Air mata dan rintihan Ameera sama sekali tidak dipedulikan pria yang tengah memacunya. Entah dirasuki setan apa sosok berwajah bak Dewa itu begitu bertenaga dan bersemangat menyalurkan hasrat. Bukan hanya sekali, tetapi ini sudah ketigakalinya mencapai puncak, namun tenaganya seolah tidak berkurang dan belum juga puas.
Tidakkah pria itu tahu kalau Ameera sudah nyaris pingsan. Beberapa bagian tubuh gadis putih bersih bertebaran tanda merah, tulangnya pun seakan remuk karena dibolak-balik berbagai posisi.
Harta paling berharga yang sangat ia jaga telah direnggut paksa.
'Ogh, Tuhan ... aku minta mati saja ...,' jerit hati Ameera nelangsa. Ia kesulitan bergerak. Sementara pria di sebelahnya tampak baru kelelahan menjelang pagi, dan sekarang tertidur pulas.
Air mata Ameera tak berhenti berlelehan, walau tanpa suara. Sejak lama ia memang perempuan yang sulit menangis meski pukulan keras kerap dilayangkan ke tubuhnya. Sejak lama ia telah banyak mati rasa.
Suara ponsel membuatnya menoleh pada tas kecil teronggok di lantai sana. Tadi terjatuh di dekat pintu saat lelaki tinggi dan berdada lebar itu tiba-tiba menyergapnya.
"Samii... Najaa...." Dua raut wajah yang sangat Ameera cintai muncul dalam bayangan. Mereka pasti mengkhawatirkannya sekarang.
Kedua adik tercinta itulah yang membuatnya rela banting tulang, jatuh bangun berjuang hidup selama ini.
Ameera coba memiringkan badan. Tubuh dingin tanpa tertutup sehelai kain pun itu ia paksa bergerak bangun. Nyeri mendera terutama di bagian inti tubuhnya.
Jangankan jalan, berdiri pun ia tidak mampu. Sungguh sadis lelaki itu tadi memperlakukannya.
Ameera terpaksa merayap, bunyi ponsel tanpa henti dalam tas itu seakan memberi kekuatan. Benar saja, nomor Sami berulangkali telepon.
Menarik napas panjang sebelum menerima, Ameera tidak mau membuat remaja itu sedih.
"Ya, Sam? Ya, maaf kakak lupa bilang... Kakak harus lembur sampai pagi. Jangan khawatir. Ohh, syukurlah kalau Mbak Yuni mau nginap. Ya, buruan tidur, jangan sampai ngantuk nanti di sekolah." Ameera kembali menarik napas panjang mendengar adiknya di seberang bicara. Sami sepertinya sangat ingin berlama-lama.
"Ya. Kakak mungkin pulang agak siang. Sudah dulu. Kakak nggak bisa lama." Napasnya terlalu sesak merangkai banyak kata bohong Ameera pun buru-buru mematikan panggilan.
Sudahkah suaranya tadi terdengar baik-baik saja? Ah, Ameera harap begitu. Ia tak mau kedua adiknya sampai terluka karena memikirkan keadaannya sekarang.
***
"Kamu...? Kenapa ada di sini?" Suara serak itu membuat Ameera tersentak. Ia memang telah berpakaian usai membersihkan diri tadi, sengaja tetap di sini menunggu si pria bermata biru itu bangun.
Ameera menoleh, menatapnya datar dan dingin. "Anda memperkosa saya... Anda harus bertanggung jawab," tukasnya dengan suara gemetar.
"W-what?!" Lelaki berdada lebar dengan perut membentuk kotak-kotak delapan gundukan keras itu terduduk. Menatap bagian tubuh bawahnya yang tertutup selimut. Masih sedikit tegang dan tanpa dalaman.
"Are you f*ck*ng kidding me?" Ia sungguh tak percaya. Kepala yang terasa berat membuatnya gagal mengingat apapun.
Ameera menunjukkan darah perawannya di seprei. "Anda lihat sendiri. Saya masih perawan dan manusia seperti Anda sudah menghancurkan saya...."
"Tidak mungkin...! Mana mungkin!" Banyak kata umpatan keluar dari bibir seksi pria itu. Tergeragap melilit selimut di pinggang, ia beranjak dengan terhuyung.
"Astaga... apa-apaan ini?!" Ia menggeleng, mata mengabur dan kepala berdenyut pening melihat pakaian dalam dalamnya tersebar di lantai. Tanda telah dilepas dengan terburu-buru.
Lari tergesa ia ke kamar mandi setelah sedetik melirik Ameera jijik.
Setengah jam membersihkan diri masih membuat pria itu menahan mual. Sangat menjijikkan untuknya menyentuh perempuan murahan.
"Kamu siapa? Bagaimana bisa kamu ada di kamar saya? Kamu, atau mungkin kalian pasti menjebak saya!" tuduhnya sesudah kembali ke kamar.
Pria itu tampak makin gagah dan tampan dengan rambut basah. Tubuh tegap berotot padat berbalut kemeja putih. Pun celana bahan membungkus kaki jenjang berbulunya. Penampilan yang menggambarkan ia seorang eksekutif muda.
"Rom, siapa yang mengirim jal*ng ke kamar saya tadi malam?" Sekilas ia melirik Ameera yang memelototinya atas pernyataan itu. "Oh, begitu kah? Hm, cari tau juga apa yang saya minum di restoran itu sebelum pulang."
"Saya bukan jal*ng!" sela Ameera setelah pria itu mengakhiri panggilan, "Saya juga tidak pernah terpikir sedikit pun menjebak siapapun! Anda jangan bicara sembarangan!"
Pria itu tertawa mengejek. "Oh ya? Apa kamu hantu bisa begitu saja menembus dinding? Tersesat di sini untuk menyerahkan tubuhmu pada saya? Luar biasa!"
Bagaimana bisa lelaki itu lupa melihatnya masuk ke sini?
"Anda lupa? Saya bilang saya dari Perfecto Resto, diminta antar pesanan ke sini, tapi Anda menerkam saya seperti buaya kelaparan."
"Saya? Buaya? Hahaa." Lelaki bernama Ghazi Finn Cullen itu kembali tertawa. "Bukankah kamu yang datang menyerahkan diri? *****!"
"Jaga mulut Anda!" Masih posisi duduk di tepi ranjang karena kesakitan berdiri, Ameera kembali menunjuk bercak darah di seprei. "Demi Tuhan, Anda yang pertama menodai saya. Harta yang paling saya jaga untuk suami saya sudah Anda hancurkan!"
Finn menaikkan sebelah alis. "Siapa percaya itu darah perawan. Saya sama sekali tidak ingat apa yang terjadi. Yah, tidak salah lagi. Kau atau mungkin kalian, komplotan yang memberi sesuatu dalam minuman saya, lalu berpura-pura saya perk*sa. Percaya diri sekali. Wanita sepertimu bukan sekali dua kali mau menjebak saya. Kalian semua sudah jelas maunya uang bukan?"
Dari lemari Finn mengambil dua ikat tebal uang merah. "Oke. Kau akan terima bayaran. Anggap saja saya sedang mabuk, percaya kau benar perawan." Ia melemparkan begitu saja uang itu ke pangkuan Ameera. "Itu untuk cerita bodoh yang kau karang. Pergilah! Sebelum saya panggil orang mengusirmu!"
Bagaimana Ameera bisa pergi, untuk jalan saja ia tak yakin bisa. Bagian bawah tubuhnya terasa seperti masih tertusuk benda besar.
"Saya perempuan baik-baik, Pak. Saya tidak minta uang Anda ... harga diri saya sudah Anda renggut. Tidakkah sisi kemanusiaan Anda bertanggung jawab menikahi saya?" Mata Ameera berkaca-kaca, ia sudah berusaha menjaga diri hanya untuk suaminya kelak, siapapun itu, walau sebenarnya ada kekasih yang sampai kini belum siap menikahinya. Sekarang harapan itu sudah lenyap, maka dengan naif ia tetap berharap pria ini menikahinya.
"Apa?! Kamu sadar bicara apa? Kamu siapa merasa pantas dinikahi saya?!" Kulit muka Finn memerah. Keluarganya saja tidak ada yang berani menyuruhnya menikah, dan perempuan yang ia nilai rendahan dan murahan ini meminta dinikahi? Hah, sampai matahari terbit dari barat pun tidak akan Finn lakukan!
Finn kembali menghubungi seseorang. Dengan segera dua lelaki berbadan tegap datang, menyeret Ameera keluar dari kamar apartemen mewah itu.
***
"Adiknya bikin sibuk orang lain. Eh, dia malah enak-enakan pulang jam segini. Kerja apaan emang."
"Udah pastilah kagak bener, Bu. Apalagi coba."
"Nauzubillah! Dosanya bisa nular ke kita-kita ini kalau dibiarin!"
Ameera melangkah cepat masuk halaman. Seluruh tubuh masih sangat sakit, tapi ia berusaha tak merasakan hingga berhasil sampai di dalam rumah. Lehernya tertutup rapat sweater, dikancing hingga garis dagu, jadi tidak semakin mengundang cibiran dua tetangga di rumah sebelah.
Ia minum obat pereda nyeri sebelum membaringkan tubuh di kasur. Sementara, sampai kuat lagi bergerak untuk berangkat kerja.
