Menjelang dini hari, akhirnya pekerjaan Bianco selesai. Tubuhnya sangat lelah dan mengantuk. Ia terbiasa untuk tidur saat matahari terbit dan kembali bangun setelah lewat tengah hari. Sambil membersihkan meja barnya untuk terakhir kali, Bianco memikirkan kejadian semalam. Andres bersikap seolah kedatangan malignos merupakan hal yang biasa. Kematian memang bukan hal yang aneh di Nuchas, tetapi melihat malignos dengan mata dan kepalanya sendiri membuat Bianco merasa menggigil. Makhluk itu sama sekali bukan tandingan manusia.
Akan tetapi, Bianco tidak bisa membiarkan dirinya terus terpaku pada kejadian tersebut. Hidupnya sudah cukup sulit bahkan tanpa kenyataan bahwa malignos tengah berburu setiap malam. Hari ini ia akan tidur sampai sore. Kepalanya yang robek menyisakan rasa perih dan pening luar biasa. Ia belum sempat merawat lukanya itu sejak semalam.
Maka dengan gerakan cepat, ia segera menyudahi aktivitasnya lalu beranjak menuju kamarnya sendiri di lantai dua. Kamar yang dulu dia gunakan untuk bercumbu dengan Beatrisia. Ia tidak pernah menyangka bahwa sejak saat itu, nona mudanya tersebut terus memperhatikannya, hingga akhirnya menempatkan dirinya sebagai manager bar.
Bianco menghela napas panjang sambil berganti pakaian. Ditatapnya wajah sayunya di depan cermin. Luka di keningnya sudah mongering. Ia malas untuk membalut luka tersebut karena sudah terlalu lelah dan mengantuk. Pada akhirnya Bianco hanya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan bersiap untuk terlelap.
Mendadak suara ketukan terdengar dari luar. Bianco belum sempat menjawab ketika engsel pintu mengulir terbuka.
“Kau sudah mau tidur? Kudengar kau terluka semalam,” sebuah suara merdu seorang wanita menyambut Bianco.
Pemuda itu tercekat mendapati sosok perempuan bergaun ungu muda berdiri di depan pintu kamarnya. Perempuan itu berambut gelap sepanjang punggung. Tubuhnya yang molek tercetak sempurna di gaun ketat dan minimalis yang dia kenakan. Sontak Bianco bangkit dari tempat tidurnya.
“Nona … .” desahnya antusias.
“Berapa kali kukatakan padamu kalau kau bisa memanggilku Beatris saat kita hanya berdua,” senandung perempuan itu sembari mendekati tubuh Bianco dan menyentuhnya dengan lembut.
Bianco menatap Beatris dengan penuh kerinduan. Perempuan itu sama sekali tidak berubah. Masih begitu cantik dan mempesona.
“Apa kau tidak merindukanku, Bian?” ucap Beatris dengan nada menggoda.
Bian segera mendekap tubuh Beatris dengan erat. “Tentu saja aku sangat merindukanmu,” ucapnya putus asa sambil membenamkan wajahnya ke bahu Beatris.
Perempuan itu mengusap kepala Bianco dengan hangat. Jemarinya lantas bergulir menuju leher lalu punggung Bianco. Sensasi menggelitik yang begitu intens dirasakan oleh Bianco pada setiap sentuhan Beatris. Rasa rindunya yang memuncak seolah sudah tidak terbendung lagi.
“Duduklah, biar kuobati lukamu,” kata Beatris kemudian.
Bianco dengan enggan melepas pelukannya dari pinggang Beatris. Ia lantas duduk di tempat tidur dan mendongak menatap Beatris yang berdiri di hadapannya.
Perempuan itu lantas membuka kotak berisi obat luka dan kasa putih. Dengan penuh kasih dirawatnya luka Bianco yang mengaga di kening. Ia begitu fasih melakukannya seolah merawat luka semacam itu bukanlah hal yang baru.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Bianco kemudian.
Beatris mendengkus pelan. “Memangnya sudah selama itu kita tidak bertemu? Sampai-sampai kau menanyakan hal semacam itu.”
“Hampir satu bulan aku tidak melihatmu,” kata Bianco kemudian.
“Tidak kukira sudah selama itu aku tidak kemari. Maafkan aku, Bian. Banyak pekerjaan yang harus kuurus di luar sana,” jawab Beatris sembari mengusap pipi Bianco dengan lembut.
Bianco menarik napas panjang. “Tidak apa-apa. Selagi kau masih mengingatku, itu sudah cukup,” katanya dengan senyum yang dipaksakan.
“Oh, astaga. Kalau kau semanis ini bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu,” keluh Beatris gemas. Perempuan itu lantas mengecup kening Bianco yang telah ia rawat. Balutan kecil sudah terpasang rapi menutupi lukanya.
“Apa kau hanya akan memberiku satu kecupan kecil itu setelah sekian lama menghilang?” tanya Bianco.
Beatris tersenyum kecil. “Tentu saja tidak,” ucapnya sembari mengarahkan bibirnya ke bibir Bianco.
Keduanya berciuman selama beberapa saat. Bianco kembali mendekap pinggang Beatris yang berisi. Aroma Beatris yang memabukkan memenuhi pemuda tersebut. Ciumannya yang lembut sekaligus menggairahkan membuat jantung Bianco terus berdebar. Pertemuannya dengan Beatris seolah menghapus semua rasa lelah dan kantuknya. Bianco kini hanya diliputi rasa tamak yang membuatnya ingin memiliki Beatris sepenuhnya, untuk dirinya sendiri.
***
“Apa kau bisa libur hari ini?” tanya Beatris yang bergelung manja di pelukannya.
Bianco termangu. Mereka berdua baru saja selesai menapaki puncak kenikmatan. Akan tetapi sekali permainan tidak bisa memuaskan Bianco. Setiap kali berpelukan dengan Beatris, ia hanya selalu ingin melakukannya lagi dan lagi. Terlebih perempuan itu kini tengah berada dalam pelukannya di atas tempat tidur dan tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya.
“Bar ini milik Anda, Nona. Dan saya adalah pelayan Anda. Kalau Anda menginginkan saya untuk libur maka saya akan melakukannya,” goda Bianco.
Beatris tertawa geli. “Kau suka sekali menggodaku dengan cara bicara semacam itu,” komentar Beatris.
Bianco mengecup kening Beatris dengan penuh kasih saying. “Apa yang kau inginkan hari ini?” tanyanya kemudian.
“Aku ingin mengajakmu melihat pertandingan torero,” jawab Beatris pendek.
Bianco tercekat. Ia kehilangan kata-kata dan tidak bisa menjawab. Tatapannya beralih ke langit-langit kamarnya yang suram.
“Carrian akan bertanding hari ini. Aku ingin memprovokasinya dan membuat dia terluka separah mungkin,” lanjut Beatris terus terang.
Bianco tak lekas menjawab dan hanya menarik napas panjang. Ia tahu ini akan terjadi. Ia tahu bahwa Beatris hanya akan menemuinya saat membutuhkan sesuatu darinya. Dan hal itu selalu terkait dengan laki-laki bernama Carrian Belmonte. Orang yang Bianco harap bisa lenyap dari dunia ini. Setidaknya agar ia bisa memiliki Beatris untuk dirinya sendiri.
“Apa tidak masalah kalau Carrian melihatmu bersamaku?” tanya Bianco sekedar untuk member respon.
“Justru itu tujuannya, Bian. Aku ingin dia melihatku bersamamu. Apa kau takut kalau dia akan melakukan sesuatu terhadapmu? Tenang saja, aku akan melindungimu. Keluarga Belmonte sekalipun tidak bisa seenaknya menyentuh orang-orangku. Kau adalah asset berharga keluarga Manolette, Bian. Akan kupastikan perlindungan terhadap dirimu diperketat,” ucap Beatris sembari mengusap dada Bianco yang tak tertutup kain sama sekali.
Bianco mendesah pelan. Beatris tahu persis bahwa bukan itu yang menjadi masalah baginya. Akan tetapi perempuan itu selalu memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
“Aku tidak pernah mengkhawatirkan keselamatanku, Bea. Aku khawatir terhadap dirimu. Carrian mungkin tidak akan mengacau di sini karena ayahmu sendiri tidak akan membiarkannya. Tapi dia bisa meluapkan amarahnya terhadapmu,” ujar Bianco cemas.
Beatris tertawa parau. “Itu yang kuinginkan, Bian. Semakin parah aku terluka, semakin baik. Aku benar-benar ingin bercerai dengan bedebah itu. Kalau saja keluarga kami tidak saling terikat perjodohan, aku tidak perlu menderita dengan memiliki suami brengsek sepertinya,” geram Beatris penuh kebencian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments