...****************...
Bagaskara perlahan mulai menampakkan sinarnya, pertanda pagi sudah datang. Aisyah menyambut pagi penuh semangat hari ini. Senyumnya merekah saat melihat wajah manis sang suami yang masih terlelap di sampingnya.
Kemarin, Aisyah menguatkan hati untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. Ia tidak lagi berharap bahtera cintanya akan manis seperti drama romantis dalam novel yang pernah ia baca. Di mana romansa dalam novella dibangun berdasarkan cerita fiktif belaka. Berdasarkan tingkat kehaluan sang penulis itu sendiri.
“Kalau nasib tokoh dalam novel itu ditentukan oleh para penulis, sedangkan nasibku ditentukan oleh Sang Maha Agung, masa aku mau ngeluh. So ... semangat, Aish. Semua akan terasa indah jika kita pandai mensyukuri.” Aisyah bergegas membersihkan diri setelah kembali menyemangati diri sendiri.
Usai melaksanakan kewajiban pada Sang Khalik, Aisyah cekatan melaksanakan pekerjaannya. Usai merendam cucian dengan sabun, ia beralih meraih sayuran yang sudah ia beli kemarin untuk segera dimasak. Hari ini Aisyah berencana memasak tumis kangkung dengan lauk telur dadar serta tempe goreng.
Semua bumbu sudah siap. Sayuran juga sudah dicuci bersih. Ia pun segera menyalakan kompor gas, tapi sudah ketiga kali Aisyah mencoba menyalakan kompor, kompor tak kunjung menyala hingga ia tengok indikator tabung gas. “Yah, habis,” keluhnya.
Perasaan ragu kembali menghantui. Hatinya ketar-ketir. “Bangunin, nggak, ya?” gerutunya sendiri. Kuku yang sudah pendek menjadi pelampiasan dari giginya.
“Kalau aku bangunin, entar marah. Tapi kalau nggak aku bangunin, aku nggak bisa masak.” Aisyah membuang napas dengan kasar. Ia kembali mondar-mandir di depan kompor.
"Ya, Allah ... seandainya saja aku nggak sepenakut ini. Bismillah aja dulu, deh.” Puas berbicara sendiri, ia segera mencoba melepas tabung LPG dari selang regulator. “Yes! Berhasil,” soraknya senang, “Alhamdullillah, aku nggak ngrepoti Mas Bayu lagi.”
Bergegas ia pergi ke warung terdekat untuk membeli gas LPG. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Aisyah segera pulang kembali. Ia mencoba memasang sendiri tabung LPG. Meski tak pernah melakukannya, ia sering melihat Bayu mengganti tabung LPG.
Lima belas menit Aisyah mencoba, hingga suara desisan gas terdengar membuat Aisyah terperanjat. Buru-buru ia melepas lagi tabung LPG dari selang regulator. Rasa takut menyergap. Ia sering mendengar berita tabung LPG yang meledak, hal itu lah yang membuatnya selalu ragu untuk memasang tabung LPG sendiri.
“Mas. Bangun, Mas.” Tergopoh Aisyah membangunkan Bayu yang masih terlelap dibuai mimpi. Melihat tidak ada respons dari Bayu, ia mengguncang kembali tubuh Bayu dengan lembut. “Mas, tolongin Aish. LPG-nya habis.”
Bayu mengerjap, merasa tidurnya terganggu. “Apaan, sih, Dek?” bentaknya.
“Mas, maafin Aish. Tapi tabung LPG-nya habis. Aish minta tolong dipasangkan tabungnya biar Aish bisa segera masak.”
“Ck!” decak Bayu. Ia pun bergegas bangkit. Rasa kesal sudah di ubun-ubun, “Sudah sering aku bilang buat mandiri. Kenapa sulit sekali, sih, Dek?” bentaknya.
Aisyah tertunduk. Jari jemarinya saling meremat. Peluh yang ada di kening ia biarkan mengalir perlahan. Rasa takut masih mendominasi hati. Ia mengekori Bayu menuju dapur. Ia tak berniat sama sekali untuk membalas perkataan sang suami.
“Masa masang tabung aja nggak bisa? Ini itu tugasnya wanita. Ibu yang udah sepuh aja pasang gas sendiri bisa, masa kamu gini aja nggak bisa.”
Sakit. Aisyah merasakan itu. Ia paling tidak suka dibandingkan dengan orang lain. Bagi Aisyah, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, jadi untuk apa harus membandingkan manusia satu dengan manusia yang lain.
“Allah, rasanya sakit. Haruskah aku rasakan sakit ini? Adakah dosa yang telah aku lakukan hingga Kau menghukumku dengan rasa sakit ini? Berikan aku penawarnya, Ya Rabb, agar aku mampu melewatinya dengan rasa sabar,” rintih Aisyah dalam hati.
