Pintu bar menjeblak terbuka. Barisan orang-orang bertubuh kekar dengan otot-otot menonjol segera memasuki tempat minum remang-remang tersebut. Beberapa pria itu tampak mendekap perempuan cantik dengan tubuh menggoda dan pakaian serba terbuka. Pasangan-pasangan tersebut lantas bercumbu di sudut ruangan tak lama setelah memesan minuman dan sedikit mabuk.
Sementara itu puluhan orang lainnya hanya saling berbicara dengan suara keras. Tawa mereka yang membahana tumpang tindih memenuhi DelMonte hingga mengakibatkan hingar-bingar yang begitu riuh. Bianco mencoba tetap fokus pada pekerjaannya membuat minuman-minuman yang dipesan. Saking sudah terlatihnya, ia bisa membuat sepuluh gelas minuman yang berbeda dalam satu waktu. Kecepatan dan keterampilan tangan Bianco memang tidak tertandingi.
“Kau masih sama membsosankannya seperti biasa, Bianco,” sapa seorang perempuan bergaun merah yang duduk di depan meja bar.
Bianco mendengus kecil tanpa sedikitpun menoleh pada perempuan itu. “Apa kau belum mendapat pelanggan, Adana?” tanya Bianco sambil menuang vodka dalam bar jigger nya.
Adana berdecih kesal sambil menyandarkan dadanya di atas meja bar. Potongan gaunnya yang rendah menampakkan belahan dadanya yang terbentuk dari dua buah dada yang montok.
“Gara-gara anak baru yang dibawa Chulo , sekarang semua torero tergila-gila padanya. Dalam semalam saja dia bisa melayani tujuh orang torero bergiliran. Dan bahkan karena banyaknya peminat, Chulo memberi batasan waktu untuk bisa berkencan dengan anak baru itu, lalu juga menaikkan tarifnya,” ulas Adana tampak benar-benar kesal.
“Tidak biasanya kau mengeluh hanya karena hal semacam itu. Pamormu tidak kalah dibandingkan anak baru itu,” sahut Bianco ringan.
“Hmph… tapi semua pelanggan terbaikku sudah dicuri. Hanya tersisa orang-orang sinting yang mencariku. Mereka minta bermacam-macam hal mulai dari kostum yang konyol hingga kekerasan. Lihat ini. Ini luka semalam dan belum kering sampai sekarang. Bagaimana aku bisa bekerja dengan tubuh seperti ini,” keluh Adena sambil mengangkat rambut coklat gelapnya yang panjang.
Di balik rambutnya yang bergelombang tersebut, tampaklah punggung Adena yang penuh luka lebam dan memerah. Seperti bekas luka cambuk yang saling silang. Bianco menatap punggung Adena tersebut dengan prihatin. Hidup perempuan itu juga tidak mudah. Akan tetapi ia lantas menyadari, kalau suku Nuchas, tempatnya tinggal ini, memang bukan lagi tempat yang layak dihuni oleh manusia. Bahkan malignos pun tidak sekejam manusia-manusia yang tinggal di sini. Memangnya di tempat ini ada orang yang bisa hidup dengan mudah?
“Beristirahat saja untuk beberapa hari. Anggaplah ini liburan,” hibur Bianco pada akhirnya.
Pemuda itu lantas mengulurkan segelas cocktail cantik dengan buah berry pada Adena. “Ini hadiah dariku. Aku jarang memberi cocktail gratis untuk pelanggan,” ucapnya sambil tersenyum.
“Kau benar-benar tidak pandai merayu wanita, Bianco. Seharusnya kau mengatakan kata-kata yang lebih menggoda sambil mengedipkan mata,” sahut Adena tertawa kecil. Namun perempuan itu tetap menerima minuman dari Bianco.
“Aku tidak suka melakukan hal-hal semacam itu. Pekerjaanku sudah cukup menguras tenaga. Tidak perlu menarik perhatian para wanita,” sahut Bianco kemudian.
Adena tertawa keras. “Entah aku harus menyebutmu orang aneh atau orang waras. Di tempat yang gila begini kau adalah yang paling membosankan,” komentar Adena sembari menyesap minumannya.
“Apa gara-gara putri keluarga Manolete itu? Kau masih mencintainya?” lanjut Adena setengah meledek.
Bianco tak menjawab, tanpa disadarinya gerakan tangannya terhenti untuk beberapa saat. Bayangan Beatrisia Manolette melintas di kepalanya. Sudah berapa lama sejak ia bertemu dengan wanita itu? Mungkin tiga minggu, atau satu bulan. Kerinduan mendadak merayapi dada Bianco, membuatnya merasa bagai pecundang yang dicampakan.
“Kau menempuh jalan yang penuh penderitaan, Bianco. Hidup kita di sini sudah seperti kotoran, dank au justru memilih cinta. Bukan cinta biasa, tapi pada putri keluarga terkuat di Nuchas. Manolette? Benar-benar pemuda membosankan yang suka menyakiti diri sendiri,” kata Adena kemudian.
Bianco lagi-lagi tidak menjawab. Ia hanya berdehem pelan lantas kembali melakukan pekerjaannya. Kalau saja ia bisa memilih, ia pasti akan bersenang-senang dengan banyak perempuan, seperti umumnya lelaki di Nuchas. Akan tetapi hatinya tidak bisa dia atur. Satu-satunya orang yang bisa menyentuh tubuh dan hati Bianco hanyalah Beatris, wanita yang sudah pasti tidak akan pernah bisa dia gapai.
Mendadak suara teriakan dan makian terdengar dari salah satu sudut bar, diikuti dengan bunyi pecahan kaca dan debam meja kayu yang hancur. Bianco segera mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Benar saja, kini di salah satu sudut Bar tersebut terjadi perkelahian antara dua orang torero berbadan besar. Mereka berdua saling mengumpat dan memukul di saat yang bersamaan. Gelas-gelas kaca dan botol-botol alkohol Bianco percah berserakan. Beberapa meja dan kursi kayu hancur karena tubuh para torero yang berkelahi itu terbanting kea rah benda-benda tersebut.
Bianco menghela napas panjang. Malam bahkan belum larut dan pendapatan Barnya sama sekali belum cukup untuk mengganti kerugian tersebut. Ia melihat Andres dan Baltazar, penjaga keamanan bar itu tergupuh-gupuh datang dan mencoba melerai. Akan tetapi perkelahian itu sudah kepalang brutal. Sambil menarik napas panjang, Bianco pun segera keluar dari meja barnya dan menuju tempat para torero mabuk yang saling meninju tersebut.
Tubuh Bianco sangat kecil jika dibandingkan dengan tubuh para torero. Meski begitu ia turut membantu Andres dan Baltazar melerai perkelahian. Ia menarik salah satu torero agar terpisah dari torero lainnya. Sekuat tenaga Bianco mencengkeram lengan penuh otot torero tersebut. Sayang tindakan itu sepertinya justru membuat sang torero semakin kesal. Sambil meraung marah, torero tersebut mengayunkan lengannya dengan kencang hingga sukses menghempaskan tubuh ramping Bianco hingga menabrak tembok bar.
Benturan keras tersebut membuat Bianco tersedak. Punggungnya terasa nyeri karena membentur tembok yang keras. Tak sampai di sana, torero tadi lantas melemparkan botol alkohol terdekat ke arah Bianco. Botol tersebut pecah berkeping-keping mengenaik kepala pemuda itu. Darah segar mengucur dari kepala Bianco hingga menutupi satu matanya. Kepalanya sedikit pening karena hantaman botol yang tiba-tiba. Akan tetapi Bianco masih bisa menjaga kesadarannya.
“Menyingkirlah, Bian. Biar kami yang atasi ini,” kata Andres yang masih setengah teller.
Bianco meludahkan darah yang juga keluar dari dalam mulutnya lalu bangkit berdiri seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kalau begitu selesaikan dengan cepat,” sahut Bianco sambil berjalan pergi menuju belakang bar. Ia harus membersihkan darah di wajah dan seragamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments