The Melody Tells

The Melody Tells

Hujan di Bulan Agustus

Bulan Agustus di Australia bagian utara, amat berbeda dengan bulan Agustus di Indonesia. Jika di sana teriknya matahari tengah membakar kulit penduduknya, maka di sini, musim dingin tengah menunjukkan eksistensinya. 

Saat ini, hampir keseluruhan Kota Darwin telah dibasahi oleh banyaknya tetesan air yang turun sebab adanya hujan monsun. Angin kencang dan halilintar yang menyambar-nyambar, menjadi pertanda akan tibanya badai. Seolah tak cukup, atmosfer dingin pun menjadi penguat atas betapa mencekamnya suasana masa ini.

Di sana, di depan sebuah bangunan berukuran besar, seorang gadis tengah berdiri sendirian. Sebuah jaket tebal yang dilengkapi dengan beanie hat menyelimuti tubuh kurusnya yang kedinginan. Ia terdiam sambil berharap akan ada taksi yang mau berhenti untuk mengantarnya pulang.

Nyatanya, cuaca sedang tak baik-baik saja. Bureau of Meteorology, bahkan menyatakan, bahwa Kota Darwin akan kedatangan sebuah badai dengan kecepatan yang diperkirakan sebesar 37 knot. Di saat seperti ini, rasa-rasanya hampir mustahil menemukan kendaraan umum yang masih mau beroperasi.

Elle menatap ponselnya yang kehabisan baterai dengan pandangan sebal. Gadis itu tengah meneduhkan diri di bawah sebuah halte. Ia sungguh menyesal karena menolak ajakan guru pembimbing ekstrakulikulernya yang sempat menawarkan kepadanya sebuah tumpangan. Kini, lihatlah bagaimana mengerikannya pemandangan sekolahnya yang telah sepi.

Jarak rumah dan sekolah Elle, sebenarnya cukup jauh. Orang tua Elle, cukup sering mengantar remaja itu untuk pergi ke sekolah; namun atas inisiatifnya sendiri, kerap kali Elle lebih memilih untuk menumpang kendaraan temannya atau naik kendaraan umum demi tak menyusahkan kedua orang tuanya yang memang sibuk bekerja.

Untuk saat ini, Elle hanya berharap ada seseorang yang bisa menolongnya. Apalagi ia tahu, di tengah hari seperti ini, ayah dan ibunya sedang berada di fase benar-benar tak bisa diganggu. Ada pula keempat sahabatnya yang pasti tengah menikmati jatah pulang pagi mereka dengan bergelut di balik selimut masing-masing.

'JDAR!'

'JDAR!'

'JDAR!'

Petir menyambar puncak gedung sekolah Elle selama tiga kali berturut-turut. Ekspresi perempuan muda itu pun, kini sudah berubah menjadi tak karuan. Ia ketakutan karena hanya sendiri di tengah cuaca buruk seperti ini.

Elle sungguh mengutuk kegiatan ekstrakurikuler tata busananya yang tiba-tiba dihentikan karena kondisi atmosfer yang mengkhawatirkan. Sebenarnya, tadi, Elle mempunyai sekitar sebelas teman; namun keseluruhan dari mereka sudah pulang hingga menyisakan dirinya seorang. 

Elle pun mengutuk keteledorannya yang lupa mengisi ulang baterai handphone-nya semalam. Ia sungguh mengutuk kesialannya sendiri di hari ini.

"Kalau cuaca sedang tidak ada badai seperti ini, sungguh aku tidak masalah kalau harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah," gumam Elle. Gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya, lalu berdecak sebal. "Menunggu sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Namun berada di sini saat cuaca buruk juga tidak aman," keluhnya.

Elle pun mengembuskan napasnya dengan pasrah sambil mengedarkan pandangannya ke sana dan ke mari. Sekolahnya ini, memang berada di lokasi yang tak terlalu padat dengan penduduk, sehingga wajar dalam keadaan seperti sekarang, suasana benar-benar menjadi sepi.

Elle menadahkan tangannya untuk menerima tetesan tirta yang berjatuhan dari dirgantara. Gadis itu kemudian meringis karena sadar bahwa kemungkinan besar, hujan tak akan mereda dalam waktu dekat ini. Ia, kemudian memandang ke sebuah rumah kecil yang berdiri kokoh di hadapan bangunan sekolahnya yang telah terkunci.

"Di sana terlihat aman," bisik Elle. Ia tersenyum ketika mendapatkan sebuah harapan dari sebuah rumah yang katanya sudah tiga tahun tak berpenghuni itu. Meskipun banyak temannya yang bilang bahwa rumah itu berhantu, namun Elle tak pernah percaya pada hal semacam itu. Perempuan berusia 17 tahun itu pun, bergegas saja mengeratkan jaket tebalnya, lalu berlari kecil menuju bangunan yang hanya berukuran 7 x 7 meter tersebut.

Mata Elle tampak berbinar ketika ia mendapati bahwa bangunan itu terbuka sedikit pintu masuknya. Ia telah menemukan tempat yang lebih aman sebagai tempatnya berlindung dari badai yang mungkin akan datang tak lama lagi. Akan tetapi, baru saja ia mau masuk, dalam sekelebat, sebuah tangan telah menariknya terlebih dahulu.

"Ah!" Elle memekik kaget, lalu menatap sosok yang menariknya itu. Rupanya, ia seorang pria bertubuh kekar dengan kulit kecoklatan khas lelaki Asia. Gadis tersebut bergidik ngeri ketika melihat sorot tajam dari sepasang mata beriris dark brown tersebut.

"K—kamu …—" Elle meneguk ludahnya kasar dengan kerongkongan tercekat ketika menyadari bahwa lelaki itu telah mengungkung tubuhnya yang kurus. Wajah mereka sangat dekat. Dalam sesaat Elle pun merasa tak asing dengan sosok yang sepertinya sedang mabuk itu.

"K—kamu mabuk?" tanya Elle, pelan. Ia menatap takut pada manusia yang penampilannya tampak sangar itu. Elle pun masih ingat kata orang-orang di sekitarnya, yang mengatakan bahwa dekat-dekat dengan seseorang yang berada di bawah pengaruh alkohol akan amat berbahaya. Mereka kehilangan kemampuan mengontrol dirinya sendiri, sehingga ada banyak kejahatan yang menanti untuk mereka lakukan.

Elle masih ingat ketika empat tahun lalu, kakaknya Devano datang kepadanya dalam kondisi kacau balau. Pria itu bilang kalau dirinya sedang mabuk, lalu menangis tersedu-sedu karena kisah cintanya yang menyedihkan. Elle yang saat itu tak paham, hanya diam sambil menatap bingung ke arah Devano. Ketika itu, satu hal yang paling dia ingat adalah aroma menyengat yang tercium dari mulut kakaknya itu; dan itu sama persis dengan aroma milik pria di hadapannya sekarang.

'Aku harus menjauh. Kakak ini, pasti sedang mabuk,' panik Elle. Gadis itu bergegas mendorong sang pria, namun gagal karena tenaganya yang kalah besar. 

Sang lelaki kembali menarik Elle, dan dalam sekejap, bibir keduanya telah menyatu. Remaja tersebut pun meronta karena menyadari alarm bahaya yang berbunyi semakin keras di instingnya. Namun, buah dari usahanya, nyatanya hanya sebuah kesia-siaan. Pada akhirnya, ia hanya bisa melewati saat-saat mengerikan itu dengan meloloskan banyak cairan bening dari matanya.

...««« KEDIAMAN ELLE »»»...

"Sir! Mrs!"

Seorang wanita paruh baya tampak kepanikan ketika berhadapan dengan dua majikannya yang tampak kelelahan sehabis pulang kerja. Bulir-bulir keringat menetes deras dari dahi perempuan yang berstatus sebagai asisten rumah tangga tersebut.

"Ada masalah, Shi Ren?" tanya seorang lelaki yang wajah tampannya tak tergerus oleh usia. Ia bersama seorang wanita di sampingnya pun memandang ke arah tangga, di mana putri mereka berdua biasanya terburu-buru turun ketika tahu kedua orang tuanya telah pulang.

"A—ada masalah. Nona Elle belum pulang. Padahal, seharusnya Nona sudah pulang sejak lima jam lalu," kata Shi Ren, panik. Wanita tua itu menunduk dalam dengan penuh penyesalan.

"Tenanglah. Elle, mungkin saja sedang bersama teman-temannya," tutur sang pria, dengan tenang. Mendengar itu, sontak saja, sosok wanita di samping pun menginjak kakinya dengan kejam.

"AXTON!"

"SHANEE!"

Axton meringis ngilu sambil menatap kakinya yang kesakitan. Sosok wanita bernama Shanee itu, menatapnya dengan tajam. Pria itu ingin protes, namun setelah melihat ekspresi istrinya itu, ia membatalkan niatnya dan lebih memilih untuk diam.

"Firasatku tak enak sedari tadi," jelas Shanee. Wanita paruh baya itu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang dirapatkan.

"Shanee …." Axton yang melihat kekhawatiran istrinya pun mencoba menenangkan. Lelaki tersebut memeluk wanitanya dengan erat sambil mengelus-elus bahunya. "Elle akan baik-baik saja," tukasnya.

"Kita harus mencarinya!"

"Tentu!" 

Axton menatap ke arah jendela, di mana hujan masih tak mau berhenti dengan aktivitasnya. Dengan perlahan, ia membawa Shanee untuk mendudukkan diri di atas sofa. Pria itu tahu, sekuat apa pun wanitanya itu, ia akan lemah jika sudah berurusan dengan putri mereka, Ellea Jovanka Lin.

"Aku akan menghubungi teman-teman Elle. Lebih baik, kamu duduk di sini dulu. Tenangkan diri dan beristirahatlah …!" kata Axton. Pria itu mengembuskan napasnya, lalu beralih menatap Shi Ren yang tampak menunduk. "Siapkan makanan untuk kami," perintahnya.

"AKU TIDAK MAU MAKAN JIKA ELLE BELUM KEMBALI!" Shanee membentak. Wanita itu menatap pintu rumah dengan mata yang memerah, berharap putrinya segera pulang.

"Jangan bersikap kekanakan, Shanee …! Kamu bukan anak kecil lagi. Mogok makan tidak akan menyelesaikan masalah. Elle akan sedih jika kamu sakit karena mengkhawatirkan dia," balas Axton. Pria itu tetap mencoba untuk berkepala dingin.

"DIAM! Kamu tidak mengerti, Axton …!" Shanee meringis sambil menatap tajam suaminya. Sungguh, ia benci ketika lelakinya itu hampir tak pernah menampakkan emosinya di situasi apa pun. Bukannya pria juga manusia yang memiliki perasaan? Tapi kenapa ada banyak pria di dunia ini yang lebih suka menyembunyikan perasaannya, lalu merasa bahwa mereka kuat karena itu?

"Aku memang tidak mengerti. Kamu yang paling mengerti perasaanmu sendiri. Kamu lebih mengerti mengenai rasa daripada aku, karena itu kamu juga bisa melakukan banyak hal dengan lebih baik daripada aku," tegas Axton. Sudah berulang kali lelaki itu mengembuskan napasnya. "Ketika anakmu sedang dalam masalah, jadilah Shanee seperti Shanee yang kukenal. Kamu wanita yang bisa berpikir logis, Shanee …!" jelasnya.

Shanee tampak terdiam. Dengan napas yang mulai stabil, ia menatap ke arah jam. "Aku tak bisa diam jika putriku menghilang tanpa kabar," tuturnya. Axton yang mendengar itu pun tersenyum.

"Lakukan apa pun untuk menenangkan perasaanmu," kata Axton. Lelaki itu ikut mendudukkan dirinya di samping sang istri, sambil menatap ponsel pintarnya yang tertera nama-nama teman putrinya di sana.

"Kamu yang menyimpan seluruh nomor ponsel teman Elle. Aku hanya menyimpannya sebagian," tutur Axton. Shanee pun mengangguk dan segera mengambil ponselnya, lalu dengan cekatan menelepon satu persatu teman putrinya.

Langit senja berwarna jingga kemerah-merahan

Merah, seperti warna cinta

Langit siang berwarna biru

Seperti perasaanku, tanpamu

Yang dirundung pilu seusai kepergiamu

Oh, kekasihku …, sungguh aku merindukanmu

Shanee dan Axton mengerutkan keningnya aneh setelah mendengar syair itu. Nama pelantunnya adalah Aziel Brown, sepupu Gabriel Brown. Mereka berdua sama-sama teman terdekat Elle. Pelawak handal yang selalu bisa mencairkan suasana.

"Aziel …, syairmu? Astaga …!" Shanee membuka mulutnya dengan syok. Axton, bahkan terlihat lebih parah dari istrinya. Pria setengah baya itu mematung, tak menyangka kalau putrinya bisa mendapatkan teman semacam Aziel ini.

"Bukankah itu terdengar indah, Nona Bunga? Seperti kisah cinta putri-putri di negeri dongeng," katanya, dari seberang sana. Beruntung, kedua manusia yang mendengarnya tak menutup telepon saking memuakkannya ucapannya itu. 

"Elle ada bersamamu?"

"Oh, Nona Bunga …, maafkan pangeranmu ini yang tak bisa memberi apa yang kaucari. Cintamu tak bersamaku. Sudikah engkau mencari ke tempat lain? Mungkinkah tanpa kausadari, cintamu telah dicuri oleh dua penyihir jahat itu—Penyihir Every dan Penyihir Kathrina?"

Shanee menggeram, lalu segera menutup teleponnya dengan wajah yang tampak kegelian. Segera saja ia menghubungi teman terdekat Elle yang lain. Sasarannya, tentu saja Celine Every dan Joanne Kathrina, seperti kata Aziel.

Setelah diselidiki, kedua gadis muda itu, ternyata sedang bersama tanpa ada Elle di sana. Gabriel Brown pun juga sama seperti ketiga temannya yang lain yang tidak tahu di mana Elle berada. Shanee dan Axton yang mendengar jawaban itu pun tak puas.

"Kita hubungi teman-temannya yang lain. Wali kelas dan guru-gurunya pun juga. Oh—penjaga sekolahnya sekalian!" Axton memberi saran. Meskipun tadi ia terlihat sedemikian tenangnya, namun tak bisa dipungkiri, bahwa ia juga sama takutnya seperti Shanee. 'Di tengah cuaca buruk seperti ini, dia sendirian,' batinnya. Jiwa kebapakannya meronta.

"Kamu ingat, kemarin Elle bercerita kalau hari ini, dia ada kegiatan ekstrakurikuler. Kamu menyimpan nomor Mr. Jack?" Shanee menatap suaminya. Meskipun keduanya memang sibuk bekerja, namun mereka tak pernah lupa menyisihkan waktu untuk putri kecil mereka. Nyatanya, kegiatan yang terlihat remeh seperti saling bercerita, amat memengaruhi kedekatan ketiganya.

"Guru yang masih muda itu?" tanya Axton, tampak ragu. Setelah melihat anggukan dari kepala sang istri, ia pun bergegas menelepon sosok Mr. Jack itu.

"Halo! Di sini Mr. Jack—ada yang bisa saya bantu?"

"Sir—kami orang tua dari siswi bernama Elle. Apa Anda melihatnya? Bukankah Anda guru pembimbing ekstrakurikuler tata busana yang diikuti Elle hari ini?" Suara Shanee menginterupsi. Dari nada bicaranya, wanita itu terdengar tengah tergesa-gesa.

"Tadi Elle sempat bersama saya. Karena melihat tinggal kami berdua di sekolah, saya menawarinya sebuah tumpangan. Namun, mungkin karena tak nyaman, dia menolak tawaran saya. Ah—is she okay?" 

"Maaf jika kami mengganggu waktu Anda. Putri kami belum pulang sampai sekarang. Jika Anda mengetahui sesuatu, tolong kabari," ujar Shanee.

"Tentu. Saya berharap Elle baik-baik saja."

Setelah sambungan telepon tertutup Shanee dan Axton saling menatap. Kemudian, mereka meminta bantuan keempat sahabat Elle untuk menghubungi teman-teman yang lain selagi mereka turut melakukan hal yang sama. Sayang sekali, hasilnya nihil.

"Akan lebih baik jika aku mencarinya langsung," lirih Axton. Shanee pun menatapnya dengan sorot yang sulit dimengerti. 

"Di luar sedang badai, Axton …! Aku takut jika terjadi sesuatu denganmu di jalan nanti. Aku yakin Elle akan baik-baik saja," kata Shanee. Axton yang mendengar itu malah mengerutkan keningnya tak suka.

"Aku hanya ingin memastikan keadaan putriku secara langsung. Kamu tunggu di rumah. Siapa tahu Elle pulang." Shanee hanya diam ketika tahu ia sudah tak memiliki kesempatan untuk menghentikan suaminya. Lihatlah bagaimana keadaan berbalik sekarang.

"SIAAAL!"

Shanee tersentak sebab mendengar umpatan suaminya yang sudah pergi ke garasi tempat mobil mereka berada. Sontak saja, ia bergegas menghampiri lelaki itu. 

"Mobilnya mogok," jelas Axton, sedang badai semakin mengamuk di luar sana. Ia tak mungkin keluar rumah hanya dengan membawa badan dalam situasi seperti ini. Tetangga terdekatnya pun, sedang keluar kota sehingga ia tak bisa meminjam mobil darinya.

'JDAR!'

'JDAR!'

'JDAR!'

Halilintar terdengar menyambar-nyambar tiada henti. Kuatnya tiupan angin semakin menggila. Tak lama, terjadi pemadaman total di Kota Darwin dan sekitarnya. Pada akhirnya, memang tak ada harapan bagi keduanya untuk menyusul putri mereka.

Shanee dan Axton hanya bisa menunggu. Sangking cemasnya, mereka sampai melupakan makan mereka yang telah disiapkan oleh sang pelayan, Shi Ren. Badai baru berhenti ketika jam sembilan malam telah melintang, namun listrik dan sinyal benar-benar tak ada ketika itu. Ketika akan keluar demi memeriksa keadaan, kehadiran seseorang mengejutkan keduanya.

"Mom …, Dad …!"

Terpopuler

Comments

I am girl 🌹

I am girl 🌹

Lucu tau gak

2023-02-13

1

I am girl 🌹

I am girl 🌹

Waw

2023-02-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!