Bab 4

"Cepat berikan uang itu sekarang juga. Setelah itu, kau boleh keluar dari rumah ini." titah Hilman.

"Harus sekarang, Mas? Aku bisa cicil tidak? Aku tidak punya uang sebanyak itu. Dan kamu tahu sendirikan, selama ini kamu tidak memperbolehkanku bekerja. Kamu selalu mencukupi semua kebutuhanku dari sekolah sampai kuliah. Mana mungkin aku punya uang sebanyak itu." lirih Riska.

"Kalau begitu, masuklah ke kamar dan beristirahatlah. Atau kamu tertarik untuk melakukan apa yang seharusnya sepasang pengantin lakukan di malam pertama?" goda Hilman yang mendapat gelengan kecil dari istrinya.

"Tidak, Mas. Aku kembali ke kamar." jawab Riska, "Tapi besok pagi, kamu izinkan aku untuk pergi, kan? Aku harus cari pekerjaan dan aku tidak mau--"

"Carilah pekerjaan tapi setelah itu, aku tidak mengizinkanmu keluar rumah ini, walaupun hanya di halaman rumah." jawab Hilman memutar tubuhnya dan berjalan menaiki tangga.

'Apa? Apa dia pikir aku tahanan?' batin Riska berlari mengejar suaminya. "Mas, aku bosan tidak melakukan aktivitas apapun. Aku butuh teman untuk menghiburku. Kamu tidak boleh memperlakukanku seperti tahanan. Aku juga manusia yang butuh kebebasan darimu." ucap Riska memohon.

"Kerjakan pekerjaan rumah. Aku sengaja tidak menyewa asisten rumah tangga karena aku mau, kamu mempunyai kesibukan di rumah. Bukankah semua itu sudah jelas. Katakan saja padaku jika menginginkan sesuatu. Dan aku tidak akan memberimu fasilitas seperti mobil atau kendaraan lainnya." jawab Hilman yang lagi dan lagi membuat Riska tak percaya.

"Mas, kamu tidak boleh bersikap seperti ini pada istrimu sendiri. Sebelum kamu menikahiku, kamu berjanji akan menjagaku dan membuatku selalu bahagia. Jika seperti ini, aku tidak akan mau menikah denganmu dan aku tidak akan sudi biaya pendidikanku di tanggung sepenuhnya olehmu. Aku akan berusaha mencari pekerjaan sampingan."

"Kenapa tidak melakukannya sedari dulu? Kenapa kamu justru menerima semua bantuanku?" jawab Hilman dengan santai.

"Iya, karena aku yakin kamu orang baik, Mas. Kamu selalu memintaku untuk fokus merawat ayah dan tidak perlu mencari pekerjaan sampingan atau memikirkan biaya pendidikanku. Aku pikir, semua yang kamu lakukan itu tulus padaku, Mas. Aku tidak pernah berpikir kalau kamu--"

"Satu kata keluar dari mulutmu lagi, kita akan melakukan malam pertama." ucap Hilman membuat Riska terdiam.

Riska berlari menuju kamarnya dengan perasaan kesal, marah dan kecewa.

Setelah sampai di kamar, Riska menutup dan mengunci pintu kamarnya.

Dari luar kamar, Hilman dapat mendengar suara isak tangis istrinya.

Perlahan tangannya memutar gagang pintu, tapi sayangnya pintu kamar itu terkunci dari dalam.

Tak ingin mengganggu sang istri. Hilman memutuskan untuk berisitirahat di kamar lainnya.

Di dalam kamar, Riska tak henti-hentinya menarik tissue untuk menghapus semua air mata yang mengalir deras di pipinya.

'Memang benar, menikah dengan orang yang kita cintai belum tentu bahagia, tapi setidaknya orang itu merasakan sedikit kebahagiaan, tidak sepertiku. Apa semua ini pantas di sebut pernikahan? Tidak ada rasa cinta atau pun sayang. Aku melakukan semua ini demi keluargaku, demi ayahku yang koma. Aku butuh uang yang banyak. Dan hanya Mas Hilman yang bisa memberiku uang banyak.' gumam Riska dalam hati.

Ke esokkan hari.

Sinar matahari yang menembus dinding kaca besar mampu membuat seorang wanita yang tengah tidur terbangun karena hangatnya sinar yang menyinari wajahnya. Wanita itu adalah Riska.

Riska mengucek ke dua matanya. "Hoam," gumamnya.

Tok ...

Tok ....

Suara ketukan membuatnya sedikit terkejut.

"Itu pasti Mas Hilman. Sebaiknya, aku tidak usah membukakan pintu kamar. Aku malas melihat wajahnya yang menyebalkan!" gumamnya lagi.

Tak mendapat respon dari istrinya, Hilman merogoh saku celananya untuk mengambil kunci cadangan kamar istrinya.

Di masukkan kunci tersebut ke lubang yang sudah di sediakan. Dan akhirnya pintu pun terbuka lebar.

Setelah pintu terbuka, Hilman melangkahkan kakinya dan melihat istrinya yang sedang melamun di tepi ranjang.

"Apa yang kau lakukan? Melamun di pagi hari." ucapnya membuyarkan lamunan Riska.

Riska menarik selimutnya, "Apa yang mas lakukan di kamarku?" ucap Riska.

Hilman menjatuhkan pantatnya di sofa sembari menyilangkan ke dua kakinya di atas meja. "Bersiap-siaplah, kita pergi ke kantor." titah Hilman.

"Aku tidak mau, Mas. Kamu bisa pergi ke kantor sendiri." tolak Riska.

"Cepatlah, aku tidak butuh bantahan darimu. Bersihkan dirimu, setelah itu kita pergi ke kantor. Aku tidak akan membiarkanmu sendiri di rumah sebesar ini."

"Tapi aku tidak mau, Mas. Aku masih ngantuk. Kamu bisa pergi ke kantor sendirikan. Lagi pula, aku tidak mungkin kabur darimu. Sekarang, aku sudah menjadi istrimu dan mau tidak mau, aku akan terus berada di sampingmu. Pergilah ke kantor." titah Riska merebahkan tubuhnya lagi ke atas kasur empuknya.

Hilman memicingkan mata saat melihat kelakuan istrinya yang sangat berbeda dengan wanita lain di luar sana.

"Rachel membutuhkan bantuanmu. Aku tidak ada waktu untuk mengajari semua pekerjaan yang tidak di kuasainya. Dan aku membawamu karenanya. Apa kamu mau, aku pecat temanmu itu?" ancam Hilman sembari terkikik di dalam hati.

'Rachel membutuhkan bantuanku? Kenapa dia tidak mengirim pesan padaku, saja? Kenapa harus Mas Hilman yang meminta bantuan padaku. Apa jangan-jangan Rachel tidak enak hati? Astaga, anak itu memang menyebalkan. Dia selalu membuatku terpojokkan!' gumam Riska dalam hati.

"Aku pecat temanmu atau ikut denganku?" ucap Hilman membuat Riska beranjak dari tempat tidurnya.

"Tunggu sebentar, Mas. Demi temanku, aku akan ikut denganmu. Tapi setelah semuanya selesai, aku langsung pulang. Bagaimana?" tawar Riska.

"Cepatlah! Aku tidak butuh tawaranmu." titah Hilman.

Riska menurunkan kakinya ke lantai yang dingin dan berjalan menuju kamar mandi.

Hilman hanya melihat punggung istrinya masuk ke dalam kamar mandi.

'Anak itu memang mudah di bodohi. Aku memang beruntung mempunyai istri sepertinya, hahaha ....' batin Hilman terkikik.

Riska melepas semua pakaiannya dan berendam di dalam bathup.

'Kira-kira ucapan Mas Hilman benar tidak, ya? Tapi untuk apa Mas Hilman membohongiku? Sedari dulu, Mas Hilman sangat benci dengan kebohongan. Tapi jika aku menolak ikut, kasihan juga Rachel. Mau bagaimana pun, Rachel dan nila itu teman terdekatku.' gumamnya dalam hati.

Hilman melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi.

"Apa yang dia lakukan di kamar mandi? Hampir satu jam dia di kamar mandi tapi aku sama sekali tidak mendengar suara gemercik air. Apa jangan-jangan dia tertidur di kamar mandi? Apa aku harus mengeceknya? Ah tidak perlu, aku tidak perlu mengeceknya, tapi jika terjadi sesuatu dengannya di dalam kamar mandi, bagaimana? Lalu aku terlambat memberikan pertolongan pertama? Sebaiknya, aku cek saja." gumam Hilman.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!