4. Rumah

Dokar itu berjalan pelan menyusuri hutan rindang. Jalanan yang dilaluinya terdapat banyak sekali kerikil, tangkai-tangkai daun, serta lahan yang tak rata berlubang. Kusir yang menyetir pergerakan kuda itu tampak berbadan gemuk, berjas hitam dan topi kotak khas seorang pengusaha. Dia tak lain adalah Arnadi yang terlihat mengamati area.

Sedangkan di ruang penumpang itu ada Suluh dan Sekar yang duduk saling berhadapan, sama-sama canggung tak tahu harus memulai percakapan. Namun Suluh tahu hal ini sungguh tak elok baginya, solah-olah dia tak tahu cara berterima kasih dengan mengabaikan Sekar. Anak itu yang semula menatap pepohonan, beralih kepada gadis yang tengah fokus memperhatikan ke luar.

"Se ... Sekar," seru Suluh seketika membuat Sekar menoleh kepadanya. "Terima kasih atas bantuannya."

Mata bulat itu mengerjap. Pernyataan Suluh sedikit membuatnya terkejut bukan karena ujaran apresiasi akan tetapi nama yang keluar dari mulutnya. Kali pertamanya Suluh memanggil Sekar. Perempuan itu pun mengangguk mantap sambil berucap, "Sudah sepatutnya, orang-orang seperti mereka tak boleh dibiarkan berbuat seenaknya!"

Sudut bibir Suluh merekah, merasa sangat tersanjung. "Tanpamu, mungkin, mereka tak akan pernah berhenti."

Sekar terdiam sejenak, mencoba mencerna kalimat Suluh barusan. "Maksudmu, itu pernah terjadi sebelumnya?"

Anak laki-laki yang malang itu hanya dapat tersenyum penuh kesedihan. "Berkali-kali."

Tidak ada respons apapun dari Sekar kecuali muka yang terbelalak. Dia lantas membuang muka, mengatakan sesuatu dengan lirih, "Maafkan aku."

"Tak apa, kau tak salah apapun," kata Suluh mengedarkan pandangan ke luar jendela, memperhatikan keadaan di luar yang kini tergantikan area persawahan. "Mungkin mereka melakukan hal semacam itu karena fisikku."

"Di saat semua orang hidup dengan normal, aku harus bergantung dengan mesin ini," Suluh tertawa kecil penuh paksaan. "Saat itu aku bertanya-tanya, mengapa aku harus berbeda dari yang lain."

"Mengapa aku terlahir seperti ini," jendela itu merefleksikan wajah Suluh yang tetap mempertahankan wajah berserinya. "Hidup hanya untuk menerima hinaan dan caci makian."

"Tapi keluargaku terus menyemangatiku, memberikan kekuatan yang tak ternilai," anak itu melihat ke atas, langit biru dengan gumpalan awan yang berserakan. "Saat itu aku sadar bahwa aku harus bangkit."

"Aku harus menjadi kuat," lirih Suluh dengan suara penuh penekanan dan keyakinan. "Meski bila dunia tak mau menerimaku, setidaknya aku hidup untuk orang-orang yang aku sayangi."

Ruang penumpang itu mendadak hening, Suluh yang membaca situasinya secara cepat angkat bicara sembari menoleh ke arah Sekar. "Ah ... maaf, aku tak bermaksud untuk--"

Gadis di sana tampak terdiam, tubuhnya bergemetar. Mata indah miliknya telah dipenuhi air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Dia sesegukan, mengeluarkan tangisan yang ditahan begitu keras dengan menenggelamkan kepalanya, menunduk dalam-dalam. Jari jemari mungil itu mencengkram kuat pakaian kuning anggunnya, tak menyangka Sekar akan menanggapi sampai seperti itu.

Perjalanan pada akhirnya telah sampai di desa Baturia, desa kecil yang dikelilingi hutan. Orang-orang yang melintas memperhatikan secara seksama, merasa asing dengan tamu yang tak dikenali apalagi dengan kereta kuda bergaya mewah. Rumah-rumah mereka kebanyakan terbuat dari kayu dan bebatuan yang terlihat sederhana.

Setelah meliuk-liuk mengikuti arahan Suluh, mereka dibawa ke tempat padang rumput yang luas sekali. Kehijauannya saja sanggup membuat Sekar yang masih belum pulih, tergugah kembali. Dan di tengah-tengah sana, ada perumahan kecil yang salah satu di antaranya adalah rumah Suluh. Arnadi mengatur kemudi untuk berbelok, menyeberangi jembatan kayu yang di bawahnya mengalir air yang jernih lagi segar.

Atmosfernya terasa sepi, hampir tak menemukan seorang pun yang ditangkap mata. Sepertinya orang-orang di sana bermata pencaharian sebagai petani, belum waktunya untuk kembali. Kuda itu meringkik setelah dia berhenti tepat di depan rumah berbahan dasar bata merah, terpampang wanita yang sedang menyapu di halaman terkesiap begitu sadar ada tamu. Tak lama berselang, pria kurus keluar di ambang pintu, turut penasaran.

Ketika anak berambut hitam itu keluar, mereka semakin terpenjat mengetahui bahwa itu adalah anak mereka. "Ibu, Ayah!"

Suluh melangkah cepat memeluk ibunya, diikuti oleh pria yang kebingungan menghampiri mereka. "Nak? itu siapa?"

"Apa terjadi sesuatu?" ujar ibu Suluh yang khawatir sambil tertuju ke arah pria berjas dan gadis berbusana anggun.

Mereka menguarkan aura kemewahan, sedikit membuat orang tua Suluh was-was. Tak lama kemudian, Arnadi membuka suara, "Permisi Pak, Bu. Maksud kedatangan kami adalah untuk mengantarkan Suluh kembali dengan selamat setelah dia mengalami penganiayaan di kota."

"Kondisinya sangat parah, terutama kedua tangan buatan itu," sambung Arnadi melepaskan topinya. "Dengan kemampuan yang terbatas, saya sedikit memperbaikinya dan mengganti lapisan terluarnya."

"Apa?" sahut Bara, dengan ekspresi tak percaya bahwa anaknya babak belur.

"Berkat Tuan Arnadi, aku bisa menggerakkan tanganku lagi, Ayah," kedua mata hazel Suluh menatap kepada ayahnya yang memiliki mata yang sama.

"Kalau begitu, mari kita masuk," ujar Bara mengulurkan tangannya, seakan-akan mempersilahkan mereka melangkah. "Kita bicarakan semuanya di dalam."

Mereka perlahan tapi pasti masuk ke dalam, Suluh sempat bertukar pandang dengan Sekar yang masih terlihat canggung setelah peristiwa itu; mengekori ayahnya. Meski rumah Suluh terlihat biasa, di dalamnya terdapat sofa kayu dengan bantalan empuk, gorden berwarna merah, serta taplak meja yang indah.

"Silahkan duduk," kata pria itu ramah lalu beralih kepada istrinya. "Arumi, bawakan hidangan."

Ibu Suluh buru-buru masuk ke dalam, hilang di balik tirai yang menimbulkan suara tatkala bergerak. Bara ikut duduk di satu kursi, bersebelahan dengan sofa yang ditempati Arnadi dan Sekar. "Sebelumnya, saya berterima kasih sebanyak mungkin karena telah menyelamatkan anak saya."

Pria berambut hitam pendek itu menarik Suluh dalam rangkulannya, "Sudah berkali-kali saya peringatkan untuk menghindari masalah, tapi dia sepertinya tidak punya banyak pilihan, bukankah begitu, Nak?"

Arnadi menanggapinya dengan senyuman penuh wibawa, "Suluh memang anak yang luar biasa Pak, saya takjub dengan caranya mengoperasikan benda-benda itu."

"Terlebih lagi, bagaimana Anda merakitnya," Arnadi mencondongkan badan, mengatupkan kedua tangan. "Saya penasaran cara Anda mengimplementasikan Prana ke dalam suatu alat."

Tak lama kemudian, Arumi hadir membawakan buah-buahan segar, disuguhkan di atas meja. "Silahkan dinikmati."

Pria kurus dengan baju batik itu terdiam, kemudian berkata pelan kepada anak laki-laki di sebelahnya, "Nak, temani adikmu di taman."

Suluh tak menolak maupun memberontak, hanya sebuah anggukan tanpa rasa enggan. Tapi sebelum pergi, Arumi sempat memberhentikan Suluh dan berbisik, "Coba ajak dia. Tak banyak mengesankan berada di sini lama-lama."

Sekar sontak terpenjat mendengar suara samar-samar itu, dia lantas menoleh kepada ayahnya yang juga memperhatikannya. Arnadi tersenyum seraya berseru, "Tak apa, pergilah."

"Tapi sebelum itu, alangkah baiknya kamu berganti pakaian dulu," kalimat yang terlontar dari ibunya itu seketika menyadarkan Suluh akan bajunya yang masih tercetak noda.

Pada waktu itu, mereka berdua keluar dan menuju ke taman yang telah dibicarakan. Mengikuti arah kecil di sebelah rumah yang dipenuhi rongsokan. Mereka tak banyak bicara satu sama lain, menuruni setapak bebatuan yang menuntun mereka ke sebuah tempat dengan pagar kayu, menutupi area yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Sekar terbelalak, tak menyangka akan seindah ini.

"Sabrina!"

Panggilan itu secara langsung membuat anak berusia sepuluh tahun yang sedang menyiram tanaman berbalik badan. Raut mukanya bercahaya melihat Suluh seketika pudar begitu saja saat sadar ada orang asing di sebelah kakaknya. Dia buru-buru mendekat setelah mematikan kran, bersembunyi di balik kakaknya dengan lirikan yang masih masih tertuju kepada Sekar.

"Ini Kak Sekar." Suluh sedikit membungkuk ketika membisikkan identitas gadis di sampingnya.

Mata Sabrina yang awas berubah drastis menjadi kerlingan penuh ketertarikan. Dia langsung saja melompat heboh, antusias mempresentasikan taman itu kepada Sekar. "Wah, Kak Sekar! Mari lihat bunga yang baru saja aku tanam."

Sekar tak dapat menolak ajakan gadis belia itu dikarenakan tangannya telah digenggam erat olehnya, melenggang ke tamanan di hadapan mata yang membuat Sekar terpikat. Keakraban di antara mereka ternyata terjalin cepat, tanpa ada kendala sama sekali. Suluh yang masih berada di tempatnya memperhatikan secara teliti, ekspresi kebahagiaan yang dikerahkan Sekar.

Sepintas saja di detik itu, dadanya terasa hangat dan berdegup kencang. Entah perasaan apa yang tengah menyelimuti Suluh.

...----------------...

Terpopuler

Comments

tambahan bonus bunga karena sudah mau berteman dengan myako

2023-03-15

0

Edelweiss

Edelweiss

rasa-rasanya, kalimat ini perlu ditambahkan beberapa tanda baca, seperti koma setelah "membuatnya terkejut" dan "ujaran apresiasi", karena saya agak kebingungan harus berhenti sejenak di mana ketika membaca ini.

terima kasih...

2023-03-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!