Rumah sepi. Naja jadwal cuci darah hari ini, tadi ia yang hampir lupa sudah minta tolong Yuni ikut mengantarkan ke rumah sakit. Di sana prosesnya akan dibantu Saidah, adiknya Raihan yang seorang perawat. Raihan, teman Ameera sejak kecil, juga tetangga di belakang kompleks. Keluarga merekalah satu-satunya yang siaga membantu dan mau berteman baik di antara para tetangga terdekat lain.
"Uang," gumamnya menatap kosong pada dua gepok lembaran merah dalam tas. Lelaki itu tadi memasukkan paksa ke dalam tasnya sebelum ia diseret keluar.
"Inikah kamu sekarang, Ra...? Harga dirimu dibayar 200 juta?" Bibirnya tersenyum tipis, ada perih menyengat di rongga dada.
Uang itu akan segera habis untuk bayar sisa utang, sementara keperawanannya tidak akan kembali.
Jemari putih itu merogoh isi tas.
"Ghazi Finn Cullen ... nama belakangnya nggak asing ...." Ia membaca nama di kartu tanda penduduk yang dicuri saat Finn masih belum bangun.
Bukan hanya itu. Kartu nama sebuah perusahaan, foto keluarga Cullen, dan kontak bernama Opa dan Daddy berhasil Ameera ambil dari layar ponsel Finn yang tak terkunci.
Ameera refleks saja lakukan itu, tergerak oleh rasa takut kalau perbuatan Finn membuahkan janin di rahimnya. Sebelum ketakutannya sampai terjadi, ia tahu arah menuntut pertanggungjawaban lelaki itu besok.
[Beb?]
[Beb, kenapa gak jawab panggilanku?]
[Kamu di mana?]
[Sudah di kerjaan?]
[Masih di rumah?]
Pesan berturut-turut di antara puluhan panggilan tak terjawab Juna baru Ameera buka satu jam kemudian. Ia sengaja mengabaikan sejenak, sembari berpikir harus membuat keputusan apa.
Sekarang jam menunjukkan angka 9 lewat 5 menit, melalui pesan singkat ia minta izin manajer akan masuk shift kedua saja. Saat ini tubuhnya benar-benar tidak bisa dipaksakan.
[Aku lagi ada urusan, Jun. Masuk kerja shift kedua]
Tanpa pikir panjang ia langsung mengetik pesan selanjutnya. [Ntar malam aku pulang kerja kita ketemu ya. Ada yang mau kukatakan]
Begitu pesannya terbaca Juna langsung menelepon.
Ameera cepat me-reject lantas mematikan ponselnya.
"Sorry ya, Jun... aku udah nggak pantas...."
***
"Kak Am sakit? Kayak lemas gitu." Menjelang sore Sami pulang sekolah, tak berapa lama setelah Naja dan Yuni sampai rumah tadi.
Ameera merapatkan jaket. "Sedikit demam aja. Udah nggak papa kok, kakak sudah minum obat sama tidur hampir seharian. Gimana sekolahnya?"
Sami mengibas tangan ke udara. "Urusan sekolah jangan ditanya, Kak. Tenang. Percaya ma aku. Brebes beres lah pokoknya."
"Kakak senang kamu masih konsisten." Janji Sami akan serius sekolah ia buktikan. Terbawa rasa bersalah pada bapak yang pernah menghajarnya karena ketahuan bolos ke tempat game. Sehari setelah kemarahan itu bapak mengalami kecelakaan tunggal membonceng Naja. Bapak kritis 3 Minggu sebelum dijemput maut.
"Ya lah Kak. Sebelum lulus aku akan semangat sampai titik akhir. No cewek! No game!" ujarnya tegas.
"Cuma sampe lulus?" Pancing Ameera bercanda.
"Kan janjinya cuma sampe lulus. Habis itu paling aku kerja kayak kak Am, baru pikirkan kuliah atau ga." Sami melongok ke kamar Naja, adiknya sedang tertidur lelap.
"Hm, kakak ngikut aja sesuai maumu, Sam." Ameera beranjak dari duduk, akan ke dapur. Di sana Yuni tadi disuruhnya makan sore dulu sebelum pulang.
"Mumpung Dek Naja tidur. Aku mau ke toko depan sebentar, Kak." Di garasi Sami gegas keluarkan sepeda, katanya mau beli karton dan selotip.
"Mbak pulang tunggu Sami balik, ya."
"Iyo, Mbak Ameera. Saya ndak apa pulang agak sorean." Wanita berlogat jawa medok itu menyahut sambil mengulek sambal terasi, teman makan ikan goreng di meja.
"Makan yang banyak, Mbak. Aku mau siap-siap dulu."
