Noda lipstik warna merah! Alina mengernyit menatap noda itu. Selama ini, pakaian yang dicucinya selalu bersih, tidak mungkin meninggalkan noda seperti ini. Tadi pagi, ketika ia menyiapkan pakaian untuk Gio, kemeja ini juga dalam keadaan bersih.
Ini noda baru. Apa Gio berselingkuh?
"Hei! Kamu ngapain? Cepat ganti bajuku? Nggak tahu apa kalau aku udah ngantuk!" bentak Gio, menghentakkan Alina dari lamunannya.
"I-iya." Alina menurutinya dengan patuh. Hal tadi dienyahkan sejenak, ia memakaikan Gio piyama, lalu menyelimutinya.
Alina berbaring di sampingnya setelah itu, memperhatikan wajah Gio dengan mata sendu dan hati yang sesak. Noda lipstik itu membayangi. Bibir siapa yang menempel di sana? Siapa wanita itu? Apa suaminya benar-benar telah mengkhianatinya?
Memikirkannya membuatnya tidak bisa tidur. Ia hanya berbaring, berbalut dengan perasaan kalut dan getir. Ingin menangis, tapi takut suara isakkannya membangunkan Gio. Akhirnya, semua kesedihan itu dipendam, menangis tanpa suara sambil memunggunggi suaminya.
Meski kurang tidur, Alina tetap bangun pagi untuk melakukan kegiatannya seperti biasa. Mandi, lalu membuatkan sarapan untuk satu keluarga. Setelah selesai, ia kembali ke kamar untuk membangunkan Gio.
Namun sejenak, ia mematung. Kembali otaknya memutar ingatan akan noda lipstik yang menempel pada kerah baju suaminya. Entah suaminya benar berselingkuh atau tidak, tapi ia akan berusaha menarik hati Gio lagi agar tetap setia padanya.
"Bagaimana caranya, ya?" gumamnya seraya berpikir dan melirik Gio.
Alina pernah menonton film romantis, di mana terdapat sebuah adegan mesra sepasang suami-istri yang harmonis. Mereka memulai hari dengan ritual yang disebut "morning kiss".
Ya! Alina bertekad melakukan hal itu. Namun, ia bimbang lagi. Bagaimana cara memulainya? Ah! Memikirkan hal ini membuat pipinya memerah. Agak memalukan sepertinya, soalnya Alina tidak pernah melakukan hal romantis seperti itu.
Tapi demi mempertahankan rumah tangganya, Alina berniat melakukannya. Oke! Dimulai dengan duduk di tepi ranjang, lalu, ia membelai pipi pria itu dengan lembut.
"Gio, bangun sayang. Sudah pagi." Kemudian, meski agak canggung, Alina mendaratkan kecupan di pipi Gio dengan gerakan perlahan.
Gio pun tentu tersentak. Namun, semua di luar ekpektasi. Alih-alih membalas dengan kecupan manis di bibir, Gio justru memelototinya dan sontak terbangun.
"Apa-apaan sih, nih?" Gio mengusap-usap pipinya dengan kasar seakan kecupan istrinya itu menjijikkan. "Kamu ngapain, hah? Cium-cium pipi aku? Apa uang bulanan yang aku kasih kurang?"
Tindakannya justru membuat suaminya marah, dan Alina menjadi sedih. "Maaf, aku hanya ingin melakukan hal romantis denganmu," gumamnya menunduk malu.
"Romantis?" cemooh Gio agak berseru. "Apanya yang romantis? Yang tadi itu menggelikan tau, nggak? Nggak usah yang aneh-aneh deh! Ambilkan handuk untukku!"
Alina langsung memberikannya karena benda itu sejak tadi dipegangnya. Gio merenggutnya dengan kasar, lalu beranjak ke kamar mandi. Alina kecewa karena Gio kini enggan menatapnya. Sekalinya pandangan matanya teralihkan padanya, tatapan yang diterimanya hanya tatapan dingin.
Sudah dua tahun sikap pria itu berubah seperti ini, dan hampir 6 bulan Gio jarang berada di sisinya. Tidur seranjang, tapi kehidupan mereka bagai orang asing. Cinta di masa pacaran telah luntur, ia bahkan kini tak mengenal Gio yang dulu bersikap manis ketika mengejar cintanya.
Langkahnya lunglai menuju pintu, tapi kemudian ia berhenti di depan meja rias karena tak sengaja menoleh pada bayangannya di cermin. Sering ia merenungkan perubahan sikap Gio padanya, berbagai pertanyaan bermunculan dalam benak.
Apa yang salah? Apa karena cara berpakaiannya? Apa karena ia kurang perhatian? Mungkin servisnya di ranjang kurang memuaskan? Atau ... karena ia sudah tidak menarik lagi?
Ia akui, sekarang ia sudah jarang berdandan. Tidak banyak produk perawatan wajah yang dipakainya, bahkan wajahnya hanya pakai pelembab, bedak bayi, dan lipbalm. Rambut diikat kuncir kuda. Kesibukannya mengurus rumah membuatnya tak sempat untuk merias diri.
Kalaupun pakai make-up, itu jika ada acara penting yang membuat Gio harus membawa istrinya. Tapi, kini ia sudah tidak pergi ke manapun, Gio lebih memilih pergi sendirian ketika diundang ke sebuah acara.
Entah karena bodoh atau hatinya yang terlalu baik, Alina selalu berpikir positif sebagai penghiburan diri. Dinginnya sikap Gio mungkin karena lelah setelah seharian bekerja. Lalu, siapa yang tidak malu pergi dengan istri berpendidikan rendah sepertinya? Yang ada ia di sana hanya pelangak-pelongok mendengar ucapan teman-temannya Gio.
Pedih, tapi ia harus tetap harus tersenyum dan mengusap air matanya. "Setop pikir yang aneh-aneh, Alina! Kamu tetap harus semangat!" gumamnya dengan hati penuh keteguhan.
Ia tak boleh goyah, telah banyak penderitaan yang sudah dilaluinya. Termasuk ibu mertuanya yang cerewet. Wanita itu ternyata sudah duduk di ruang makan bersama dengan anak bungsunya, anak keduanya, dan suaminya. Pandangan sinis darinya untuk pagi ini. Sejak menikah, wanita itu tidak pernah tersenyum manis padanya. Menyedihkan, tapi kini ia sudah biasa.
"Dari mana saja kamu?" cecar ibu mertuanya dingin begitu melihat Alina masuk ke dalam ruangan. "Mana sarapannya? Sudah terlambat 5 dari waktu yang seharusnya."
"Maaf, Ma. Aku harus menyiapkan pakaian Gio dulu," jawab Alina, buru-buru meletakkan sebuah mangkok berisi nasi goreng putih di atas meja.
"Alasan, alasan, alasan mulu! Kamu selalu menutupi kesalahan dengan alasan. Bilang aja, kamu dari tadi leha-leha, 'kan?" Omelan istrinya ini membuat suaminya geleng-geleng kepala.
Setiap pagi, ada saja bahan untuk mengomentari Alina. Lelaki paruh baya itu jadi kasihan melihatnya. Tubuh gadis itu semakin kurus karena makan omelan istrinya.
"Iya, Ma. Pasti tadi di atas dia lagi tiduran sambil main hape. Atau nggak, bangunnya sengaja siang supaya kita semua terlambat sarapan." Anak bungsunya yang bernama Grace sengaja mengompori.
"Bukannya itu kamu, yang suka males-malesan di kamar sambil main hape?" sindir anak kedua keluarga ini, yang bernama Betrand, sembari menyendokkan nasi goreng ke piringnya.
Diam-diam Alina tersenyum tipis. Di keluarga ini, yang memperlakukannya baik hanya dua orang: ayah mertuanya dan Betrand. Pria berusia 22 tahun itu kalem dan ramah padanya. Mulutnya yang pedas sering mengkritik Grace jika adiknya itu mengatakan ucapan yang kasar pada Alina. Ia merasa dihargai oleh kedua pria itu.
"Apa sih, Bang?" bantah Grace gelagapan. "Ya ... kan aku juga sekalian belajar dan nge-googling."
"Googling atau main medsos?"
Grace mati kutu, kartunya sudah dibuka oleh Betrand. Tak mampu melawan, ia mengeluarkan amunisinya. "Ma, lihat tuh, Bang Betrand! Masa bilang aku gitu? Emang apa salahnya main medsos? Emang dia mau adiknya kuper, nggak bersosialisasi sama orang?" Ya, inilah senjatanya, mengadu pada ibunya.
"Betrand, kok kamu ngomong gitu?" Sungguh, Vonny seharusnya tidak perlu menegur anak itu. "Bermain medsos sekali-kali kan boleh."
Mendapatkan pembelaan, Grace menjulurkan lidahnya pada Betrand. Tapi, lelaki itu tidak berhenti mencela. "Iya, boleh sih. Tapi masa setiap 3 jam sekali update postingan? Uang bulanan habis cuma buat beli kuota aja."
"Benarkah?" sahut Vincent, pria paruh baya itu baru tahu kalau anak bungsunya menyia-nyiakan uang dan waktu untuk hal yang tidak berguna. "Vonny, seharusnya kamu nasehati anak kamu agar jangan main hape terus. Pantas saja nilai-nilainya jeblok karena tidak mau belajar!"
Alih-alih menyesal, Vonny malah meradang. "Kenapa jadi salahin saya dan Grace? Memang dasarnya saja semua mata pelajarannya susah. Grace sudah berusaha mendapatkan nilai terbaik, tapi mau gimana lagi kalau nilainya buruk."
Senyum geli terulas dari bibir Betrand. Sungguh lucu. Ibunya tetap kekeh membela anaknya yang salah dan bodoh itu. Tidak ada yang menanggapi ucapan Vonny, karena memang percuma melakukan hal itu. Vonny tidak akan kalah meski ucapan konyol yang keluar dari mulutnya.
"Pagi. Ada apa ini? Kok Mama udah marah-marah pagi-pagi gini?" Gio nimbrung seraya memasuki ruang makan. Spontan Alina menggeser kursi dan menyiapkan sarapan untuknya.
Kedatangan Gio sangat sempurna. Vonny memanfaatkannya untuk mendapatkan dukungan dari anak sulung kesayangannya itu.
"Aduh, bagaimana aku tidak cepat tua? Papa dan dan adikmu ini mengeroyokku. Dan semua itu berawal dari wanita itu!" Tatapan menuding yang tajam langsung ia arahkan pada menantunya.
Alina yang malang harus pasrah mendapatkan tatapan diskriminasi dari suaminya. "Alina, apa kamu tidak bisa menjadi menantu yang baik? Selalu bikin mama kesal. Sekali-kali bikin dia senang, kek!"
Lagi, Gio menuduh tanpa mendengar duduk perkaranya. Yang senang tentu saja Vonny dan Grace, sementara Betrand dan Vincent menyayangkan sikap kasar Gio itu.
Alina sendiri menerima penghinaan ini dengan mengatakan sambil menunduk. "Maaf, Mas. Aku akan berusaha nggak bikin mama marah."
Betrand muak, tak tahan melihat semua kegilaan ini. "Bang, bukan seperti itu permasalahannya—"
"Betrand, udah nggak apa-apa," potong Alina, tak mau abang dan adik ini ribut gara-gara dirinya. Ia tahu adik iparnya itu bermaksud baik, tapi akan lebih baik jika masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan.
Akan tetapi, kebesaran hati Alina dicemooh oleh Gio. "Nggak usah bersikap lembut deh," sindirnya pelan seraya mengaduk makanannya.
Hati Betrand panas. Abangnya ini adalah suami paling buruk! Ia ingin menyahutinya, tetapi Alina mengisyaratkan untuk tetap tak mengindahkannya. Drama di rumah ini membuatnya muak, selera makannya jadi hilang karenanya.
Betrand meletakkan sendok di atas piring, lalu beranjak dari kursinya. "Aku berangkat dulu," gumamnya geram, main pergi saja tanpa berpamitan dengan ibunya. Padahal, Vonny sudah bersiap memberikan mengacungkan punggung tangannya pada Betrand. Anak itu hanya berpamitan pada ayah dan Alina.
"Uh, dasar anak yang tidak sopan! Coba lihat anakmu, Mas. Apa begini cara kamu mendidiknya?" rutuk Vonny kesal sampai gregetan.
Mengoceh saja sepuasnya, Vonny. Suamimu tidak mendengarkannya sama sekali, mengunyah makanannya dengan acuh tak acuh. Ia jenuh dengan suasana rumah yang sama setiap harinya. Ia iba pada menantunya yang kena omel, selalu berdiri di sampingnya sambil menunggu semua orang selesai makan. Itu adalah aturan Vonny, dan ia tak bisa melakukan apa pun karena dia akan mengungkit hal yang sama sehingga mulutnya terpaksa bungkam.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments