"Zea, tolong panggil Kak Aurora untuk sarapan bersama, ya! Kakakmu itu juga doyan makan nasi goreng," pinta Reni dengan suara yang lembut.
Alih-alih menjawab, Zea hanya menganggukkan kepala, lalu berjalan menuju ke kamar Aurora—kakak tirinya yang berada di lantai atas.
Setelah tiba di depan kamar Aurora, ia mengetuk pintu beberapa kali. Namun, karena belum ada jawaban, gadis itu memutuskan masuk dan membangunkan kakaknya.
"Kak, Kak Aurora bangun. Ditunggu ibu dan papa di bawah untuk sarapan." Zea mengguncang tubuh Aurora pelan.
Namun, karena kakak tirinya itu belum juga bangun, ia mengguncang dengan sedikit lebih keras.
"Apaan, sih, lo! Gue udah bangun. Lo nggak ikhlas banget bangunin gue sampe guncang kencang gitu. Mulai berani lo sama gue, hah?" hardik Aurora kesal. "Padahal tadi gue lagi mimpi kencan sama Park Chanyeol, tapi lo malah bangunin gue. Sirik lo sama gue?"
Zea tidak terkejut lagi dengan perlakuan kasar Aurora. Semua itu sudah seperti rutinitas baginya. Awalnya ia memang sedih dengan perlakuan kakak dan ibu tirinya, tetapi semakin lama ia telah terbiasa.
"Maaf, Kak. Aku cuma bangunin Kakak buat sarapan bareng ibu dan papa. Kalau Kak Aurora masih ngantuk, tidur aja lagi. Nanti aku bilangin ke ibu kalau Kakak masih ngantuk karena begadang," usul Zea kepada Aurora dengan polosnya.
"Heh, gue udah bangun! Gimana sambung mimpinya, bego! Lo kira mimpi itu seperti Indonesia yang sambung menyambung menjadi satu?" Aurora lekas menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. "Lo duluan aja, ntar gue nyusul," teriaknya dari dalam kamar mandi.
Namun, Zea tidak melakukannya dan justru merapikan tempat tidur Aurora. Ya, bagaimanapun, ia tetap akan melakukannya. Jadi gadis itu memilih mengerjakannya sekarang saat telah berada di sana.
Setelah selesai, Zea dan Aurora bergabung dan sarapan bersama kedua orang tuanya.
"Pagi, Ma, Pa," sapa Aurora mengecup pipi ibu dan ayahnya.
"Pagi, Sayang. Kok, lama sekali turunnya?" tanya Abraham menatap putri sulungnya. Meskipun tidak berbagi darah yang sama, tetapi pria itu berusaha memperlakukannya seperti anak sendiri.
"Itu tadi si Zea kebelet, Pa. Jadi aku tungguin dulu," kilah Aurora dengan menampilkan senyum manis.
Aurora dan Reni memang sangat pandai bersandiwara. Jika mereka menjadi aktris, mungkin saja bisa mendapatkan penghargaan atas aktris dengan akting terbaik.
Zea kesal karena lagi-lagi ia yang disalahkan, tetapi tidak apa-apa. Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi. Setelah lulus sekolah, gadis itu akan meminta izin untuk kuliah di luar kota, jadi ia bisa tinggal jauh dari ibu dan kakak tirinya.
Meski itu artinya harus jauh dari ayahnya juga, tetapi ia ingin meraih cita-citanya di lingkungan yang nyaman.
"Ya sudah, makan sekarang, Sayang. Zea juga sarapan, ya. Nanti kamu terlambat. Hari ini hari terakhir ujian, 'kan?" Zea hanya menganggukkan kepala karena mulutnya penuh dengan makanan.
"Semangat, ya, Sayang. Papa yakin kamu pasti bisa mengerjakan semua soalnya dengan baik. Kamu kan, anak Papa yang pinter." Abraham memberikan semangat kepada Zea.
Pria itu sangat yakin jika putrinya akan lulus dengan nilai yang memuaskan. Pasalnya, selama ini Zea memang selalu berada di peringkat satu di sekolahnya.
Setelah menandaskan makanannya, semua bersiap untuk melakukan kegiatan masing-masing.
Zea berangkat ke sekolah dengan Abraham, Aurora berangkat sendiri ke kampus, sedangkan Reni ada pertemuan dengan geng ibu-ibu sosialitanya nanti siang.
"Kamu semangat, ya ujiannya. Papa yakin kamu pasti bisa membuat kami bangga," ucap Abraham tersenyum lembut sembari memandang wajah Zea.
"Iya, Pa." Zea hanya menjawab singkat.
Ya, gadis manis itu memang irit bicara dan sangat pemalu.
***
"Papa akan kasih kamu kejutan nanti sepulang sekolah. Jadi kamu tunggu, ya," ucapnya dengan wajah bersemangat karena hari ini hari terakhir ujian.
Ia berencana membeli hadiah untuk Zea dan mengajaknya jalan-jalan saat pekerjaannya sudah beres.
"Kejutan apa?" tanya Zea penasaran.
"Ada, deh. Pokoknya kamu tunggu saja di rumah, ya."
Zea menjawab dengan menyatukan ibu jari dan telunjuknya. "Aku masuk dulu, Pa," ucapnya meraih tangan Abraham, lalu mengecupnya.
Namun, tiba-tiba saja Abraham memeluk erat tubuh Zea membuat gadis itu mengerutkan kening heran.
"Papa kenapa?"
"Enggak apa-apa, Sayang. Kamu yang kuat, ya. Sana masuk, nanti terlambat, loh."
Zea sebenarnya masih bingung, tetapi memilih pergi karena takut terlambat.
Zea berjalan pelan dengan pandangan ke bawah memasuki sekolah setelah diantarkan oleh ayahnya.
"Sstt, liat tuh, si Cupu udah datang," ujar seorang gadis seumuran dengan si cupu menyenggol lengan temannya dengan siku.
Si Cupu itu baru saja akan meletakkan tas ranselnya di bangku saat teman wanitanya yang lain menghampiri.
"Heh, kenapa lo lama banget, sih, datangnya?" tanya gadis itu dengan tatapan kesal. "Awas kalau lo enggak ngasih gue jawaban!" Tangannya terkepal tepat di depan wajah Zea.
Zea cukup terkejut, tetapi dengan segera bisa mengatur ekspresinya. Ya, sekarang ia sudah terbiasa dengan perlakuan buruk semua orang.
Ia memang tidak mempunyai teman di sekolah karena penampilannya yang sangat cupu dan tidak gaul seperti cewek-cewek di sekolahnya.
Selama ini yang dipikirkan hanyalah belajar dengan baik dan mendapatkan prestasi di sekolah agar bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah karena tidak ingin menyusahkan sang ayah yang harus banting tulang untuk menghidupi dan membiayai kuliah kakak tirinya.
Zea memang sering di bully saat ujian, agar memberikan jawaban pada teman-temannya dan tidak pernah bisa menolak, meski di hatinya merasa tidak terima. Seolah-olah semesta merancangnya untuk menjadi orang yang sangat menyedihkan.
Baru saja Zea akan menjawab, bel masuk telah berbunyi. Semua pelajar kembali ke tempat duduk masing-masing dan menjalani ujian dengan tenang, kecuali Zea.
Entah kenapa perasaannya tidak enak, tetapi ia mengabaikannya dan kembali fokus mengerjakan soal ujian.
Setelah selesai ujian, Zea memilih segera pulang ke rumah. Selain karena perasaanya yang tidak enak. Ia juga ingin menghindari kelompok pelajar perempuan yang sering merundungnya. Lebih baik beristirahat dan bersantai di rumah, begitu menurutnya.
Baru saja Zea melangkahkan kaki keluar dari ojek online yang membawanya pulang ke rumah, ia mengerutkan kening saat mendapati pemandangan yang aneh. Tidak biasanya rumah mereka ramai seperti itu.
Mata Zea melebar dan perasaan cemas tatkala melihat bendera kuning di sudut pagar rumah.
'Siapa yang meninggal,' batinnya semakin cemas. Semoga saja apa yang dipikirkannya tidak benar.
Zea berlari menerobos kerumunan orang-orang. Langkahnya terhenti saat mendapati tubuh seseorang yang dikenalnya tengah terbaring kaku tertutup kain hingga hanya menyisakan wajahnya saja.
"Tidak!" teriak Zea histeris sebelum penglihatannya gelap dan kehilangan kesadaran.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 263 Episodes
Comments