Baru satu jam Alina keluar dari rumah, ibu mertuanya sudah kalang kabut di rumah. TV dinyalakan bukan untuk ditonton, justru TV menontonnya tengah berjalan mondar-mandir sambil menghubungi nomor Alina.
"Ke mana dia? Kenapa teleponnya nggak aktif? Masa ke dokter kandungan aja lama banget?" Mulutnya tak ada habisnya mengocehkan hal yang sama sejak tadi.
Hari ini Grace libur sekolah, dan pastinya enggan keluar kamar sampai siang. Gadis itu turun ke bawah dengan masih menggunakan tanktop dan celana pendek, lalu rambut acak-acakan. Siapa pun mudah menebaknya bahwa dia baru saja bangun tidur.
"Mama kenapa?" tanya seraya berjalan menuju sofa yang menghadap TV sambil membawa ponselnya.
"Wanita jelek kenapa selalu membuatku marah? Ditelepon, hapenya nggak aktif. Katanya mau ke dokter kandungan, tapi kenapa belum pulang juga?"
Sudah waktunya Grace mengompori mamanya. "Sengaja itu, Ma. Pasti dia lagi jalan-jalan supaya bisa menghindari tugas-tugasnya dan omelan Mama," tudingnya dengan santai sambil memainkan ponsel.
"Em ... masuk akal," timpal Vonny, mudah sekali kemakan fitnahnya anak bungsunya itu.
Betrand tak sengaja mendengar ucapan ibu dan anak itu ketika masuk ke dalam rumah. Ia menggeleng kepala, heran. Kenapa dua wanita di rumah ini membenci Alina? Apa salah wanita? Kemalangannya belum cukup dari mereka, kak tertuanya ikut menambah penderitaan Alina.
"Mungkin baterainya habis." Akhirnya, ia ikut berpendapat karena mulutnya gatal sekali ingin membela Alina. "Dia pergi ke dokter kandungan, 'kan? Pasti bang Gio ikut konsultasi. Coba cek aja sama dia, benar nggaknya kak Alina pergi ke dokter kandungan atau pergi ngelayap."
Grace mencibir sambil melirik sinis padanya. "Iiiih! Apaan sih? Dateng-dateng ikut nimbrung. Kenapa sih, Abang selalu belain perempuan jelek itu?"
Dan Betrand membalikkan keadaan dengan membalas tak kalah sinis. "Kamu sendiri, kenapa membenci kak Alina? Emang dia salah apa sama kamu? Apa dia udah nyinggung kamu? Nyakitin hati kamu?"
Ekspresi tertekan muncul di wajahnya. Grace mati kutu, tidak bisa membalikkan ucapan Betrand. Kalau ia mengadu pada sang ibu, maka ia akan dicemooh bodoh oleh abangnya itu. "Auh ah! Ribet!" sahutnya ketus, berpura-pura tak acuh sambil memainkan ponselnya.
Vonny pusing melihat kedua anaknya tak akur gara-gara menantunya itu. "Udah ributnya? Oke, aku akan membuktikan kebenarannya dulu dari Gio," katanya, Betrand pun tersenyum menang mendengar keputusan itu. Tumben sekali ibunya bijak.
Ketika Vonny menelepon, Gio sedang menyetir. Senyum lebarnya terpantul dari kaca spion, melirik pada seseorang di sampingnya. Lalu, seseorang itu menyadarkan kepalanya di pundak Gio.
Seorang wanita! Ya! Wanita cantik yang disangka oleh suster tadi sebagai istri Gio. Tapi, dia bukan istrinya, lebih tepatnya calon madu untuk Alina.
"Sayang," ucap wanita manja, menggenggam erat jemari Gio yang sedang bebas. "Nanti malam kau ke rumahku lagi? Akan aku pesankan makanan yang enak buatmu. Oya! Papa mengirim wine terbaik dari Italia. Apa kau ingin mencobanya?"
Gio menoleh, semakin lebar senyumannya. "Kau selalu memberikan semua yang terbaik buatku. Itulah yang aku suka darimu. Tentu saja, aku akan ke sana untuk mampir," jawab Gio, diselipkan gombalan tipis yang membuat wanita itu bergelayut manja sambil memeluk pinggangnya.
Keduanya tertegun saat mendengar ponsel Gio berbunyi. Wanita itu melepaskan pelukannya, dan Gio mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.
Mama? Gio mengernyit melihat nama itu terpajang di layar ponselnya. Wanita yang bernama Irish itu bertanya, dan Gio menjawabnya dengan heran. Pasalnya, tumben sekali ibunya menelepon jam segini? Apa ada yang gawat?
"Ibu kamu? Kenapa dia telepon?" tanya Irish, matanya membulat sok imut.
"Itulah yang ingin aku ketahui. Sayang, tolong kamu diam, aku mau jawab telepon dulu, ya," kata Gio, Irish pun mengangguk paham sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Setelah itu, barulah Gio mengangkat teleponnya. "Ehem! Ada apa, Ma? Aku lagi nyetir nih."
"Apa kau bersama dengan Alina?" cecar Vonny, tak peduli Gio sedang apa dan di mana saat ini.
Gio menatap Irish, heran. "Nggak, emang kenapa?"
"Dasar pembohong! Benar kan, dia nggak pergi ke dokter kandungan! Melayap ke mana dia?"
Pria itu paham, ibunya mengomeli sendiri di telepon karena Alina. Tapi tunggu dulu, tadi ibunya bilang apa? "Alina ke dokter kandungan?" tanyanya untuk memastikan bahwa ia tak salah dengar.
"Iya! Tadi dia minta izin padaku untuk menemui dokter kandungan—wanita itu masih berharap bisa hamil lagi. Tapi, sampai sekarang dia belum pulang. Hapenya juga nggak aktif. Aku yakin, dia pasti melayap ke mana-mana."
Apa Vonny tidak lelah berceloteh dari tadi? Gio tak tahan mendengar suara berisiknya. "Ya udah, Mama marahin dia aja nanti di rumah. Udah dulu, ya, aku lagi nyetir," pungkasnya geram, lalu buru-buru menutup teleponnya. "Huh! Ganggu aja deh! Kenapa sih, perempuan itu selalu bikin masalah?"
Irish memiringkan kepala seraya menatap Gio dengan penuh tanda tanya. "Perempuan mana yang kau maksud, Sayang?"
"Siapa lagi kalau wanita buruk rupa itu," sahut Gio meraung kesal. "Sssshh! Dia cuma beban saja di keluargaku! Kenapa dulu aku menikahinya?"
"Bukannya kau menikahinya karena cinta? Kenapa sekarang malah menyesal?" komentar Irish, nyaris tertawa geli.
"Iya, memang! Tapi itu dulu. Du-lu! Kalau aku tahu dia cuma jadi beban untukku dan keluargaku, aku pasti tidak akan menikahinya," bantah Gio, menegaskan sampai kekesalannya meluap hingga ke ubun-ubun.
Irish menutup mulutnya seakan pura-pura kaget. Untuk menenangkan kemarahan Gio cukuplah mudah baginya, hanya dengan bergelayut manja di lengannya sambil berkata, "Iya, aku mengerti pada penderitaanmu. Makanya, Tuhan menciptakan aku untuk menghiburmu."
"Benarkah?" sahut Gio, senyumnya mulai terkembang tipis. "Kau akan selalu di sisiku untuk menghiburku?"
"Iya dong. Udah, jangan kesal lagi. Kita kan mau makan siang. Senyum dong." Irish menatap Gio dengan mata besarnya, mengulum senyum lebar yang membuat Gio gemas lalu turut tersenyum.
"Oke, kita nikmati makan siang kita dengan tenang." Gio agak berseru, bersemangat menghidupkan kembali mesin mobilnya karena tadi sempat menepi sejenak. "So, kita akan makan di restoran mana, Sayang?"
***
Alina tak langsung pulang, ia ingin melakukan persiapan yang sudah disarankan oleh dokter Dian tadi. Karena hanya hari ini saja ia bisa keluar rumah, maka ia langkah pertama dari tips itu.
Kunjungan pertama adalah ke mall, memilih salah satu toko yang menjual pakaian. Ia melihat-lihat di sebuah deretan khusus gaun malam. Namun, ia ragu, berpikir ulang sambil menatap lingerie pilihannya.
"Apa iya aku harus menarik perhatian Gio dengan pakaian ini?" gumamnya bersuara kecil. "Tapi, aku malu jika tiba-tiba berpakaian begini. Bagaimana kalau Gio malah nggak suka? Aku kan nggak terbiasa berpenampilan seksi."
Memang sejak dulu Alina selalu berpakaian sederhana, sopan, dan nyaman. Gio sendiri juga bilang, hal yang dia suka darinya selain kecantikan dan sikapnya yang lembut adalah penampilannya. Gio akan kaget dan berkomentar jika ia berubah begini.
Lingerie hitam itu kembali diletakkan ke tempatnya, tetapi kemudian ia membeku saat ucapan Dian muncul di kepalanya. "Istri itu adalah pelacur khusus untuk suaminya". Jadi, ia harus melayani suami tanpa rasa malu, bahkan jika sampai seliar mungkin. Berpakaian seksi seperti ini adalah syarat utama. Kenapa harus malu? Gio sudah beberapa kali melihat tubuhnya polos tanpa busana.
Diambilnya kembali lingerie itu, menatapnya seraya tersenyum optimis. Kemudian, seorang pelayan menghampirinya.
"Jadi, Mbak mau beli yang mana?" tanya pelayan itu dengan ramah.
Alina menoleh dan tertegun. "Tolong bungkus ini!" katanya, mantap menyerahkan lingerie itu pada pelayan tadi.
"Oh, baiklah. Saya akan membungkuskannya untuk Anda. Mari, Mbak ikut saya."
Bagus, Alina! Langkah pertama selesai, satu lingerie telah dibelinya. Setelah membayarnya, Alina keluar dari toko itu. Begitu senang hatinya, langkahnya seakan ringan melewati toko-toko sambil tersenyum.
Ia nikmati hari bebasnya dengan melihat-lihat suasana mall yang agak ramai dengan memakai eskalator untuk turun ke lantai bawah. Ia jadi teringat pada suatu hal begitu melihat toko kosmetik.
Dian bilang, selain berpakaian seksi, ia juga harus berdandan yang cantik agar Gio semakin bergairah. Peralatan make-up memang mahal. Selama ini ia menyimpan uang bulan dari Gio, alih-alih dibelanjakan untuk membeli perlengkapan make-up.
Hanya kali ini saja, demi menyenangkan suami, ia harus rela menghambur-hamburkan uang untuk tampil cantik di depan Gio. Tanpa ragu, ia turun di lantai yang terdapat deretan toko-toko kosmetik, lalu masuk ke dalam toko pilihannya.
Meski masih awam, para pelayan memandu dan memberi saran padanya merek kosmetik apa yang bagus untuknya. Alina mendengarkan dan mengiyakan pilihan mereka. Akhirnya, sepaket make-up dan skincare ia bawa pulang.
Girangnya hati ini. Tidak sabar ingin langsung ia praktikan semua tips dari Dian ketika sampai di rumah. Kini, waktunya ia pulang. Eskalator menurunkannya di lantai bawah menuju pintu keluar. Tanpa sengaja, ia menoleh deretan toko yang menjual ponsel. Langkahnya terhenti, tertegun ketika ingatannya melintas mundur 2 jam yang lalu.
"Oh, iya! Hapeku kan rusak. Apa aku beli sekarang aja, ya?" gumamnya. "Kalau nungguin Gio yang beli, takutnya dia marah. Uang bulanan yang Gio kasih kan banyak. Aku nggak mau nyusahin dia dengan minta hape baru dari uangnya."[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments