Elle memandang kosong kolam ikan berukuran 3 x 3 meter itu. Dilemparkannya pelet-pelet yang menjadi makanan dari hewan air bertulang belakang tersebut. Mereka pun melahap hidangan itu dengan rakus.
Elle memalingkan mukanya. Ia beralih menyorot langit, lalu memegang perutnya yang tertutupi oleh kaus oblong hijau asetat yang kebesaran itu. Seketika, matanya memerah.
'What should I do?' Ia pun membatin, bertanya kepada dirinya sendiri.
Sudah dua pekan lamanya Elle menyembunyikan kebenaran mengenai kehamilannya. Tentu saja, dia pun merasa tertekan karena apa yang ditakutkannya, nyatanya benar-benar terjadi. Ia hamil, dan tentu saja, dalam beberapa waktu ke depan, ia tak akan bisa lagi menutupi fakta tersebut dari orang-orang terdekatnya.
Apa reaksi mereka nanti? Tapi, mereka pasti akan mendukung Elle, bukan?
Gadis remaja itu, kemudian beranjak. Ia tersenyum tipis, lalu berjalan menghampiri sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman rumahnya. Dari kendaraan tersebut, kemudian muncullah sosok Joanne, Celine, Gabriel, dan Aziel.
"Elle!" Joanne langsung merengkuh tubuh kurus Elle ketika gadis itu berada di hadapannya. Senyum lebar pun terpampang jelas dari wajah remaja perempuan berkarakter maskulin tersebut.
Elle memukul pelan bahu Joanne ketika ia merasa akan segera kehabisan napas. Bibirnya pun langsung tertekuk ke atas seketika itu juga. Ia melangkah menjauhi Joanne dan bersembunyi di balik tubuh jangkung Celine.
"Jangan banyak tingkah, Jo! Kita ke sini bukan untuk mengganggu Elle, tapi untuk mengerjakan tugas," katanya, dengan nada yang cuek.
Gadis berambut cokelat itu, kemudian menarik Elle agar bisa segera masuk ke dalam rumah. Gabriel dan Aziel pun mengikuti di belakangnya, setelah itu, barulah Joanne yang kembali memasang wajah judes andalannya.
"Hey, Gabriel ..., bukankah aku sudah bilang, kamu yang mendapat tugas membawa alat-alatnya ke dalam?!" Joanne melaung. Ia berdiri di depan pintu rumah dan bekacak pinggang sambil menatap tajam Gabriel yang sudah merebahkan dirinya di atas sofa.
"Ada sopir," sahutnya, singkat. Ia memejamkan mata sambil menutup kedua telinganya agar tak perlu mendengar suara Joanne yang melengking itu.
"Pemalas! Aku akan menendangmu jika tidak segera mengambil alat-alat dan bahan-bahannya dari dalam mobil," sentaknya. Mendengar itu, Gabriel pun langsung beranjak, mendengus, dan melangkahkan kakinya dengan malas menuju ke luar.
"Kita di kamarku saja," ucap Elle, tiba-tiba.
Mereka semua, kemudian memasuki kamar Elle di lantai dua. Kamar yang ukurannya lumayan besar itu, didominasi oleh warna putih. Beberapa aksesoris menyerupai sunflower yang merupakan bunga favorit sang empu pun tampak di sana. Bahkan, aroma sang kusuma pun ikut terasa.
"Seperti biasa, pencinta bunga matahari," gumam Aziel. Pemuda itu, kemudian mendudukkan dirinya di atas lantai dengan kepala yang bersandar di sisi ranjang.
Aziel menatap ketiga gadis yang tengah berdiskusi itu. Ia tak perlu ikut, karena sebenarnya, di sini pun, ia hanya ikut-ikutan. Sebagai adik kelas, tentu, ia tak memiliki tugas yang sama seperti keempat kakak kelasnya tersebut.
"Aku mau ke toilet," desis Joanne seketika sambil memegang perutnya.
Aziel tak begitu peduli. Ia fokus menatap Elle yang menurutnya lebih sering murung akhir-akhir ini. "Apa hanya aku yang menyadarinya?" lirihnya.
