ISTRI YANG MANA?

Kalau bukan karena minta izin ke dokter kandungan, Alina tidak akan bisa keluar dari sangkar emasnya. Meski sebentar, ia senang bisa menghirup udara di luar dan meninggalkan kegiatan rumah yang melelahkan.

Tapi, ia pergi bukan sekadar alasan, ia memang pergi ke dokter kandungan kepercayaannya. Once again! Ia tidak akan menyerah untuk mengikuti program kehamilan. Beberapa waktu lalu sempat gagal, dan kali ini ia pasti bisa hamil kembali. Ia ingin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya dan juga mertuanya dengan kehadiran seorang anak.

Alina tiba di depan sebuah rumah sakit besar, tempat di mana suaminya bekerja. Senyumnya terkembang, terpikirkan sebuah ide di kepalanya. "Udah lama nggak makan siang bareng sama Gio. Apa aku ajak dia makan siang aja habis ke dokter kandungan?" gumamnya.

Lantas, ia mengeluarkan ponsel di sakunya, hendak mencari nomors ponsel Gio. Nomornya sudah ketemu, tinggal menekan tombol "dial", tetapi ibu jarinya membeku setelah menimbang sebuah keputusan.

"Apa nanti aja, ya? Takutnya, dia masih sibuk? Em ... apa aku bikin kejutan aja, ya, buat dia? Ya!" serunya pelan dan mantap.

Maka, disimpannya kembali ponselnya dalam saku, dan melangkah masuk ke dalam gedung. Namun, tiba-tiba seseorang menabrak bahunya hingga ponselnya terjatuh dan pecah. Ia terkejut, pria bermantel hitam itu pun menunduk sambil membungkukkan badannya berkali-kali.

"Saya minta maaf," kata pria itu, suaranya teredam karena mulutnya ditutupi oleh masker.

"Tidak apa-apa." Tanpa melihat wajah pria itu, Alina meraih ponselnya lalu memeriksakannya.

Layarnya retak, dan sialnya ponsel itu tidak mau menyala lagi. Pria yang menabraknya telah pergi tanpa sepengetahuannya. Alina hanya bisa menghela napas pasrah.

"Ya sudahlah, aku bisa minta Gio untuk membelikan ponsel baru," ucapnya.

Ponsel itu memang sudah seharusnya diganti. Selama masa pernikahan, Gio sudah 7 kali gonta-ganti ponsel, sementara Alina masih memakai ponsel yang sama dan sudah ketinggalan mode. Gio selalu memberikan uang bulanan untuknya, tapi Alina lebih mementingkan untuk keperluan rumah, ditabung, lalu disisihkan untuk dikirim ke ibunya yang ada di kampung.

Tapi, dengan sikapnya yang dingin begitu, apa Gio mau memberikannya ponsel baru? Alina mengenyahkan keraguan itu. Tentu saja mau! Alina kan istrinya. Masa Gio menolak permintaannya itu?

Sebelum ke sini, Alina sudah membuat janji dengan dokter kandungan kenalannya. Dokter Dian namanya. Mereka sekampung dan orangtuanya saling mengenal, tetapi nasib Dian lebih beruntung darinya. Seandainya ia tidak putus kuliah, mungkin Alina juga sudah sukses sekarang.

Hanya satu antrean, Alina langsung masuk ke dalam ruangan dokter kandungan itu. Ia melongokkan kepala di pintu sejenak. Dan ketika dokter itu menoleh sembari tersenyum, Alina memasuki ruangan lalu duduk di hadapannya.

"So, mau coba program hamil lagi?" tanya dokter Dian, melipat kedua tangannya di meja.

Alina tersipu. Berkali-kali ia datang ke sini untuk melakukan hal sama, dan berkali-kali juga ia gagal. "Ya, aku akan berusaha," jawabnya malu-malu.

"Okay," sahut dokter itu, tersenyum simpul, lalu menyuruh suster untuk mengambil sebuah dokumen yang ada di sebuah rak.

Sebelum memulai, dokter itu sibuk menulis sesuatu pada dokumen itu. Alina memperhatikan dan menunggu dengan sabar, tapi kadang dokter Dian menanyakan hal-hal sepele seperti menanyakan kabar, dan pola makannya. Alina pun menjawab apa adanya tanpa melebih-lebihkan.

"Kenapa kamu datang sendirian?" tanya Dian, sontak Alina gelagapan mencari sebuah alasan. "Dia kan juga dokter di sini. Kenapa nggak sekalian ajak ke sini?"

"Em ... dia sibuk," jawab Alina asal, melirik ke arah lain.

Dengan setengah gusar, Dian menyahut. "Iya, aku tahu dia dokter spesialis bedah toraks yang sibuk, tapi program kehamilan ini berhubungan dengan kalian juga supaya bisa didiskusikan bersama-sama."

Alina tahu, tapi bagaimana lagi. Ia enggan mengganggu suaminya. Pekerjaan ini sangat penting bagi Gio. Jika ia menyela hanya karena hal ini, maka wajah dingin Gio yang didapatkannya.

Dian menghela napas. Melihat raut wajah Alina yang kuyu membuatnya iba dan mengalah. "Oke, nggak masalah. Yang penting, kalian berdua sudah tahu hal-hal yang penting dalam program ini," katanya. "Lakukan hubungan intim di saat yang paling tepat. Pastikan jadwal masa subur dan posisi yang tepat agar proses pembuahan berhasil."

Mungkin bukan pertama kalinya ia mendengarkan saran-saran yang diberikan oleh dokter, tapi ia menyerap semuanya dengan seksama tanpa melewatkannya. Dokter itu juga memberikan informasi tambahan tentang beberapa posisi berhubungan intim untuk mempercepat kehamilan. Jika membahas hal itu, sontak pipi Alina memerah. Apalagi, saat Dian memberikan sebuah saran yang mengejutkannya.

"Aku yang mulai duluan?" tanya Alina agak histeris.

"Ya, nggak ada salahnya kalau kamu yang meminta berhubungan intim duluan. Bukannya bagus? Suamimu pasti merasa senang jika kamu merangsangnya duluan," cetus Dian.

Pipi Alina merah lagi seperti udang rebus, Dian tertawa kecil. "Aku kan malu," jawabnya. "Mana mungkin aku melakukan hal itu?"

Susah juga punya kepribadian pemalu seperti Alina. Dian menghela napas panjang. "Masa malu sama suami sendiri? Ibaratnya, ya. Istri itu pelac*r istimewanya suami. Jadi, buang rasa malu kamu, rayu suami kamu, dan buatlah dia puas dengan servis kamu. Kalau perlu, tonton BF."

"Nonton film BF?" Mata Alina terbelalak. "Dian, kamu serius kasih aku saran begitu?"

"Ya, emang kenapa? Terlalu vulgar?"

Sebelum menjawabnya, Alina melirik suster muda yang ada di samping Dian. Lantas, dimajukan tubuhnya sedikit, dan berbisik, "Kamu juga menyarankan hal itu pada pasienmu?"

Dian memajukan sedikit tubuhnya juga. "Nggak, kan aku bukan spesialisnya. Anggap aja, aku memberikan bonus karena kamu temanku," jawabnya setengah berbisik, lalu memundurkan tubuhnya kembali.

Terima kasih atas bonusnya, tapi tentu agak sulit bagi Alina untuk melakukannya. Diamnya Alina dengan ekspresi ragu, membuat Dian paham dan bergegas memutar otaknya.

"Alina," panggil Dian, spontan Alina melirik kembali padanya. "Aku punya cara lain. Dengarkan aku baik-baik!"

Alina mengangguk semangat, menggeser tempat duduknya agak ke depan.

...***...

Waktu makan siang bertepatan dengan selesainya sesi konsultasinya. Dokter Dian mengajaknya makan siang, tetapi ditolak Alina karena ia berencana untuk makan siang bersama dengan suaminya.

Ruangan suaminya berada di lantai atas. Pada saat itu, pada jam-jam seperti ini banyak sekali dokter yang keluar untuk makan siang. Mungkin Gio juga akan segera keluar dari ruangannya. Maka, Alina mempercepat langkahnya agar bisa berpapasan dengan pria itu.

Setibanya di sana, Alina melihat seorang suster tengah keluar dari ruangan. Hatinya berdetak waswas, bergegas menghampirinya sebelum suster itu pergi.

"Suster! Maaf, Suster!" seru Alina, untunglah wanita itu menoleh dan tak jadi beranjak dari tempatnya.

"Iya, Bu? Ada apa?" tanya suster itu, tersenyum ramah.

"Apa dokter Gio masih ada di ruangannya?" Pertanyaan itu meluncur perlahan karena napas Alina sedikit tersengal.

"Apa Anda mau konsultasi dengan dokter?" tanya suster itu seraya memeriksa sebuah catatan pada sebuah berkas yang dipegangnya. "Sekitar satu jam lagi Anda ke sini, ya, Bu. Dokter Gio sedang makan siang dengan istrinya."

Alina ternganga. Istrinya? Suster, wanita yang dimaksud ada di hadapanmu! Kenapa dia bilang Gio makan siang bersama dengan istrinya? Siapa wanita yang mengaku istrinya? Apa suster ini salah mengenali? Bukan salah suster itu karena tidak mengenali Alina sebagai istrinya Gio.

"Sudah berapa lama dokter Gio pergi?" tanya Alina, tak putus asa.

"Baru saja pergi. Apa Anda tidak berpapasan dengannya?"

Tidak sama sekali, tapi tak penting untuk menjawabnya. Ia harus segera mengejar Gio setelah mengucapkan terima kasih pada suster itu. Ia berharap.Gio masih ada di tempat parkir. Oleh karenanya ia menyusul ke sana sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya.

Astaga! Ia lupa kalau ponselnya rusak! Rencana menghubungi Gio urung. Alina berlari secepat mungkin ketika lift menurunkannya di area tempat parkir. Ia langsung berkeliling dengan panik, mencari sosok Gio.

Terlambat, Gio sudah masuk ke dalam mobil. Alina baru menyadarinya ketika mobil Gio melaju keluar dari area parkir. Alina mengejar seraya mobil itu seraya berteriak memanggil Gio. Entah pria itu mendengarnya atau tidak, mobilnya tak kunjung berhenti, malah semakin cepat lajunya.

Alina tak kuat mengejarnya lagi. Ia berhenti, terengah-engah sambil membungkuk, menatap mobil sedan hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Lelah, kecewa dan sedih bercampur aduk. Cuma bisa meratap, melangkah pelan dengan wajah murung.[]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!