"Iyo, Mbak. Matur nuwun."
***
"Ehem! Kayaknya ada yang aneh." Silvi sudah bersiap pulang, seragam restoran sudah berganti kaus biasa. Ia menatap Ameera yang baru datang.
Tatapan itu membuat Ameera mengusap tengkuk. Berharap area leher yang sudah didempul foundation tak memperlihatkan bekas bibir lelaki bermata biru semalam.
"Ada angin apa lo dandan tebal, Ra? Mau skalian kondangan?"
Senyum kecil Ameera tertarik. "Sorry ya, Sil, aku lagi nggak mood ngomong." Ia langsung ke ruang ganti bersiap bekerja. Sementara Silvi sampai berputar mengikuti arah gerakannya.
Ada yang aneh dalam pandangan Silvi, tapi ia tak menemukan di bagian mana penampilan Ameera yang berbeda hari ini.
Ponsel Ameera sengaja di-silent sampai jam pulang, walau sesekali ngecek pesan jika ada dari Sami atau Naja. Panggilan dan pesan Juna ia abaikan.
Lelaki berambut panjang ikat satu di belakang itu sudah menunggunya sejak setengah jam tadi. Begitu Ameera temui di selasar pintu keluar khusus karyawan, Juna tak berkedip menatap.
"Sudah lama? Maaf bikin kamu nunggu, Jun." Ameera memulai percakapan.
"Ada apa, Beb? Kenapa kamu-"
"Jun," sela Ameera sebelum waktu terbuang banyak, "maaf ya, aku mau kita balik berteman aja."
"Ameera, ada apa?" Juna meraih tangannya tapi langsung dilepas Ameera sambil tersenyum.
"Sudah, Juna. Sorry banget, aku nggak bisa lagi sama kamu."
"Kenapa?" Mata pria itu menatapnya nelangsa. "Aku butuh penjelasan, untuk bisa terima keputusanmu ini, Ra. Katakan ada apa?"
Ameera menarik napas panjang. " Aku... akan nikah sama orang lain."
"Apa?!"
***
Entahlah, ini sebuah keyakinan ataukah harapan bodoh. Ameera merasa wajib membuat pria bernama Ghazi Finn Cullen menikahinya secepat mungkin. Ia tak mau menanggung risiko yang akan disesalinya seumur hidup.
Pagi-pagi sebelum jadwal restoran buka hari ini, ia sudah melajukan motor bebeknya ke sebuah gedung berlantai 19 di pusat ibukota. Beruntung Yuni sekarang mau tinggal di rumah untuk standby jaga Naja sementara, walau gajinya harus ditambah.
Tak lama, Porsche hitam memasuki pelataran lobi. Dua penjaga langsung siaga menyambutnya.
Ameera yang menunggu di dalam setelah tadi bicara dengan penjaga segera berdiri. Benar saja dugaannya. Lelaki bermata biru juga takkan perempuan ini lupa tato naga di bahu kirinya itu keluar, mengenakan kacamata gelap hingga semakin menambah kadar ketampanannya.
"Hei berhenti!"
Sangat terlambat. Ameera sudah berdiri di depan lelaki tegap itu, menatapnya tanpa rasa takutan sedikit pun.
"Maaf, Pak perempuan ini sejak tadi menunggu Anda. Biar kaki singkirkan." Penjaga berkulit gelap sudah mencekal lengan Ameera.
"Sebentar!" Ameera menggeliat melepaskan diri. "Anda bisa usir saya, setelah apa yang saya katakan tidak mengetuk hati Anda, Pak. Ini tentang rahim saya. Tentang anak Anda!"
What?!
Apakah hubungan semalam sudah membuat perempuan ini hamil sekejap?
Finn berdecak, menggeleng kepala akan hal yang tidak penting sebelum melanjutkan langkah. Kode bahasa tubuhnya menyiratkan kalau perempuan gila itu harus segera disingkirkan dari hadapannya.
"Anda harus bertanggung jawab menikahi saya Ghazi Finn Cullen! Atau saya menyebarkan foto kita!"
Foto?
Teriakan Ameera itu membuat kaki Finn terhenti, rahangnya mengetat. Tanpa berbalik ia berkata dengan nada dingin pada pengawalnya, "antar perempuan itu ke ruangan saya!"
...Bantu tap jempol dan komentar ya teman-teman. Biar aku makin semangat ngetiknya 🤗...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Elma Theana
amera kamu hebat👍👍👍
2023-03-20
2
yuce
ngakaka sekali buat langsubg jadi kayak buat adinan kue gahahahaha
2023-03-16
1
Eni Satria
jgn pongah jdi ceo ntar bangkrut mampus karma pasti datang
2023-03-10
1