Bianco membasuh wajahnya di belakang bar. Sebuah tangki air besar berdiri di depan pintu belakang bar tersebut. Biasanya air itu ditampung dari tetes-tetes hujan yang sesekali turun. Bianco kerap menggunakan air itu untuk membasuh wajah atau pun membersihkan bar. Air di Nuchas sangat langka. Karena itu orang-orang memang menampung air hujan untuk persiapan musim kemarau panjang.
Pemuda tersebut lantas membuka kemeja putih dan waistcoast merahnya yang terkena darah. Apronnya yang berwarna senada juga sedikit terciprat darah. Namun Bianco membiarkannya. Ia hanya bertelanjang dada karena pakaian atasnya sudah begitu banyak ternoda oleh darahnya sendiri. Tubuh Bianco memang tidak sekekar para torero. Akan tetapi karena Beatrisia pernah mengatakan bahwa tubuhnya bagus, maka Bianco terus melatih tubuhnya agar tetap liat dan kencang.
“Pwah!” desah Bianco setelah mengguyurkan satu gayung air segar di wajahnya.
Gang belakang barnya menguarkan bau bacin tak sedap. Meski begitu Bianco tak terganggu. Ia sudah terbiasa hidup di tempat kumuh semacam itu. Suasananya yang gelap ditambah genangan-genangan air kehitaman membuat tempatnya berdiri tersebut terasa cukup mencekam. Tidak ada orang lain di sana. Kontras dengan hingar bingar bar dan tempat hiburan sangat gaduh di depannya.
Bianco menarik napas panjang lantas mengusap wajah dan dadanya yang bidang dengan baju seragamnya yang sudah ia remas menjadi gumpalan. Beruntung ia meninggalkan baju seragam yang lain di ruang istirahat karyawan. Pemuda itu sudah hendak masuk ke dalam bar, sambil berharap kekacauan sudah usai, ketika mendadak ia mendengar suara teraiakan perempuan di salah satu ujung gang.
Bianco terdiam selama beberapa saat sembari menoleh ke arah datangnya suara. Ia menimbang-nimbang untuk memeriksanya atau tidak. Kejahatan, kriminalitas hingga kematian adalah hal yang biasa di Nuchas. Bianco sudah melatih dirinya untuk tidak lagi peduli pada hal-hal semacam itu, sejauh kondisi tersebut tidak menimpa dirinya atau orang yang dikenalnya.
Akan tetapi entah kenapa, teriakan perempuan kali ini terasa begitu ganjil hingga membuat perasaan Bianco begitu tidak nyaman. Seperti ada hal lain yang seharusnya dia konfirmasi. Namun apa yang harus pemuda itu lakukan setibanya di tempat perempuan yang berteriak tadi? Ia toh tidak punya badan sekuat dan sebesar para torero. Pun kemampuan bela dirinya juga hanya sebatas level awal.
Meski begitu, rasa penasaran seolah mengundang Bianco malam itu. Desau angin yang membawa bau bacin seolah membisikkan kalimat ajakan padanya, untuk sekedar mengintip apa yang menjadi penyebab teriakan perempuan tersebut. Bianco menyerah. Ia pun mengikuti instingnya untuk berjalan tanpa suara menuju suara datangnya teriakan perempuan tadi. Ia berpikir untuk tidak menarik perhatian apa pun dan berusaha untuk tidak diketahui.
Ia tidak tahu orang seperti apa yang menyerang perempuan tadi. Kalau dia beruntung, mungkin hanya sesosok bandit kecil yang gemar mencuri uang tanpa berusaha membunuh korbannya. Akan tetapi kalau ia bertemu torero berbadan besar, maka itu akan menjadi masalah. Para torero miskin biasanya tidak punya cukup uang untuk membayar perempuan di rumah bordil.
Karena itu sesekali, setelah kalah dalam pertandingan dan tidak mendapat uang sepeserpun, mereka melampiaskan amarah dan nafsunya dengan menghadang sembarang wanita yang berjalan sendirian lantas memperkosanya. Tak jarang ia juga membunuh korbannya tanpa ampun. Bianco sudah terbiasa melihat kematian. Jenazah-jenazah dengan berbagai kondisi, semiris apa pun, sama sekali tidak mengganggunya. Kematian bukanlah hal yang baru di Nuchas. Manusia-manusia di tempat ini sudah tidak bisa dibedakan dengan binatang.
Setelah beberapa saat menelusur dalam gelap, akhirnya Bianco sampai juga di ujung gang. Suara mengunyah terdengar samar-samar. Semakin dekat dengan suara tersebut, bau amis darah tercium semakin kuat. Bianco menutup mulut dan hidungnya dengan tangan, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara napas. Dengan tubuh menempel di dinding bangunan, Bianco lantas mengintip ke balik tumpukan kotak kayu yang teronggok sembarangan di ujung gang.
Dalam keremangan tersebut, untuk pertama kalinya, Bianco menyaksikan hal yang paling membuatnya mual. Sesosok makhluk gelap yang serba hitam, menjulang sebesar dua atau tiga kali tubuhnya. Makhluk itu memiliki bulu duri dan bentuknya sama sekali tidak bisa diidentifikasi sebagai manusia. Bianco belum pernah melihat makhluk semacam itu sebelumnya.
Bagian yang paling mengerikannya adalah kenyataan bahwa makhluk tersebut kini tengah memakan tubuh seorang perempuan yang sudah tinggal separuh. Bianco semakin erat mendekap mulutnya dan menahan diri untuk tidak memekik. Makhluk tersebut sepertinya belum menyadari kehadirannya. Sebaiknya Bianco segera pergi dari tempat itu sebelum ia tidak bisa lagi menahan rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya.
Maka, sekali lagi, Bianco kembali berjalan menjauh tanpa suara. Namun rasa panik dan terkejut memenuhi dirinya, membuat langkah kakinya yang tergesa-gesa kini menimbulkan bunyi gesekan pelan pada jalan batu yang kasar. Serta merta makhluk hitam yang mengerikan tai pun menoleh dan menyadari keberadaan Bianco. Kedua mata merah makhluk tersebut segera menangkap basah pemuda itu dan lantas melesat menuju ke arahnya dengan kecepatan di luar nalar.
Sontak Bianco pun berlari secepat mungkin sembari mengerang keras. Makhluk itu terbang begitu cepat hingga kini sudah berada sejengkal di belakang Bianco. Tiba-tiba pintu barnya terbuka dan mengeluarkan cahaya terang dari dalam bar.
“Bian, kau dimana?!” seru Andres yang mencarinya. “Banyak pelanggan yang mau memesan minuman,” lanjut Andres sembari menoleh ke kanan dan kiri.
Detik berikutnya, Andres menyadari bahwa rekan kerjanya itu tengah berada dalam situasi hidup dan mati. Maka dengan sigap Andres menarik tubuh Bianco yang ramping dan segera membawa pemuda tersebut masuk ke dalam bar. Andres lantas menutup pintu bar secepat kilat sebelum makhluk hitam mengerikan itu berhasil mencapai mereka. Terima kasih atas ketangkasan Andres dan jam terbangnya yang panjang sebagai mantan torero. Hanya dengan kedua alasan tersebutlah, Andres tetap bisa sigap dan waspada meski tengah teller karena obat-obatan yang dikonsumsinya.
“Kau baik-baik saja, Bian?” tanya Andres sembari berlutut kea rah Bianco yang tadi dia lemparkan ke lantai dapur bar.
Bianco masih tersengal dan tampak terkejut. “Aku baik-baik saja. Tapi apa tadi itu? Aku belum pernah melihat yang seperti itu. Dia … dia … memakan manusia,” kata Bianco kemudian.
“Malignos. Itu roh jahat yang memangsa manusia,” jawab Andres sembari membantu Bianco berdiri.
“Seperti itukah wujud malignos?” tanya Bianco masih tak percaya.
Andres mengangguk pelan. “Ini karena kau tidak pernah keluar dari bar dan bergaul dengan orang-orang, jadi kau tidak pernah melihat makhluk itu. Kau beruntung aku datang tepat waktu.”
“Terima kasih, Andres,” gumam Bianco sembari mengambil segelas air untuk diminumnya, berharap hal itu bisa membantunya menenangkan diri.
“Sekarang pakailah seragammu dan kembali bekerja,” ucap Andres kemudian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments