"Menjauh, Ra... jangan peduliin aku? Jangan mendekat... jangan... aku gak guna... aku anak gak berguna... aku hidup kayak sampah, Ra! Aku sampah...!" Terngiang jelas kalimat terakhir Biya sebelum terjun bebas dari lantai dua gedung sekolah dulu membuat tubuh Ameera menegang.
Rasa bersalah tak bisa berbuat apa-apa menyelamatkan Biya. Membantu Biya. Kembali meremas hatinya hingga nyeri.
Ia sungguh tak mau ada Biya Biya lain seperti itu. Di-bully anak haram, sampai mematikan mentalnya.
"Pak-"
"Shut up! Kau boleh bicara sampai saya beri kesempatan!" tukas Finn cepat. Lelaki berjas hitam dengan bahan wool berkwalitas tinggi itu duduk pada kursi persis singgasana di balik meja kerja, matanya lantas lekat menatap layar laptop yang baru dinyalakan.
Ameera menghela napas, melirik jam. Ia berusaha duduk tenang meski wajahnya tak sabar ingin segera bicara.
Ruang kerja CEO PT Artha Graha Realty Tbk ini mendadak hening kemudian.
Jika dilihat ruang ini bukanlah seperti ruang kerja, tapi lebih cocok disebut rumah pribadi yang terdapat meja dan kursi kerja dekat jendela itu. Perabot lengkap, mulai dari kulkas, TV layar besar dengan dua set sofa di kiri ruang, selain tempat duduk Ameera sekarang. Pintu abu-abu di sudut sana, Ameera tebak itu mungkin akses menuju ruang tidur lelaki berkulit wajah licin tersebut.
Puluhan menit Ameera duduk dalam senyap, tak bisa menghindari isi kepala menilai seperti apa lelaki yang telah merusak hidupnya.
"Ehm! Uhuk! Uhukk!!" Pinggang sudah pegal duduk, tenggorokannya kering. Sampai kapan menunggu kesempatan bicara? Lelaki itu saja bahkan terlihat melupakan keberadaannya.
Dehaman dan batuk tidak berhasil menarik perhatian. Ameera memberanikan diri berdiri, menuju kursi di seberang meja kerja Finn.
"Pak, saya harus berangkat kerja. Saya mau bicara sekarang?" Bukannya menyahut atau meliriknya, Finn menghentikan ketikan pada keyboard, lalu mengambil ponsel di laci.
"Di, ke ruangan saya sekarang. Bawa berkas pelepasan lahan proyek Grandland." Ia menutup panggilan.
"Waktumu satu menit!"
"Apa?!"
Mata Finn bergerak, memberi tatapan bagai laser yang bisa mematikan. "Keluar sekarang."
Napas Ameera sesak. Panas. Seperti ada gumpalan api siap menyembur melalui mulutnya.
"Baik. Satu menit." Dengan cepat perempuan bersweater kuning keluarkan foto yang diabadikan dengan ponselnya dini hari itu, tepat di depan mata pria yang mau tak mau beralih fokus pada lembaran-lembaran tersebut. Ya, sebegitu lengkap senjata Ameera menuntut tanggung jawab pria ini. Ini hanya salah satunya masih ada ia simpan sebagai pamungkas.
"Kamu mengancam saya?"
"Bu-hm, mungkin iya. Kalau tetap Anda menolak menikahi saya, jangan salahkan."
Gerak mata Finn berpindah pada ukiran wajah oval, bibir mungil basah terpoles lipbalm pink pucat. "Kelihatannya kamu bukan orang bodoh-bodoh amat. Tapi kamu pasti buta? Tidak pernah melihat kaca, ya? Pergi, nilai dulu dirimu itu siapa, dan saya siapa. Mengerti?"
Kalimat pedas itu tak mengurungkan niat Ameera. "Saya tau siapa saya, Pak. Anda tidak perlu pedulikan saya. Pikirkan saja bagaimana dengan janin yang mungkin-"
"Ckk! Mungkin! Mungkin! Mungkin!! Saya sudah membayar harga perawanmu dua ratus juta. Masih kurang? Masih mau memeras saya dengan permintaan bodoh itu, hah?! Tidak peduli kamu hamil atau tidak. Yang jelas saya sudah membayar harga dirimu!"
Lelaki berkacamata yang baru masuk setelah dua kali mengetuk pintu tapi tak terdengar, seketika membelalak sekaligus ternganga. Ia bermaksud balik keluar memberi waktu Finn menyelesaikan permasalahannya dengan perempuan itu.
"Ardi!"
"Eh, ya, Pak?" Lelaki itu sontak berbalik sebelum kakinya sempat keluar, senyum canggung mencuat di bibirnya.
Jari Finn bergerak memberi kode pria berkacamata itu mendekat.
"Kamu pergi. Waktumu habis," tukasnya pada Ameera tanpa sedikitpun menoleh.
"Sudah direvisi ulang?" tanya Finn pada Ardi.
"Sudah, Pak." Pria tak begitu tinggi itu segera mendekat, menjelaskan. Semacam presentasi singkat yang sesekali dijeda pertanyaan kritis sang bos mudanya.
Ameera cukup terpana melihat cara Finn bicara. Memaparkan ide dengan begitu detail dan terdengar mudah dipahami. Mungkin jika buah malam lalu dirinya hamil benih pria ini, anaknya akan mewarisi kepintaran tersebut. Sedikit memperbaiki keturunan, walau dengan cara tragis.
'Nggak akan ada Biya lain... aku akan menjaganya, menyayanginya....' suara benak Ameera sembari tak sadar mengusap perutnya yang rata.
"Kau tidak mengerti bahasa manusia? Keberadaanmu di situ sangat mengganggu." Finn meminta Ardi berhenti sejenak, ia kembali mengusir Ameera sembari menunjuk pintu.
"Perlu Bapak tau, hidup atau mati, saya tetap perjuangkan nasib anak saya. Saya tidak mau hamil di luar nikah!"
"Ouch! Anak? Omong kosong!" Finn berdiri. "Keluar! Saya bisa memenjarakanmu yang berani-beraninya memeras saya."
"Bapak juga akan dipenjara karena sudah melakukan pemerkosaan!" tantang Ameera turut berdiri, tanpa takut membalas mata berkilat marah itu.
"Tidak ada pemerkosaan. Kamu yang lakukan saat saya tidak sadar, bukan!"
"Tentu bukan, Pak. Ini buktinya!" Ameera keluarkan ponsel yang waktu itu ada di atas meja, sedikit tertutup botol parfum. Ia ambil saat dalam posisi layar merekam arah tempat tidur Finn. "Lihat. Videonya ada di sini! Anda memaksa saya!"
Ponsel biasa yang tidak diketahui siapa pemiliknya itu Ameera nyalakan, memutar bagaimana awal Finn menarik dan melemparnya ke tempat tidur, hingga adegan panjang selanjutnya.
"Kau!!" Urat leher Finn menggembung keluar. Ia merasa telah dijebak perempuan itu.
"Sa-saya per-misi, Pak ...." Demi keamanan telinga dan mata, Ardi yang jadi berkeringat dingin memilih keluar. Namun, pamitnya sama sekali tak digubris dua orang yang bersitegang.
"Kalian memang berencana melakukan ini! Berapa kau dibayar! Berapa uang yang kau mau?! Katakan!" Andai Ameera laki-laki, pasti sudah Finn segera melemparnya ke jendela lantai 19 ini.
"Nikahi saya secepatnya, Pak. Itu saja syaratnya perbuatan Bapak tidak tersebar."
Pria itu melonggarkan dasi, mundur dan kembali duduk di kursinya.
"Saya punya kekasih seribu lipat lebih cantik darimu. Kamu cuma semut buruk rupa yang dengan mudah diinjak, remuk. Jadi jangan berharap macam-macam!" Finn membuka laci, lalu menulis cek dan mendorongnya ke depan Ameera.
"Ambil. Pergi jauh dari sekitar saya, atau kamu akan tinggal nama!"
Cek senilai dua kali lipat sebelumnya Ameera dorong kembali. "Sekarang Bapak ngancam saya? Maaf, ini bukan masalah uang, Pak. Ini masalah masa depan anak dalam kandungan saya. Dia butuh orang tua utuh walau harus terlahir dari cara yang salah!"
"Are you crazy?! Mana mungkin kamu hamil sekejap."
"Karena itu Bapak nikahi saya secepatnya. Demi rasa kemanusiaan Anda pada nasib anak yang mungkin akan ada di perut saya."
"Astagaaa...!" Wajah Finn memerah, mati-matian menahan diri tak membunuh seseorang saat ini juga. "Apa kamu begitu bodoh membiarkan dirimu hamil!" decaknya putus asa.
"Saya tidak akan berbuat apa-apa jika benar hamil, Pak. Dosa saya dan Anda pasti sudah terlalu banyak. Jika ditambah saya membunuh janin tak berdosa... ah, tidak, tidak." Ameera menggeleng kuat dengan wajah tegang. "Itu nggak akan terjadi. Anda tetap harus menikahi saya."
"Benar-benar!" Finn berdiri cepat menunjuk pintu. "Keluar! Lakukan apa saja maumu. Saya tidak takut!"
Bibir Ameera berkedut melihat kemarahan dahsyat di kulit wajah pria itu. Ia berdiri menahan kaki gemetar.
"Ambil! Ambil ini! Jangan sok tidak butuh uang, karena jelas sekali kamu murahan menjual diri dan mengancam saya demi uang."
Ameera menatap cek yang ia abaikan tadi, matanya menyipit. Ia tak butuh lagi karena hutang sudah dilunasi kemarin, tapi boleh juga cek itu sebagai bukti yang akan memberatkan Finn.
Ia menarik tissue, mengambil cek itu tanpa meninggalkan jejak jarinya. Finn mengerut kening melihat tingkahnya.
"Tunggu saja kabar baiknya, Pak Ghazi Finn Cullen," ujarnya sembari meninggalkan tempat itu dengan langkah tenang, meski... mati-matian menahan gemuruh takut dalam darahnya.
Siapalah Ameera, memang hanya semut buruk rupa di bawah kaki lelaki kaya raya itu, tetapi demi apapun seorang Ameera akan menjadi semut cerdik yang bisa mengalahkan lawan meski sebesar gajah sekalipun.
***
"Lo ditungguin si gondrong tuh." Bibir Silvi memanjang ke arah lelaki yang menatap Ameera sendu.
Juna menunggunya pulang kerja malam ini, usai seharian tadi pesan tak dibaca ataupun dibalas, apalagi puluhan panggilannya jelas Ameera abaikan.
"Kalian lagi berantem ya? Butuh ditemenin gak?" Silvi mengejar Ameera ke parkiran.
"Nggak usah, Sil. Kami pulang aja."
"Ra!"
"Eh, jan maksa gitu dong. Ntar tangannya copot lo mau tanggung jawab?" Tanpa diminta Silvi melepas cengkeraman Juna dari lengan Ameera.
"Gue ada urusan sama Ameera."
"Urusan ya urusan tapi gak nyakitin juga keles. Cowok bukan lo? Tampang aja kayak jagoan tapi beraninya sama cewek! Cemenn!" Sejak awal tahu Juna dekat dengan Ameera, Silvi ini yang paling menentang. Dalam pandangannya Ameera tidak cocok dengan orang seperti Juna, walaupun Chef tampangnya seperti preman. Tangan penuh tato, mata selalu menyala, dan jalannya seperti orang akan menantang berkelahi.
"Eh, ehh, aya naon ie teh? Neng Ameera enggak apa-apa?" Nah, menurut Silvi juga, si Engkus inilah yang cocok buat Ameera. Si cleaning servis yang rela kerja kapan saja selama dibutuhkan untuk disuruh-suruh. Sebelas dua belas dengan Ameera yang bekerja karena sangat butuh duit.
"Ehem, pangerannya Ameera dateng. Jagain cewek lo nih, Ngkus, diganggu preman kampung tuh!"
"Neng Ameera-"
"Engkus, Silvi, kalian pulang aja duluan. Aku nggak papa."
"Beneran, Neng? Ada apa-apa jangan segan minta bantuan Aa nya?"
"Co cweet, Aa Engkus emang cocok ama lo, Ra." Silvi tersenyum geli.
Tak ingin menjadi badut, Juna menarik tangan Ameera menjauh.
"Jun-"
"Aku anggap kita masih pacaran, Ra. Aku nggak terima apapun alasanmu mengakhiri hubungan." Juna memegang dua bahu Ameera supaya tidak menghindar tatapannya. "Kecuali... kamu benar-benar sudah jadi istri orang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Hamsi
😔
2023-08-23
1
iyel
ameera hebat 👍👍👍👏👏👏👏👏
2023-03-17
1
Yantisejati
kasihan Ameera di sudutin terus
2023-03-15
1