"Astagaa, ngapain malam-malam ada di sini...," gerutu Ameera begitu sampai di halaman. Ada seorang lelaki kumal baring di bangku teras.
"Ngh, kamu sudah pulang, Meera..." Lelaki itu duduk, mengucek mata, mengusap rambut setengah gimbalnya ke belakang.
Ameera tak menyahut, mendorong motor yang sudah dimatikan mesinnya ke dalam garasi. Wajahnya lelah, bertambah kusut usai menguras emosi atas pembicaraan dengan Juna tadi.
"Meera, sebentar!"
"Ada apa, Paman?" Ameera melepas tangan Anton dari lengannya.
"Hehee. Begini... paman butuh bantuanmu, Meera. Sekarang. Paman kehabisan uang. Paman juga dikejar-kejar preman." Anton kembali terkekeh hambar di akhir kalimatnya.
"Utang sama preman-preman itu lagi?"
Anton mengangguk cepat. "Hehe, cuma kalah taruhan.
"Kenapa Paman ke sini? Paman tau keadaan kami gimana? Mendingan Paman pulang. Kasihan tuh pasti pada nungguin."
"Duh, Meera, kalau pulang tanpa uang bibimu akan menghajarku habis-habisan. Cuma kamu yang bisa tolong paman. Kamu kerja. Berikan uang padaku sekarang, besok kan kamu bisa minta pinjaman pada bosmu."
Ameera membuka pintu dengan kunci cadangan. "Utangku sudah banyak. Bos nggak mau pinjamkan lagi."
"Heh, utang ayahmu sama Bondan sudah lunas kan kemarin? Kamu jangan bohong tidak ada uang. Aku cuma mau pinjam dua puluh juta." Anton berkacak pinggang. "Kemarin bisa keluarkan 180 juta, masa bantu orang tua pengganti ayahmu ini tidak bisa?"
"Nggak bisa, Paman."
"Ameera!" Anton menghalangi jalannya, merentangkan tangan. "Paling tidak berikan seberapa uangmu yang ada!"
Astaga... bau rokok bercampur alkohol dari napas, juga apek, dan bau lembab tanah dari pakaian Anton membuat isi perut Ameera bergelombang. Mual.
"Dapat dari mana uangmu sebanyak itu kemarin? Pasti masih ada sisanya kan? Aku tidak mau pulang sampai kamu kasih. Aku akan buat keributan di sini."
Ameera menarik napas berat, merogoh tas. Sisa uang 400 ribu ia berikan.
"Cuma segini?!" tanya Anton usai merampas lembaran itu.
"Paman lihat aja. Nggak ada lagi," sahut Ameera lemah. Ia pun masuk dan tanpa permisi menutup pintu. Pamannya pasti akan segera pulang ke rumahnya sendiri setelah mendapat rupiah darinya. Selalu saja begitu.
Langkah Ameera gontai ke kamar usai menengok keadaan Naja yang tidur bersama Yuni. Mulai hari ini Yuni mau tinggal bersama mereka, standby mengurus Naja sejak Ameera janjikan menaikkan gajinya dua kali lipat.
Utang ayah lunas, Ameera mampu membayar itu.
Ada Yuni menjaga Naja, sementara ia sendiri sedang bergelut dengan hantu masa depannya yang menakutkan. Apakah ia hamil ataukah tidak? Apakah berhasil membuat Finn menikahinya ataukah tidak? Ketidakpastian yang mengerikan.
"Hahh...." Usai membersihkan diri, dan berganti pakaian Ameera baring dengan kaki diangkat lebih tinggi. Bulir air mata luruh tanpa diundang.
Hanya ia yang tahu, rasa sakit dalam dirinya masih sangat terasa. Bukan cuma bekas rudapaksa itu, tetapi jiwanya yang terluka atas ketakutan-ketakutan akan banyak hal.
Luka fisik bisa mudah dilenyapkan dengan terus menelan obat pereda nyeri, sementara batinnya? Ameera tak punya obat lain selain pertanggungjawaban Finn.
Hamil atau tidak paling penting dinikahi dulu sampai ia yakin tak mengandung anak haram. Jika bisa. Itulah harapannya biar tenang.
Seandainya gagal?
Apa Ameera berani membunuh janinnya...?
Atau ... merelakan diri melahirkan dan merawat anak itu seorang diri? Ah, tidak bisa ia bayangkan jika itu terjadi.
Otaknya terasa penuh, seakan terus dipompa hingga nyaris meledak. Kelelahan berpikir membuat matanya semakin memberat. Tubuh Ameera terkulai dengan napas mulai teratur.
Lama kelamaan rasa ringan seolah membawa jiwanya terbang ke tempat lain.
Dalam hening sayup-sayup telinganya menangkap suara seseorang memanggil.
"Ameeraaa...! Ameeraaa...!" Panggilan itu terdengar sayup-sayup terbawa angin. Suara tak asing di telinga.
"Ra... ini aku, Raa...." Suara menggetar mengisyaratkan kepedihan.
"Biya? Bi, kamu kah itu? Kamu di mana, Biya?" Ameera berputar melihat sekitar, tapi tak menemukan siapapun. "Aku nggak mungkin lupa sama kamu, Bi!"
"Ra..." Suara Biya semakin merintih. Rintihan yang sama seperti dulu, saat remaja itu sering menangis sambil memeluk lutut setiap ia merasa putus asa.
Biya sering terisak kala merasa diri tak berguna. Biya sering bertanya kenapa hatinya selalu sakit mendengar ucapan orang. Mama yang selalu menyalahkannya atas segala hal. Papa tiri yang tak pernah ramah, dan tangan besarnya kerap terayun menyakiti tubuh kurus Biya.
"Ra... aku harus gimana, Ra...? Aku kesepian...." rintih suara itu lagi, kini jelas di telinga.
"Bi... maafin aku nggak bisa berbuat apa-apa...." Air mata Ameera menggenang. Setiap mengingat gagalnya ia menyelamatkan Biya, seluruh permukaan hatinya teriris halus.
"Hiks... tubuhku sakit, Raa... sakiiit...."
Ameera melihat sekilas bayangan Biya di depan sana, ia lari mendekat tapi Biya seakan terbawa angin menjauh.
"Biyaa!"
"Raaa...!" Biya menjulur tangan, menoleh dengan wajah sangat memohon padanya.
Gadis remaja itu masih mengenakan seragam SMP, sama ketika tubuhnya bersimbah darah usai menghantam lantai, lalu menggelepar bersamaan histeris Ameera sebelum tak sadarkan diri melihat tragis nasib sang sahabat.
"Bi... Biyaa...." Keringat dingin mengucur di kening dan tubuh Ameera, ia tersentak bangun saat hampir jatuh dari tempat tidur.
"Astaghfirullah...." Ia mengusap wajah menyadari usai bermimpi buruk.
Biya beberapa kali menemuinya begini, meski dalam mimpi berbeda Biya selalu menangis, mengatakan rasa sakitnya.
Beranjak, Ameera ke dapur untuk minum. Ia mengambil wudhu sebelum kembali membaringkan tubuh. Sesibuk apapun di restoran ia selalu sempatkan ibadah wajib, agar tak alpa. Karena di sana bos menyiapkan ruang tempat ibadah untuk karyawan muslim.
Matanya masih belum bisa terpejam, ia mengambil ponsel. Menatap wajah Daddy dan Opanya Finn bergantian.
"Aku harus temui mereka," gumamnya dingin.
\*\*\*
Setelah dua hari menyusun strategi, hari ini, motor Ameera berhasil masuk tepat di depan pagar rumah sepanjang dua kali lapangan bola. Tentu setelah tadi lolos masuk melewati pos jaga di depan tadi. Sepertinya ini komplek pribadi, tidak ada bangunan lain selain rumah besar milik keluarga Cullen.
"Perkenalkan diri Anda. Sudahkah membuat janji temu?" Suara mirip robot bicara seolah dari dalam rongga pagar.
"Saya Ameera 24 tahun, dari Perfecto Resto dan sudah janji bertemu Tuan Eddy Right Cullen hari ini."
Tak lama pintu pagar terbuka sedikit. Seorang penjaga bertubuh tinggi besar mendekat, menyuruhnya kendarai motor langsung ke sisi kiri rumah berlantai tiga seluas gelanggang olahraga.
"Ya, terima kasih." Ameera mengangguk sopan.
"Ya ampun. Ini memang khusus parkir, tapi nggak ada motor satu pun di sini...." Ia memilih paling pinggir, menjaga jarak tiga meteran dari puluhan mobil mewah di sana.
Mendadak nyali Ameera menciut, tubuhnya serasa menjadi kerdil. Kakinya kaku. Bahkan napas saja sulit, udara seakan hilang di sekitarnya.
Dirinya siapa seberani ini menuntut hak?
"Dengan Nona Ameera?" Ia tersentak atas sapaan itu.
"Y-ya, saya." Ameera tergeragap melepas helm.
Wanita berseragam atasan mirip kemeja dan celana panjang kain biru tua, mengajaknya masuk melalui pintu utama.
Ameera sempat memerhatikan rambut cepol satu di tengkuk wanita itu. Sangat rapi dan bersih meski usianya tak lagi muda.
"Sebentar, Nona." Ameera berhenti, menuruti saja saat dari bawah flat shoes hingga atas kepalanya disinari dengan suatu alat. Entah alat apa.
"Mari, Tuan sudah menunggu di ruangannya."
"Ah, ya," sahut Ameera singkat. Ia sedang berusaha keras melawan ragu, jangan sampai mendadak lari dan mengurungkan niat.
Ia jalan sekitar 200-an meter, melewati ruangan super luas, masuk lorong panjang yang kiri kanannya berjejer pilar-pilar sebesar pelukan anak kecil, baru tiba di ruangan serba coklat keemasan.
"Nona Ameera sudah tiba, Tuan."
"Hmm. Sajikan minuman dan makana ringan." Lelaki tua, usianya mungkin di atas 80-an memutar kursi sampai menghadap Ameera.
Dilihat langsung begini wajah lelaki itu kental berdarah asing, tapi suaranya di telepon setelah dua kali bicara dengan Ameera bahasa Indonesianya sangat baik.
"Saya Ameera, Tuan. Saya yang menghubungi Tuan Eddie dua hari lalu."
"Iya, iya, tentu aku ingat. Pelayan restoran langganan cucuku. Betul?"
"Betul, Tuan."
Ameera membatu sejenak saat ditatap lima detik tanpa kedip mata tua itu. Sorot yang seakan lelaki tinggi besar tersebut sedang membaca pikiran melalui matanya.
"Keberanianmu luar biasa, Ameera. Keberuntunganmu juga bagus berhasil membuatku menerima panggilan asing. Semoga saja kau bukan penyihir kecil yang salah tempat bermain." Diakhiri kekeh lelaki tua terdengar horor di telinga.
"Saya manusia biasa, Tuan." Ameera coba ikut bercanda.
Dua pelayan datang, berseragam sama seperti wanita sebelumnya. Menyajikan secangkir teh dan satu almond croissant yang tampak menggoda minta dilahap.
"Silakan minum dan makan dulu. Baru kamu ceritakan bagaimana kronologisnya." Lelaki tua itu memang bisa membaca isi kepala Ameera.
\*\*\*
Usai rapat dan kembali ke ruangan, Finn mengecek ponsel, ada pesan dan panggilan terabaikan dari nomor yang sangat ditunggunya. Namun bukan itu yang menarik perhatiannya kali ini, pesan lain, berupa sebuah foto perempuan menunggangi motor matic hitam menuju area rumah keluarganya.
\[Dia ada janji dengan Kakek Anda, Tuan Muda\] Begitu isi laporan atas foto itu, dikirim dua jam tadi.
Jemari Finn meremas ponsel, matanya menyipit.
Baru saja akan menghubungi nomor orang suruhannya, panggilan masuk dari kontak Mami. Dalam hati ingin ia reject, tapi jarinya tak seberani itu pada orang yang lebih tua.
"Ya, Mam."
"Finn, cepat ke General Hospital sekarang, Opamu dilarikan ke sana."
"Opa kenapa?"
Telinga dan rahang Finn berkedut selang beberapa saat, hingga maminya mengakhiri panggilan tanpa satupun kalimat pembelaan keluar dari bibirnya.
"Damn it!" Ponsel nyaris saja dilemparnya ke dinding.
...Tap vote, komentar positif, dan kasih ulasan untuk menambah semangatku ya teman-teman. terima kasih banyak....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Yantisejati
Amera bener2 luar biasa
2023-03-15
3
Eka 'aina
makin kesini makin menarik & makin bikin penasaran
2023-03-09
2
Adwa Azizah
luar biasa Ameera keberanianmu.. prinsip hidup.. semoga berhasil.. kakek Finn.. pasti membantu..
2023-03-02
1