Lima: Sosok Pendukung Fufy
...---...
Hari ini lapangan panjat tebing lebih ramai dari biasanya. Para orang tua atau wali atlet panjat tebing dipanggil untuk menghadiri rapat. Sama seperti rapat pada umumnya yang membahas tentang perlombaan. Namun kali ini, ada sedikit perbedaan. Para atlet wajib ikut hadir pada rapat ini.
Fufy bersama sang Ibu, Asti memasuki ruang rapat dengan bergandengan tangan. Fufy menundukkan kepalanya menyembunyikan senyumnya. Berkat acara formal ini, Fufy merasa lebih dekat dengan Ibunya.
Asti mempersilahkan Fufy untuk duduk terlebih dahulu. Selanjutnya, Asti menutup mulutnya enggan untuk berinteraksi dengan orang-orang di ruangan itu.
"Baik, saya terima nasihatnya. Apakah ada yang keberatan?" tanya pak Indra.
Semua mata tertuju pada ayah Ardha yang bernama Raska. Raska mengangkat tangan keberatan. "Terlalu memakan waktu. Menganggu pembelajaran di sekolah," katanya berbicara.
"Ya?" Ardha memejamkan matanya, "jika Bapak keberatan, anak bapak diperbolehkan untuk tidak ikut serta dalam perlombaan tingkat provinsi kali ini. Kami selaku panitia, menyerahkan sebagian biaya kepada atlet. Tetapi saya berharap, Davan bisa mengikuti perlombaan ini. Dia atlet berpengaruh dalam kelompok FPTI."
Raska berdiri dengan wajah garang. "Jika anak saya berpengaruh, mengapa perlu membayar fasilitas?" Ardha menarik tangan Ayahnya.
"Jujur, kami tidak cukup biaya untuk itu. Namun, jika Ayah Davan melarang Davan untuk mengikuti perlombaan ini, kami tidak akan memaksa. Kami membutuhkan dukungan untuk ini," kata pak Bima menjawab.
Asti ikut berdiri, membuat Fufy dan Ardha saling bertatapan. "Kalau begitu, Fufy tidak akan mengikuti perlombaan ini," ujar Asti mengejutkan semuanya.
"Ibu?" Fufy panik.
Suasana rapat terasa mencekam akibat pengajuan yang dilakukan Asti. Semua yang hadir disini tau, bahwa Ibu Fufy adalah orang berpengaruh disini. Tentu itu membuat mereka terkejut.
"Ibu Asti? Tiba-tiba?" Pak Indra terlihat kaget.
"Jika begini, anak saya juga tidak ikut. Bapak pikir semua orang disini orang mampu? Anak saya menjadi atlet juga karena membayar perbulannya. Bukan sejuta setahun, tapi setahun sebulan. Kalian pikir itu murah? Saya pikir jika uang itu cukup untuk menalangi biaya tersebut," ucap Raska lebar.
Hening beberapa detik. Kemudian, suara sorakan pun terdengar. Sebagian orang disana menyetujui ucapan Raska. Mereka kemudian menuntut, hingga terjadilah keributan di ruangan itu.
"Saya pikir uang itu cukup, namun saya tidak berpikir kalau uang itu akan tersisa. Bagaimana bisa itu terjadi? Tidak ada sisa sepeser pun?" ucap Ibu Saraswati bernama Neska.
Pak Hakim—selaku ketua disini, mengangkat suara. "Baik. Kalau begitu semua atlet akan kami berangkatkan," ucapnya mengejutkan semuanya.
"Bagaimana?" Raska bertanya memastikan.
"Tanpa terkecuali?" tanya Ranbi menahan senang.
"Semuanya tanpa terkecuali." Kemudian suara pekikan terdengar.
"Bagaimana bisa kesimpulan itu terjadi? Kalau begini, lebih baik rapat ini tidak ada, bukan? Tujuan diadakannya musyawarah ini agar mendapat kompensasi dari pihak orang tua atlet, bukan? Iya atau benar?" ujar Ali, atlet senior yang terkenal dengan keahlian debatnya.
