...****************...
Setelah kejadian semalam yang membuat hati Aisyah berbunga-bunga, pagi ini wanita itu berharap jika suaminya akan memberikan sedikit perhatian untuknya. Di dapur kontrakan yang terbilang sempit itu, Aisyah dengan cekatan mempersiapkan beberapa sayuran yang ia beli semalam untuk sarapan mereka. Terbiasa hidup mandiri di kota besar membuat Aisyah dengan cepat melakukan pekerjaan itu.
Pukul 5:30 WIB sarapan sederhana sudah tersedia di meja. Begitu pula dengan kotak bekal untuk dirinya dan Bayu sudah tersusun rapi. Aisyah melangkah menuju kamarnya. Senyumnya tercetak tipis ketika melihat Bayu masih terlelap. Sekelebat bayangan pergumulan mereka semalam membuat pipi Aisyah merona. Ada sedikit rasa malu dan bahagia menyatu dalam hatinya.
Aisyah segera menuju ke lemari pakaian ketika Bayu terlihat menggerakkan tubuhnya. Aisyah belum siap jika dirinya tertangkap basah sedang menatap penuh kekaguman ke arah suaminya. Setelah mengambil baju seragam hari ini, Aisyah buru-buru ke kamar mandi. Apalagi waktu yang semakin siang membuat Aisyah lebih fokus pada persiapan kerjanya.
Setelah siap dengan semuanya, Aisyah kembali ke kamar. Dengan lembut ia mengguncang tubuh Bayu.
“Mas, sudah siang. Bangun, gih. Kamu belum salat Subuh,” bisik Aisyah lembut di telinga Bayu.
“Hhmm ….” Bayu hanya membalikkan badannya tanpa membuka mata.
Tiga kali Aisyah mencoba membangunkan, tetapi Bayu tetap saja bergeming. Akhirnya ia pun menyerah dan lebih memilih sarapan sendiri. Aisyah tidak berani mengusik suaminya. Ia takut akan membuat Bayu marah yang pasti akan berakibat tidak baik untuk dirinya.
Brak.
Suara benturan pintu kamar dengan tembok membuat Aisyah yang duduk di meja makan terkejut.
“Udah sesiang ini kenapa kamu nggak bangunin aku, sih!” umpat Bayu terburu-buru dan menyambar handuk di rak kecil depan kamar mandi.
Aisyah hanya bengong. Belum sempat ia menjawab perkataan Bayu, suaminya sudah melesat ke kamar mandi. Aisyah hanya membuang napas kasar. “Aku salah lagi,” ucapnya dalam hati.
Aisyah sedang mencuci piring bekas makannya ketika Bayu keluar dari kamar mandi. Tidak ada sapa selamat pagi, apalagi senyum manis seperti yang Aisyah nantikan. Bayu begitu saja melewati dirinya dan segera menuju kamar.
“Mas, bisa anterin aku apa enggak?” teriak Aisyah. Kontrakan mereka yang sempit membuat suara Aisyah terdengar jelas di telinga Bayu.
“Dari kemarin, kan, sudah aku bilang. Berangkat sendiri. Aku buru-buru. Nanti jam delapan ada yang mau ambil motor. Mana belum selesai dikerjakan lagi,” jawab Bayu sembari meraih kunci motornya di samping televisi.
“Mas, nggak sarapan, dulu?” tanya Aisyah ketika Bayu memutar kunci ruang tamu.
“Nggak, sempat. Nanti saja setelah pekerjaan selesai,” jawabnya tanpa memandang Aisyah.
“Ini bekalnya.” Aisyah sedikit berlari ketika Bayu melangkah keluar dari pintu kontrakan. “Mas, jangan lupa sarapan, nanti sakit.” Aisyah mengulurkan kotak bekal yang sudah dimasukkan ke dalam tas plastik.
“Ck! Merepotkan.” Bayu menerima kotak bekal dari Aisyah meskipun dengan terpaksa, “aku berangkat dulu. Kamu hati-hati.”
Aisyah menatap punggung suaminya hingga menghilang di belokan depan kontrakan. Ada kecewa yang tertinggal di hatinya. Kenapa hidupnya tidak semanis cerita yang ia baca. Meskipun begitu Aisyah tahu jika suaminya begitu menyayanginya.
“Mungkin cara Mas Bayu menunjukkan rasa sayangnya berbeda dengan cara orang lain. Semangat Aisyah! Bayu adalah Bayu. Bukan pangeran seperti dalam drama.” Kembali Aisyah bermonolog untuk memberikan semangat pada dirinya sendiri.
***
Aisyah berdiri di depan gang bersama penghuni kontrakan lainnya. Mereka adalah pekerja di beberapa pabrik yang ada di kota itu. Sama seperti Aisyah, mereka juga tinggal di kontrakan. Mengadu nasib di kota besar ini membuat mereka harus jauh dari keluarga.
“Kamu nggak diantar suamimu, Aish?” tanya tetangga sebelah yang bekerja di pabrik roti.
“Enggak, Mbak. Mas Bayu buru-buru, ada kerjaan mendesak yang harus diselesaikan pagi ini,” jawab Aisyah sopan.
“Oh, iya. Mumpung masih muda harus semangat cari uang. Biar besok kalau diberi momongan sudah punya tabungan.”
“Iya, Mbak.” Aisyah bangkit ketika melihat angkot yang akan membawanya ke pabrik berhenti di hadapan mereka. “Aku duluan, ya, Mbak.”
“Iya, Aish. Hati-hati.”
Aisyah berdesak-desakan dengan ibu-ibu pekerja pabrik dan beberapa anak sekolah. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Ia membenarkan ucapan tetangga kontrakannya tadi. Saat ini Aisyah dan Bayu harus rajin menabung demi masa depan mereka. Aisyah berpikir, toh, bukan hanya dirinya sendiri yang harus naik angkot ke pabrik. Bahkan di depan Aisyah, ada seorang ibu yang usianya jauh lebih tua darinya tetap semangat menjalani hari ini. Aisyah tidak boleh kalah dengan ibu itu.
Aisyah sadar bahwa hidup ini perjuangan. Bagaimana dirinya bisa berada di kota ini, jauh dari sanak saudara dan juga orang tua, tentu saja karena ia ingin kehidupannya menjadi lebih layak. Aisyah ingin anak-anaknya kelak bisa menikmati hidup yang lebih nyaman dari kehidupannya.
Angkot berhenti di depan pabrik tempatnya mengais rezeki. Aisyah turun dan memberikan ongkos kepada sopir angkot. Wanita itu melangkah memasuki pelataran pabrik. Sudah empat tahun Aisyah bekerja di sini. Meskipun beberapa kali ia dipindahkan dari satu bagian ke bagian lain, tetapi Aisyah merasa bahagia karena di bagian saat ini ia memiliki rekan kerja yang begitu bersahabat.
“Aish, tunggu!”
Langkah Aisyah terhenti ketika mendengar suara yang begitu akrab memanggil namanya. Ia menoleh, melihat Witri berlari kecil membuat Aisyah tersenyum. Wanita itu adalah teman terbaiknya selama ia bekerja di tempat ini.
“Tumben, pagi banget,” celoteh Witri begitu langkahnya sejajar dengan langkah Aisyah.
“Kebetulan angkotnya cepet, Mbak,” jawab Aisyah.
“Loh, nggak dianter suamimu?” Witri melotot mendengar jawaban Aisyah, “pengantin baru, kan, biasanya ke mana-mana nempel terus. Kayak perangko.”
“Jangan kebanyakan ngayal, deh, Mbak! Novel apa lagi yang Mbak baca kali ini?” Pertanyaan Aisyah membuat Witri tersipu. Pasalnya, hanya Aisyah yang tahu bacaan Witri.
“Kamu beneran mau tahu? Ish, beneran bikin baper, deh. Romantis banget. Andai aku jadi wanitanya, aku mau aja dijodohin sama CEO tampan kayak Aldo,” cerita Witri membuat Aisyah kembali tersenyum.
“Sadar, Mbak. Hidup ini tak semanis novella. Mbak Witri bisa jatuh kalau ngayalnya ketinggian,” ledek Aisyah yang tentu saja membuat Witri memajukan bibirnya.
“Kayak kamu enggak aja, Aish. Siapa coba yang dulu ngajak aku beli novel kalau ada novel baru. Siapa dulu yang maksa aku ke pameran buku cuma buat borong novel romantis. Lupa kamu?” Witri balik mengolok Aisyah hingga membuat mereka tertawa.
Aisyah ingat, beberapa novel yang ia beli sebelum menikah dengan Bayu masih berada dalam dos yang belum sempat ia buka. Dulu, Aisyah pernah berkhayal bahwa hidupnya akan seindah cerita yang selama ini ia baca. Namun, setelah menikah Aisyah sadar bahwa hidupnya terlalu jauh dari impiannya. Aisyah harus belajar memahami karakter Bayu, memahami kepribadiannya, menerima segala kelebihan beserta kekurangannya. Sebab kehidupannya kini adalah nyata dan harus ia jalani.
...****************...
...To be continued...
Jangan lupa like, komentar dan gift, ya 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Mila Khayla Di
ckckck
2023-03-03
0
Sufisa ~ IG : Sufisa88
udah paling real ya Aish, 🤭🤭
2023-02-27
0
Fitri_hn28
semangat ya Aisyah.....semua akan indah pada waktunya🤗
2023-02-20
0