrab."
Perempuan itu tertawa kecil akan tetapi di kedua mata lentik itu seperti sedikit terharu. "Senang rasanya bila punya adik perempuan."
Suluh memilih diam, takut mengucap kalimat yang salah.
"Bisa bermain bersama, bercerita, dan berbagi suka dan duka," sambung Sekar tak berhenti membelai rambut dan wajah Sabrina.
"Aku yakin Sabrina juga akan bahagia menjadi adikmu," kata Suluh sedikit merasa aneh ketika menyadari respons Sekar.
Dengan muka yang merona merah, kedua mata bulat itu terbelalak lebar menoleh ke arah Suluh. Sedangkan anak laki-laki itu masih kebingungan dangan kalimat yang baru saja diserukan. Butuh beberapa detik sampai akhirnya Suluh menyadari maksud yang membuat Sekar seperti itu, dia langsung berdiri seketika.
"Ah, tidak, bukan itu maksudku!" Wajah mereka seakan-akan terpanggang kala itu. Suluh berusaha mengalihkan percakapan karena malu.
"Ngomong-ngomong, Sekar," Suluh kembali duduk di atas rumput. "Kalau boleh tahu, apa impianmu?"
Perempuan itu lantas mendongak, memikirkan sesuatu. "Mungkin aku akan mengikuti langkah ibuku sebagai ahli alkimia."
"Itu menarik," ucap Suluh mengagumi pilihan Sekar. "Kamu bisa membuka toko-toko ramuan herbal suatu saat."
Pandangan Sekar tertuju ke depan, menerawang hamparan cakrawala padang rumput. "Ya, seorang ahli alkimia juga dibutuhkan di era revolusi industri seperti ini."
"Benarkah?" anak laki-laki itu mulai tertarik, menoleh ke arah Sekar.
Sekar mengangguk mantap. "Tanpa ibu, ayahku mungkin kesulitan membuat inovasi baru."
"Ah, jadi seperti itu," ucap Suluh menanggapi. "Aku paham sekarang."
"Bagaimana denganmu, Suluh?" kini giliran Sekar yang ingin tahu.
Suluh mengedarkan pandangannya ke segala arah, memantau burung-burung yang berterbangan kembali ke sarangnya. "Aku ... aku ingin bersekolah di Padepokan Cenderawasih."
"Sekolah bela diri itu?" ujar Sekar menimpali.
Suluh menaik-turunkan kepala sambil tersungging senyuman. "Aku akan berlatih sekuat tenaga agar diterima di sekolah itu."
"Sekar," lanjut Suluh secara tiba-tiba menatap kepada Sekar yang kelabakan. "Mari bersumpah untuk menggapai impian kita masing-masing."
Sekar tak membalas dengan anggukan maupun gelengan kepala, keraguan tercetak di wajahnya.
"Bagaimana?" Suluh menyodorkan jari kelingkingnya, bersiap-siap membuat perjanjian.
Namun Sekar memberikan semringah penuh kepercayaan diri, menempelkan jari kelingking mungilnya di jari buatan Suluh. "Mari kita berusaha semaksimal mungkin."
Senyuman Suluh semakin lebar, memanjatkan kalimat, "Aku berharap suatu hari nanti kita bisa kembali ke sini dengan impian yang telah tercapai."
Di atas bukit, di bawah naungan pohon, ikrar itu dibuat. Tempat yang akan menjadi saksi di masa depan atas kesuksesan mereka berdua.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
mantap skuy
2023-03-15
0