Bianco menghela napas pelan. Ia tidak bisa menolak begitu saja permintaan Beatris. Di samping karena ia mencintai perempuan itu, juga karena fakta bahwa Beatris adalah pemilik bar tempatnya bekerja. Bagaimana mungkin ia melawan perintah pemiliknya?
Pemuda itu lantas menggeliat pelan dan melepaskan pelukannya dari tubuh polos Beatris. “Tapi aku benar-benar lelah dan mengantuk,” gumam Bianco sekali lagi mencoba mencari alasan.
“Kau bisa beristirahat dulu sebentar. Masih ada waktu enam jam sebelum pertandingan dimulai. Tidurlah dulu selama menunggu,” tukas Beatris yang kemudian bangun dari tempat tidur.
“Kau sudah mau pergi?” ratap Bianco yang melihat Beatris sudah mulai mengenakan pakaiannya. Tubuh perempuan itu tetaplah luar biasa dan sekalipun Bianco sudah bertahun-tahun menikmatinya, ia tidak pernah bosan.
“Aku juga harus bersiap-siap dulu. Nanti aku datang lagi untuk menjemputmu,” ujar Beatris sembari tersenyum.
Bianco mengeluh dalam hati. Namun ia menyadari bahwa memang tidak ada yang bisa dia lakukan lagi untuk menahan perempuan yang sebebas angin itu. Beatris sangat sulit untuk digenggam. Bahkan suami atau keluarganya sekalipun tidak dapat mengendalikan kemauan Beatris. Apalagi dia yang hanya pekerja biasa tanpa kekuatan dan kekuasaan apa pun.
Setelah selesai berpakaian, Beatris mengecup lembut bibir Bianco. Pemuda itu membalasnya dengan singkat. Perempuan itu lantas berpamitan dan pergi meninggalkan Bianco sendirian setelah mendapatkan keinginannya. Bianco sekali lagi merasa dipecundangi. Ia hanya bisa tergolek lemas di atas ranjangnya sambil berusaha membuang emosi negatifnya tersebut. Bagaimanapun hidupnya kini sudah termasuk nyaman jika dibandingkan dengan orang-orang lain di Nuchas. Ia harus bersyukur atas itu. Tak lama kemudian ia pun terlelap.
Enam jam berlalu dengan cepat. Tubuh Bianco diguncang-guncang dengan kuat oleh seseorang. Pemuda itu mengerang pelan lantas terbangun dengan mata pedih. Tubuhnya masih menolak untuk bergerak. Akan tetapi orang yang membangunkannya tak menyerah dengan mudah.
“Bianco, bangun. Nona Muda mencarimu,” kata sebuah suara yang dikenal Bianco.
Pemuda tersebut membuka mata lantas mengerjap. Ia melihat Angelo berdiri di samping ranjangnya dengan ekspresi cemas.
“Ayo cepat bangun dan bersiap-siap, Bian. Nona Muda menyuruhku untuk memanggilmu ke bawah.,” cicit Angelo takut-takut.
Bianco menggeliat pelan lantas bangkit dari tidurnya. “Terima kasih, Angelo. Aku akan bersiap-siap,” ucapnya dengan suara parau.
Angelo mengangguk lega, lalu berlari keluar kamar. “Cepatlah, Nona Muda sudah menunggu dari tadi,” tambahnya sambil menutup pintu.
Bianco menguap pelan. Rasanya ia baru tidur beberapa menit. Badannya masih terasa pegal dan tidak nyaman. Pola tidurnya yang berantakan mau tidak mau mempengaruhi kesehatan pemuda itu. Apalagi gaya hidupnya yang tidak sehat. Setiap hari ia minum alkohol dan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Sepertinya ia akan mati muda.
Kata orang-orang yang sudah tua, Nuchas dulunya bukan kota yang seperti ini. Nuchas merupakan kota pelabuhan dan pusat perdagangan di benua Luteria. Begitu banyak saudagar, pendatang dan turis yang singgah di kota ini. Ekonomi Nuchas begitu makmur dan tidak ada penduduk yang terpaksa tinggal di daerah kumuh seperti ini.
Akan tetapi, sejak munculnya malignos, kejayaan Nuchas meredup. Tidak ada lagi orang yang mendatangi Nuchas. Perdagangan mati, sejalur dengan perekonomian penduduk kota tersebut. Semua itu karena legenda tentang dua belas anak yang membuka gerbang kegelapan di pohon Koror. Seluruh benua diliputi kegelapan. Orang-orang terpaksa hidup di bawah ancaman akan kematian.
Penduduk Nuchas pun tidak terkecuali. Wahana olah raga yang dulu merupakan atraksi turis, kini berubah menjadi arena pertarungan hidup dan mati. Para torero dulunya adalah petarung banteng biasa, kini dipaksa untuk menjadi gladiator yang hanya diperbolehkan mengakhiri pertandingan setelah salah satu dari keduanya mati. Permainan torero yang dulunya adalah olahraga biasa sebagai penarik turis, sudah dipenuhi darah dan kematian.
Restoran-restoran mahal yang jamak ditemui di Nuchas juga berubah menjadi bar-bar murahan yang menjual minuman keras, obat-obatan terlarang dan wanita. Semua itu terjadi hanya demi mendapatkan perputaran uang yang sangat sedikit. Karena banyaknya orang yang mati di arena torero atau karena over dosis, penduduk Nuchas pun semakin cepat berkurang. Hanya ada dua keluarga besar yang berkuasa di Nuchas: Manolette dan Belmonte.
Kedua keuarga tersebutlah yang menguasai perputaran uang dan menentukan siapa yang harus hidup atau mati di Nuchas. Keluarga Manolette memegang bisnis bar, obat-obatan dan wanita. Sementara keluarga Belmonte-lah yang memiliki bisnis torero beserta arena-arena megahnya yang sudah usang. Kedua keluarga tersebut jauh lebih kejam daripada malignos. Setidaknya roh jahat itu tidak berburu saat malam, tetapi baik Manolette maupun Belmonte membunuh orang sepanjang hari.
Begitulah mengapa Nuchas kini sudah menjadi kota paling busuk di Luteria. Ancaman para keluarga mafia ditambah kengerian akan adanya malignos membuat para penduduk kota itu sudah tak ubahnya dengan serangga yang mengais kehidupan di bawah tanah. Bianco tidak lebih baik dari siapapun di tempat itu. Ia seharusnya sudah mati sejak lama. Cintanya pada Beatrislah yang membuatnya tetap bertahan.
“Kau tampak memesona seperti biasa, Bian,” sapa Beatris setelah melihat kedatangan Bianco ke meja bar.
“Maaf telah membuat Anda menunggu,” jawab Bianco yang harus bersikap formal di depan karyawan lainnya.
“Tidak apa-apa. Aku menikmati waktuku menunggumu di sini. Duduklah di sebelahku. Kau harus makan dulu sebelum kita pergi,” tandas Beatris sembari menepuk kursi bar tinggi di sebelahnya.
Perempuan itu lantas menjentikkan jarinya pada salah satu waiter yang sedang mengelap meja. Ia memesan beberapa makanan untuk Bianco.
“Aku tidak perlu makan sebanyak itu. Roti saja sudah cukup,” ucap Bianco pada sang waiter.
Waiter itu tampak kebingungan, tapi Beatris segera mengangguk dan menyuruhnya tetap menyiapkan makanan yang dia pesan.
“Saya tidak terlalu lapar, Nona,” desah Bianco kemudian.
“Kau harus makan dengan baik, Bian. Lihatlah tubuhmu yang sudah semakin kurus dari hari ke hari,” sahut Beatris sembari menyesap rokok putihnya yang mengepulkan asap beraroma kuat.
Bianco tak menjawab lagi. Tentu saja ia tahu badannya memang tidak sekekar para torero atau Carrian, suami Beatris. Tapi bukankah dulu perempuan itu berkata bahwa ia menyukai tubuh laki-laki yang tidak terlalu besar? Karena kata-kata Beatris itulah Bianco tidak melatih tubuhnya terlalu keras. Akan tetapi sepertinya hal itu juga tidak bisa memuaskan Beatris.
Makanan datang tak lama kemudian. Bianco menyantap tortilla isi sayur dan sedikit daging di dalamnya. Beatris hanya mengamati pemuda itu yang makan dengan lahap. Ia merasa puas karena telah membesarkan seorang laki-laki penurut yang selalu mengikuti apa pun kata-katanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments