INIKAH PERNIKAHAN?

Perhatian: Cerita ini fiktif belaka. Maklumi saja jika ada alur yang berlebihan dan klise. Nikmati cerita dalam keadaan yang jernih, ya. Selamat membaca.

...***...

Pernikahan tidak seindah apa yang dibayangkan. Jika kamu memiliki suami yang sangat mencintaimu, maka ia akan melindunginya, berkata baik meski tak harus romantis.

Alina tidak demikian. Suaminya hanya manis pada awal pernikahan, tetapi ketika bulan berikutnya, rasa sakit yang ditahannya harus dimulai saat itu juga.

Di rumah besar ini, tak ada yang menganggapnya sebagai menantu. Mereka orang kaya, tapi terlalu pelit untuk menyewa seorang pembantu. Memasak, Alina tidak mempermasalahkannya, begitu juga dengan melayani ibu mertuanya yang sekadar minta secangkir teh dan camilan.

Alina mengantarkan pesanan ibu mertuanya itu ke teras belakang rumah yang tamannya begitu luas dan penuh oleh tanaman hias. Gadis itu agak gemetaran membawa nampan, wajahnya pucat karena lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ditambah lagi ia belum makan sejak pagi.

Dengan tetap menahan tubuhnya, Alina menghampiri ibu mertuanya yang sedang duduk di sebuah kursi sambil memegang kipas bertenaga baterai. Alih-alih berterima kasih, wanita itu memperlihatkan wajah cemberutnya.

"Lama banget! Saya kan sudah bilang, jam 4 sore, kamu wajib menyuguhkan saya teh dan cemilan!" bentak ibu mertuanya.

Alina menjawab sembari menunduk dan tersenyum kecut. "Maaf, Ma. Pekerjaan rumah saya tadi—"

"Alasan! Pekerjaan rumah dijadikan alasan!" potongnya seraya menyindir. "Makanya, jadi istri itu bangun lebih pagi lagi! Jangan malas-malasan kayak gitu!"

Memangnya, harus seberapa pagi? Subuh, Alina sudah bangun untuk menyiapkan sarapan, menyetrika pakaian suaminya yang akan berangkat kerja di rumah sakit besar sebagai dokter spesialis toraks.

Setelah itu, lantas ia bisa sarapan? Ibu mertuanya justru menyuruhnya untuk mencuci semua pakaian, kemudian membersihkan rumah, atau kadang berbelanja mingguan. Seperti itulah keseharian Alina di rumah ini.

Namun, setelah apa yang sudah dilakukannya, ia hanya dapat omelan saja. Bahkan, ia harus menunduk meminta maaf seperti apa yang dilakukannya saat ini.

"Maaf, Ma. Saya akan lebih cepat lagi menyelesaikan semua pekerjaan saya," gumam Alina, menahan air matanya yang menggenang dalam tundukan kepalanya yang dalam.

"Bagus itu." Hanya kata dingin yang dilontarkan ibu mertuanya sambil meraih cangkir dan akan menyeruputnya.

Namun, wanita paruh baya itu tidak menyadari bahwa tehnya masih panas, sehingga dia kaget, lalu meletakkan cangkir itu. Alina buru-buru mendekatinya dengan cemas, tetapi malah mendapatkan tatapan sangar darinya.

Dengan cepat wanita itu meraih cangkir teh, kemudian menyiram paha Alina. Sontak, Alina terpekik pelan dan terkejut. Teh itu menembus rok ke kulit pahanya, membuatnya kepanasan dan perih.

"Dasar menantu nggak becus!" maki ibu mertuanya. "Kamu sengaja mau buat bibir saya melepuh, hah?"

"Maaf, Ma," isak Alina menundukkan kepalanya lagi.

"Maaf, maaf! Saya bosan dengar kata itu!" Wanita itu mendegus dan berkacak pinggang, lalu mencibir pelan. "Heran, kenapa Gio mau saja menikahi wanita jelek kayak gini!"

Rasa sakit pada fisik tak sebanding dengan pedihnya penghinaan yang melukai hati. Namun, kelembutan hati Alina menelan semua ucapan menyakitkan itu, dan malah menganggap bahwa mungkin memang dirinya yang salah.

Lagi, kata "maaf" terucap dari bibir Alina. Ibu mertuanya meradang, menjerit sambil menutup telinganya.

"Cukup! Saya muak mendengar semua ucapan kamu! Sekarang, pijitin saya!" Lalu, wanita itu duduk sambil memegangi kepalanya, dan menggerutu pelan. "Huh! Kepala saya malah pusing gara-gara kamu. Cepat! Pijitin saya!"

Perlakuan semena-mena ibu mertuanya, Alina lakukan dengan cepat, meskipun tubuhnya mulai sulit untuk tetap berdiri tegak. Dengan tubuh terhuyung-huyung, ia menghampiri ibu mertuanya itu. Karena lemas, gerakan pijatannya pelan dan tak bertenaga. Dan itu membuat ibu mertuanya kembali berang.

"Bisa pijit nggak sih? Nggak berasa begini?" omelnya.

"Iya, Ma," jawab Alina lemas.

Alina berusaha keras mengeluarkan tenaganya untuk memijat kepala ibu mertuanya. Namun, ia justru semakin lemas, dan pada akhirnya tubuhnya terjatuh di atas rerumputan, tak sadarkan diri.

Ibu mertuanya tersentak karena mendengar suara debuman keras itu, lalu menoleh. Alih-alih prihatin melihat menantunya pingsan, wanita itu malah berdiri sambil berkacak pinggang.

"Dia pasti pura-pura," gerutunya. "Heh! Bangun! Jangan pura-pura pingsan deh! Sok drama banget sih? Kamu kira, saya mempan dengan trik jadul kamu!" omelnya, dengan berhati dingin membangunkan Alina dengan menendang-tendang kakinya.

Alina tetap bergeming, ibu mertuanya mendengus dongkol. Lalu, wanita itu berjongkok, menepuk-tepuk lengannya agak keras.

"Heh, Alina! Bangun! Saya tahu kamu cuma pura!" bentaknya, tetapi Alina tidak juga menyadarkan diri. "Oke, kalau kamu masih mau bertahan sama akting kamu, saya akan bangunkan kamu dengan cara lain!"

Wanita itu bergegas menghampiri keran air yang ada di dekatnya. Diraihnya selang air, membuka keran hingga air mengucur dari keran. Lalu, ia mengarahkan selang pada Alina, menyemprotkan air sampai Alina tersentak bangun.

Setelah itu, selang tadi dibuang asal oleh wanita itu, kemudian menghampiri Alina sambil berkacak pinggang. "Bagus, ya? Beginikah cara kamu untuk menghindari tugas sebagai pembantu? Pura-pura pingsan! Kamu pikir, ini panggung teater apa? Kamu tahu, nggak? Akting kamu itu buruk!"

Alina cuma bisa menunduk sesegukan, tak mampu melawan dengan mengatakan bahwa dirinya benar-benar dalam keadaan sakit. Namun, kalaupun ia mengatakannya, itu juga percuma karena ibu mertuanya tidak akan percaya. Ia masih membantah bahwa ibu mertuanya itu berhati dingin dan kejam. Sifat kerasnya itu dikarenakan memang pembawaan wanita itu.

"Huh! Kenapa hariku buruk sekali sekarang?" gerutunya, tangannya mengibas-kibas. Kemudian, lirikan sinis ditancapkan pada Alina. "Heh! Bereskan semua kekacauan ini! Hariku buruk karena kamu! Jadi, jangan memperlihatkan wajah kamu di depan saya. Paham!"

Wanita itu meninggalkan Alina sambil berjalan menghentakkan kakinya. Perlahan, Alina berdiri sambil terus menangis kencang. Apa yang diterimanya saat ini, memang sudah biasa ia hadapi. Namun, tetap saja ia tidak akan bisa menahan rasa sakit di hatinya dan air matanya.

Ia menyabarkan diri, ia harus tetap teguh. Toh, hidupnya tidak seberapa menderita dibandingkan ibunya yang telah membesarkanya tanpa suami. Jika mengingat hal itu, ia menjadi kuat, menyeka air matanya dan berhenti menangis.

Diraihnya selang yang tadi dilemparkan ibu mertuanya, mematikan keran, lalu menggulung selang itu, dan diletakkan kembali ke tempatnya. Cangkir dan toples kue juga ia bereskan di atas nampan, setelah itu ia bawa ke dapur.

...☘...

Ruang makan sunyi dari obrolan penghuni rumah yang sedang menikmati makan malam. Alina muram sambil melirik tempat kosong yang biasa di tempati oleh suaminya.

Ayah mertuanya ternyata memperhatikannya, lalu bertanya, "Alina, kok makannya nggak semangat begitu? Apa karena Gio belum pulang?"

"Alina terkesiap sejenak, senyum dipaksakannya terulas. "Bukan karena itu kok, Pa."

"Apa Gio lembur lagi?"

"Tadi aku telepon, katanya dia ada acara makan malam sama teman-temannya," jawab Alina berkecil hati.

Ibu mertuanya tampak tersenyum sinis. "Itu cuma alasan. Gio tidak mau makan di rumah karena masakan istrinya tidak enak," cibirnya.

Pandangan suaminya sontak ke arah wanita itu, menatap tajam dan geram. "Siapa yang bilang begitu? Kalau memang tidak enak, kenapa tidak kau saja yang masak?"

Voni tidak mau kalah, menatap pria yang sudah 30 tahun dinikahinya itu dengan tak kalah garang. "Buat apa gunanya menantu di rumah ini kalau bukan untuk mengurusi rumah?" sahutnya ketus.

"Memangnya, selama ini kau telah melakukan tugas sebagai menantu di keluarga ini?" balas Vincent, nama ayah mertua Alina. "Kau saja tidak pernah memasak, semua dikerjakan oleh pembantu."

Wanita cepat sekali kemarahannya meledak. Disinggung seperti ini saja, dia langsung menggebrakkan meja dan sekaligus berdiri. "Oh! Jadi karena itu kau—"

Voni tiba-tiba hening karena mempertimbangkan ucapan yang keluar dari mulutnya itu. Mood-nya langsung buruk, dan seketika seleranya jadi hilang.

"Saya sudah selesai makan," gumamnya sambil mengelap mulutnya.

Serbet yang digunakannya itu, lalu dilemparkan dengan kasar ke atas meja makan, lalu ia beranjak pergi dari ruang makan sambil menghentakkan kaki.

Vincent tampak kesal juga, tetapi ia tak ingin merusak suasana di depan Alina, kedua anaknya. "Sudah, jangan dipikirkan. Ayo, lanjutkan makannya."

Alina yang sejak tadi melihat ke arah Voni, kemudian menoleh pada ayah mertuanya sambil tersenyum hambar. Pertengkaran ini bukanlah pemandangan asing baginya. Entah ada apa dengan mereka, Voni selalu membahas sesuatu hal dalam pertengkaran mereka, tetapi tidak diucapkan sampai tuntas. Apa yang terjadi? Apa ini ada hubungannya dengan ketidakharmonisan dalam hubungan mereka?

Makan malam usai begitu saja, Alina membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan sendirian. Tak ada yang membantu meski di rumah ini memiliki seorang putri bungsu. Dan ini adalah pekerjaan terakhir yang dilakukannya. Ia bisa istirahat sekarang.

Namun, matanya tak mau terpejam, sisi ranjang sampingnya kosong. Sudah dua bulan pria itu selalu seperti ini, pulang di saat ia sudah terlelap. Mereka tidak pernah menghabiskan waktu karena Gio menjadikan pekerjaannya yang sibuk sebagai alasan.

Alina menghela napas panjang, meratap, mengelus ranjang kosong itu sambil bergumam, "Gio, kapan kamu punya waktu untukku? Aku kangen pelukanmu."

Akhirnya, Alina memejamkan mata, berusaha terlelap meski butuh waktu lama. Tak sadar jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, seseorang masuk ke dalam kamar yang gelap.

Pria itu sempoyongan menghampiri ranjang, lalu menghempaskan diri. Alina tersentak, dan langsung menghidupkan lampu hias. Lagi, ia harus menemukan sosok Gio dalam keadaan yang sama—bau alkohol yang bercampur dengan aroma parfum yang aneh.

"Gio, kamu baru pulang?" tanya Alina sambil membuka sepatu Gio.

"Udah tahu nanya! Cepat, gantikan bajuku!" sahut pria itu ketus, menggerakkan kakinya.

Alina melakukan perintahnya tanpa protes. Kedua sepatu Gio sudah dilepasnya, kini ia beranjak ke lemari untuk mengambil sepasang piyama putih. Lantas, ia mulai membuka kancing kemeja Gio. Akan tetapi, ia tertegun ketika tanpa sengaja lirikan matanya mengarah pada sebuah noda warna merah di kerah baju Gio.[]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!