Sepanjang ingatan Aziel dalam pertemanan mereka selama bertahun-tahun lamanya, Elle adalah seorang gadis yang manis dan ceria. Rasa-rasanya, hampir tak pernah remaja itu menunjukkan wajah murungnya.
Meski ia seorang penyair yang konyol, namun sesungguhnya, ia adalah laki-laki yang peka. Tentu, ia pun menyadari dan peduli dengan perubahan-perubahan sikap oleh sahabatnya tersebut. Ia pun mengerti sejak kapan perubahan itu terjadi.
'Apa yang terjadi saat badai itu?'
Aziel mengembuskan napasnya panjang, lalu menatap ke pintu di mana kakak sepupunya, Gabriel datang dengan membawa sebuah kardus berukuran lumayan besar. Wajah laki-laki itu yang tampak kelelahan, membuat Aziel menyeringai tiba-tiba.
"Apakah kakak sepupuku yang lemah ini sedang kelelahan?"
Pada akhirnya, Gabriel hanya mengabaikan. Dengan hati-hati, ia pun meletakkan kardus bawaannya ke hadapan Elle dan Joanne. Sejenak, ia mengunci pandangannya.
"Kamu sakit, Elle?" tanyanya, namun yang ditanya hanya menggeleng. "Akhir-akhir ini kamu selalu pucat," sambungnya.
"I'm totally fine, Riel ...!" sahut Elle. Ia meneguk salivanya, merasa gugup karena tengah berbohong.
"TIDAK! NO! NO! NO! APA INI?!"
Teriakan Joanne dari dalam kamar mandi, mengejutkan mereka semua. Di hampiri oleh keempatnya pintu yang kemudian muncul Joanne dari baliknya.
"Test pack siapa, ini?" tanyanya, tiba-tiba.
Elle yang melihat itu pun langsung membelalakkan matanya dan merebut benda itu dari tangan sahabatnya. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Wajahnya memanas. Tubuhnya pun menjadi kaku—sangat kaku. Ia menatap teman-temannya dengan raut panik yang tak bisa disembunyikan.
"Elle, jangan bilang ...—" Gabriel tak mampu melanjutkan kata-katanya. Kerongkongannya tercekat. Dengan dada yang bergemuruh, ia pun menyorot wajah penuh kegelisahan itu.
"Milikmu, Elle?" tanya Celine sambil memiringkan kepalanya. Tatapannya yang tetap datar seperti biasa, justru membuat Elle semakin panik.
"I—itu ...." Elle menggaruk tengkuknya. Ia bingung harus berkata seperti apa. Matanya sudah memerah. Sebentar lagi, tangisnya, mungkin akan pecah.
"Kamu memang pintar berbohong, tapi tidak dengan menutupi rasa cemasmu." Celine menggelengkan kepalanya. Didekatinya tubuh Elle yang sepuluh sentimeter lebih rendah darinya itu.
Celine mendekap erat tubuh Elle, membuat gadis itu tak tahan ingin segera menumpahkan segera seluruh rasa sakitnya. Ia pun menangis dengan suara tertahan dengan Celine yang terus menepuk-nepuk bahunya.
Joanne menutup mulutnya tak percaya. Gabriel dan Aziel pun saling menatap dan memundurkan tubuh mereka.
"Masih muda sudah mau menjadi paman. Oh—apa kamu ayahnya?" Aziel berbisik dan menatap Gabriel dengan kekonyolan khasnya.
Gabriel yang merasa kesal pun langsung menjitak pelan kepala adik sepupunya. "Mana mungkin aku melakukan itu dengan sahabatku sendiri," sanggahnya.
Tentu, Gabriel tak akan melakukan hal sembrono seperti itu. Lagi pula, meskipun terkadang ia terlihat seperti tengah menyukai Elle dan terlihat seperti sepasang kekasih dengan gadis itu, namun pada faktanya, hubungan mereka tidaklah lebih dan tidaklah kurang dari sekadar persahabatan—begitu pun dengan kasih sayang mereka yang saling tercurahkan, itu hanya terbatas pada kasih sayang antarteman dekat.
"Apa kamu juga menyadari perubahannya?" tanya Gabriel. Ia menatap Aziel yang menganggukkan kepalanya.
"Tapi ..., sayang sekali kita tidak terlalu mempedulikan itu. Maksudku, kita merasa bahwa dia baik-baik saja karena dia masih mau tersenyum, lalu kita mengabaikan fakta mengenai perubahannya. Siapa sangka dia menyimpan semua itu sendiri," tutur Aziel yang tak mau menatap Elle. Ia sendiri pun, jujur merasa ikut terluka melihat sahabatnya sedih seperti itu.
"Bagaimana rasanya?" tanya Gabriel, sedang Aziel hanya menggedikkan bahunya karena ia memang tak memahami dengan pasti bagaimana perasaan Elle.
"Ell ..., who did that?"
"I don't know."
"Tenanglah, kami bersamamu ...! Apakah Uncle Axton dan Aunty Shanee mengetahui hal ini? Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" Gabriel mendekati Elle, lalu mengusap air mata gadis tersebut.
Beruntung saja, rumah tersebut sedang sepi sebab Shi Ren pun tengah keluar untuk berbelanja dan Elle hanya sendirian di sana. Jadi, kalaupun Elle memang menyembunyikan fakta itu, bisa dipastikan, sekarang mereka masih aman.
"Ini rahasia yang tidak diketahui ayah dan ibuku. Tapi aku sangat ceroboh kali ini," jawab Elle, dengan kepala yang tertunduk. Mereka, kemudian membantunya mendudukkan diri di bibir kasur.
"Katakan Elle, apa kamu mau mempertahankannya?" tanya Joanne, dengan suara yang getir. Mendengar itu, Elle pun terdiam.
"Apa aku punya pilihan? Mempertahankannya atau tidak, nyawaku tetap dipertaruhkan, kan? Kalian juga mengerti aku seperti apa—aku ..., aku tak akan tega melakukannya. Tapi ..., aku benar-benar takut tak akan sanggup melakukannya. Aku takut tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku. Aku takut membuat kecewa dan sedih orang-orang terdekatku atas kabar ini. Aku takut tak bisa meraih mimpiku. Aku takut ini akan memengaruhi masa depanku. Aku takut ..., takut sekali!" Elle menutup wajahnya, kemudian menangis tersedu-sedu. Celine pun membawa gadis itu ke pelukannya. Ia mengucapkan kata-kata penenang bagai seorang ibu yang ingin meyakinkan anaknya, bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja.
"Kami mengerti. Apa pun yang terjadi, yakinlah bahwa kami akan selalu ada bersamamu. Kamu ... juga harus yakin kepada dirimu sendiri. Kamu pasti mampu. Kami akan mendukungmu apa pun keputusanmu," tutur Celine dengan senyum tipis yang sangat jarang terlihat itu.
"Jangan segan meminta bantuan kami," kata Gabriel.
"Mulai sekarang, aku akan melindungimu, selalu! Aku tak akan membiarkan hal seperti ini terjadi lagi!" Joanne mengepalkan tangannya dengan erat. Dipandanginya wajah sendu Elle dengan berapi-api.
"Tuan Putri, aku akan menjadi pelipur laramu. Aku bisa membuatkanmu seribu syair cinta asal kamu bisa kembali tersenyum," sambung Aziel.
Elle, kemudian tersenyum sambil mengusap air matanya. Ia tahu ini. Ia tahu, ia memiliki sahabat-sahabat yang sangat menyayanginya. Ia tahu, mereka tak akan meninggalkannya dalam kondisi apa pun.
"Kalau begitu, bantu aku menyembunyikan ini ... semampu kita," pinta Elle. Wajahnya yang sedang tampak berduka, justru membuat teman-temannya ikut terluka.
"Aku akan membantumu. Bahkan, jika kamu mau, aku bisa membawamu pergi dari sini," kata Gabriel. Yang lain, kemudian ikut mengangguk, termasuk Celine yang sebenarnya sedikit merasa ragu.
Kelima remaja tersebut, kemudian mulai menyusun rencana seadanya berdasarkan pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya yang memang masih belum seberapa itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Glenca
teman tapi mesra
2023-02-27
1
I am girl 🌹
ceritanya juga nyelipin ingpo. maacih thor
2023-02-27
1