Butir bening itu lolos begitu saja kala hatinya merasa perih. Buru-buru ia seka air mata yang menetes. Ia tak mau dibilang cengeng oleh suaminya. Sudah cukup rasa kecewa yang ia dapat hari ini.
Bayu dengan cekatan memasang tabung LPG, “Lain kali kamu harus bisa sendiri, Dek! Aku nggak mau direpoti dengan hal remeh seperti ini lagi.” Bayu meninggalkan Aisyah begitu saja.
Tidak ada lagi senyum menghiasi wajah manis Aisyah. Wajah itu bermuram durja. Setelah kepergian Bayu, air mata Aisyah tumpah ruah. “Tidakkah kamu lihat perjuanganku, Mas? Aku sudah berusaha menekan ketakutanku,” batinnya menjerit.
Ia tekan suaranya agar tidak ke luar isakan. Dengan berurai air mata ia selesaikan acara memasak yang sempat tertunda. Meski pikirannya berkecamuk, hatinya remuk, Aisyah mampu menyelesaikan dengan tepat waktu. Setelah menyiapkan semua di meja makan ia bergegas mencuci pakaian lalu mandi. Sempat ia melirik sekilas Bayu yang tengah asyik memainkan ponselnya.
“Ternyata aku tidak lebih penting dari ponselmu, Mas,” batin Aisyah. Sekali lagi hatinya berdenyut nyeri. “Kuatkan aku, Ya Rabb. Ini belum ada seujung kuku aku hidup bersamanya. Masih ada banyak waktu yang memerlukan kesabaran.”
Usai mandi dan bersiap, Aisyah gegas ke meja makan untuk sarapan. Dilihatnya Bayu sudah duduk sambil mengisi perut. “Tumben kamu masaknya enak, Dek. Cuma sayang, tumisnya kurang pedas.”
Aisyah sama sekali tidak berniat menanggapi celetukan suaminya. Ia takut tidak bisa mengontrol emosi. Kekecewaan yang menumpuk masih bisa ia bentengi dengan sabar, tetapi tidak menutup kemungkinan sabar itu akan tergerus jika arus kekecewaan semakin deras.
“Oh, ya. Ini uang sepuluh ribu buat kamu. Kemarin aku cuma dapat pelanggan satu orang, itu pun hanya ganti oli. Jadi aku cuma terima lima belas ribu.” Bayu sodorkan uang selembar sepuluh ribuan itu pada Aisyah.
Aisyah menatap nanar uang itu. Bukan karena merasa kurang atas pemberian Bayu, hanya saja ia tidak tega mengambil uang itu. Aisyah ingin mengambil selembar uang yang ada di atas meja agar Bayu tidak tersinggung jika ia menolaknya, tapi ragu. Ia takut salah dalam mengambil sikap.
“Ehm ... Mas Bayu enggak apa-apa kalau uang ini aku ambil? Eh, maksudnya, Mas masih punya pegangan?” Buru-buru Aisyah meralat perkataannya. Ia sungguh takut jika Bayu tersinggung.
Bayu menatap Aisyah dengan tatapan yang Aisyah sendiri tidak mampu menerjemahkannya.
“Kenapa memangnya?”
“Aish takut Mas nggak ada pegangan kalau uangnya dikasih ke Aish. Aish masih ada uang buat belanja sehari-hari. Kalau Mas mau bawa dulu nggak apa-apa,” terang Aish dengan selembut mungkin.
“Aku tahu ini tidak banyak, bahkan cenderung kurang, tapi setidaknya aku sudah berusaha buat kasih nafkah ke kamu. Apa kamu tidak bisa menerimanya?”
“Eh,” Aisyah gelagapan. Sepertinya Bayu tersinggung dengan pertanyaannya. “Bu-bukan itu maksud Aish, Mas. Aish justru khawatir kalau Mas nggak ada pegangan. Nanti kalau tiba-tiba bensinnya habis di tengah jalan gimana kalau Mas nggak ada pegangan uang?”
Bayu tersenyum melihat reaksi istrinya. “Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku.” Ia bangkit dari duduknya lalu mengecup pipi sang istri.
Bayu melenggang pergi tak menghiraukan Aisyah yang melongo karena tindakannya barusan. Aisyah benar-benar dibuat jantungan dengan tingkah sang suami yang terkadang manis juga terkadang bikin nangis.
...****************...
...To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Mila Khayla Di
wow
2023-03-03
0
Sufisa ~ IG : Sufisa88
Bayu labil 🤣🤣
2023-02-27
0
Fitri_hn28
🤮🤮🤮🤮🤮🤮🤮🤮🤮🤮
2023-02-20
0