Pak Indra tampak marah dengan pernyataan Ali. "Jaga kesopanan kamu, Ali." Ali membalas dengan tatapan tajam.
"Baik." Ali kemudian duduk kembali.
Ardha menunjuk ponselnya menggunakan jari-jarinya. Matanya menyuruh Fufy agar membuka isi pesan yang baru saja ia kirim.
Ardha kull
Keluar cari makan yuk.
Fufy menaikkan sebelah alisnya bingung. Lalu Ardha kembali membuat pesan untuknya.
Ardha kull
Laper
Kini Fufy menaikkan kedua alisnya bertanya bingung. Matanya memutar berusaha memberitahu apa saja yang ada di depannya. Berbagai macam makanan, mulai dari nasi kotak, makanan ringan dan buah-buahan sudah tersedia disini. Fufy juga melihat Penyemangat belum menyentuh makanan yang disajikan itu.
Ardha kull
Keluarrrr😓
"Saya ingin bertanya, dimanakah sisa uang itu?" Neska bertanya.
Pertanyaan dari Neska berhasil membuat para orang tua membuat pemikiran sendiri. Fufy merasakan tepukan di bahunya. Itu adalah perbuatan Saraswati.
"Cek pesan," kata Saraswati memberitahu.
"Ya?" Saraswati menunjuk pak Indra melalui mata, "acara ini bakalan berlangsung lama."
Sontak Fufy langsung melihat isi pesan terbaru yang dikirimkan pak Indra di grup FPTI. Disana tertulis bahwa pak Indra memerintahkan para atlet yang mengikuti rapat agar keluar dari ruangan ini, dan kumpul di lapangan.
Pak Indra berdiri, lalu keluar dari ruangan tersebut sebagai tanda. "Maaf? Maksudnya bagaimana?" pak Hakim menggaruk kepalanya.
"Langsung ke inti saja. Apakah dugaan kami memang benar, bahwa uang tersebut disalahkan gunakan?" pak Jaya angkat suara.
Asti tertawa pelan, "Kemana uang itu?"
Suasana semakin menegangkan ketika para orang tua atlet menuntut jawaban dari pak Hakim. Fufy sendiri merasakan hawa aneh disekitarnya, berfirasat akan ada sesuatu hal buruk. Ketika dirinya sedang tegang memikirkan masalah itu, tubuhnya spontan tersentak saat Ardha menarik tangannya.
"Keluar."
...----...
Setelah melanjutkan beradu pendapat di lapangan dengan para atlet, acara menegangkan itupun selesai dengan para atlet dibubarkan agar istirahat untuk mempersiapkan perlombaan yang diselenggarakan di luar daerah.
Disinilah Fufy sekarang. Duduk ditepi lapangan dengan sorot mata fokus terhadap makanan-makanan di depannya. Ralat. Lebih tepatnya, makanan itu masih milik sang Penjual. Disana terdapat banyak macam makanan, mulai dari cilok, telur gulung, es krim kojong, dan lainnya.
"Ketularan lapernya?" Ardha terkekeh pelan.
Fufy memutar matanya malas, "Mau dibeliin cilok?"
"Tidak." Kemudian Ardha ikut berjongkok di sebelahnya, "asalkan jangan makanan paling pojok saja. Gak boleh. Ingat?"
Tidak ada jawaban. Ardha menghela napas seraya merogoh celananya. "Uangku gak cukup buat beli yang spesial dua. Kamu ada uang lebih, gak?" tanyanya.
"Tidak perlu." Ardha—Penyemangat Fufy kembali berusaha mencari topik agar perempuan di sampingnya ini bisa mengisi perut.
"Kamu tau Sagitarius? Makanan itu tidak sehat. Bahan utama dari pembuatan es krim ialah gula. Kamu sudah manis, mau ditambah lebih manis lagi?" Ardha menatap Fufy lekat.
Mendengar itu, sebisa mungkin Fufy mengatur ekspresinya. Pupil matanya membesar, serta pipinya memerah seperti kepiting rebus. Hilang sudah rasa kesal yang ia tumpuk sejak tadi.
"Apaan coba?!" sarkas Fufy.
Setelahnya, samar-samar terdengar tawa dari Ardha. Fufy menoleh, memicingkan matanya. "Kenapa?" Fufy bertanya.
Ardha menatapnya dalam, "Gak berpengaruh, ya?"
Fufy kemudian berdiri, diikuti Ardha. Mereka berjalan-jalan mengelilingi makanan yang ada disana. Hanya berkeliling tanpa membeli satupun makanan.
"Pengen banget, ya?" Fufy mengangguk antusias, membuat rasa bersalah menjalar pada diri Ardha.
Ardha ikut menelan ludah. "Kali ini jangan dulu, ya. Perlombaannya dua Minggu lagi. Kalau pak Indra tau, nanti beliau marah. Begitu juga dengan kesehatan kamu," katanya.
"Tapi aku belum pernah makan es krim sejak menjadi atlet. Rasa-rasanya Fufy tidak ingat," ujar Fufy.
Ardha terdiam setelah mendengarnya. "Aku juga." Spontan Fufy menatapnya tajam.
"Kan Ardha cowok!" ucapnya membalas.
Ardha menarik tangan Fufy agar menjauh dari pedagang es krim tadi. Mereka berdua terlihat seperti manusia dari masa lalu yang tidak mengenal makanan manis itu.
"Apa bedanya? Cowok juga pengen jadi manis biar disuka wanita." Ardha kemudian berhenti di pedagang batagor.
"Dasar cowok."
Ardha tersenyum miring, "Iya, benar. Dasar cewek."
"Oke, tidak jadi." Buru-buru Ardha menarik tangan Fufy agar kembali berdiri di sampingnya.
"Ehh, jangan dong." Ardha menyengir, "nanti Ardi marahnya ke aku."
Fufy kembali dengan wajah garang. "Kok jadi Ardi? Apa hubungannya?" tanyanya galak.
"Dia pacar kamu." Sontak Fufy terdiam.
Dapat Ardha rasakan amarah Fufy datang kembali. Ia kemudian dengan cepat memesan tahu goreng dengan bumbu kacang khas itu.
"Katanya uangnya gak cukup." Ardha pura-pura tidak mendengar. Jelas Fufy menyindirnya.
"Batagor terus," gumam Fufy.
"Asalkan tidak es krim," balas Ardha.
Fufy membawa batagor ke tempat duduk. Mereka berdua makan di pinggir jalan. Namun justru itulah yang menambah kesan seru makan di lesehan seperti itu.
"Katanya Cancer sedang mengalami kekurangan gizi akibat kelebihan berolahraga dan jarang memakan nasi. Cuaca bulan ini dingin. Tidakkah itu membuat Cancer pilek?" kata Fufy panjang.
"Cancer itu kuat," jawab Ardha.
Fufy memasukkan potongan cabai ke mulutnya. "Benarkah?"
"Hm. Bahkan di musim dingin Cancer menggunakan AC." Ardha mengambil piring batagor milik Fufy.
"Heh!" Fufy melototkan matanya.
Dengan telaten Ardha memisahkan potongan cabai milik Fufy, kemudian memindahkannya ke piring miliknya. "Jangan makan cabai banyak. Hampir semua penyakit di sebabkan oleh cabai."
Fufy menarik piringnya kembali dengan perasaan dongkol. "Makasih," ucapnya kemudian.
Ardha menarik sudut bibirnya, "Jangan memasang wajah garang seperti itu. Itu tidak lucu. Tambah bikin gemas saja."
"Hah?"
Fufy mengerutkan kening tidak mengerti. Bukan tidak mengerti, lebih tepatnya Fufy kebingungan. Penyemangat yang ia kenal tidak pintar gombal seperti ini. Hari ini Ardha kenapa?
"Tidak. Aku aneh, ya?" Fufy mengerjapkan mata, "tidak sama sekali."
Senang mendengarnya. Ardha menipiskan bibirnya. "Suatu hari nanti aku beliin kamu es krim segudang," ucap Ardha tiba-tiba.
"Di kehidupan mendatang?" beo Fufy.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments