Pagi itu, mentari bersinar seperti biasanya. Orang-orang memulai aktivitasnya seperti biasa, termasuk Elle yang telah melawati hari-hari buruknya dan mendapat kembali motivasinya.
Tujuh pekan telah berlalu sejak kejadian nahas itu. Elle sudah lebih baik dari saat-saat itu. Gadis tersebut, sudah mulai bisa mengontrol emosinya kembali.
Meski sikap Elle terasa berbeda dari sebelum-sebelumnya, namun orang-orang terdekatnya sendiri, memilih untuk tak terlalu memedulikan fakta itu. Karena selagi Elle mereka masih tersenyum, maka mereka pun yakin bahwa keadaan sedang baik-baik saja.
Hari itu, Elle bersama keempat temannya tengah menikmati hidangan mereka bersama-sama di dalam kantin.
Elle makan dengan biasa dan tenang. Joanne tampak makan dengan gaya yang cepat. Celine makan dengan sangat pelan. Sedang Aziel dan Gabriel, makan sambil bercanda.
Beberapa detik kemudian, Joanne sudah menghabiskan makanannya. Gadis itu langsung minum dengan tergesa-gesa—membuatnya tersedak dan terbatuk keras, hingga mengejutkan kawan-kawannya, bahkan anak-anak lain di sekitar mereka.
"Hati-hati, Jo ...!" tutur Elle. Ia menepuk-nepuk bahu teman dekatnya sambil menggeleng pelan. "Sudah lebih baikkah?"
Joanne hanya mengangguk sambil mengelus dadanya. Remaja itu, kemudian menyentuh perutnya. Elle yang menyadari itu pun menaikkan alisnya.
"Kenapa?"
"Sakit perut. Aku sedang menstruasi. Tunggu, aku mau ke toilet!" bisiknya, dengan kalimat akhir yang sengaja diperkeras. Gadis itu langsung beranjak dan meninggalkan teman-temannya yang tampak tak begitu peduli. Namun Elle, tampak lain.
Elle memegang perutnya. Ia ingat, ia belum mendapatkan tamu bulanannya. Padahal, itu, seharusnya terjadi sekitar beberapa minggu lalu.
Elle jadi cemas. Pikirannya menerawang.
Beberapa waktu belakangan ini, Elle beberapa kali mengalami mual-mual. Ia pun, bahkan jadi membenci bau durian yang sedari kecil selalu menjadi salah satu buah favoritnya.
Elle menarik napasnya panjang, lalu menahannya. Ia jadi bingung. Hatinya dipenuhi oleh beban yang seharusnya tak dipikirkan oleh remaja seusianya.
Teman-temanku tampak menyadari gelagat aneh Elle. Mereka memandang Elle dengan aneh.
"Tuan Putri, apakah penyihir jahat itu telah menularkam penyakitnya?" Aziel bertanya dengan ekspresi ceria khasnya.
"Perutmu sakit, Elle?" Gabriel menatap sahabatnya dengan khawatir. Mereka semua, kemudian hanya bisa menghela napas setelah Elle memberikan gelengannya.
"Aku hanya teringat sesuatu," sahut Elle. Ia tersenyum tipis, sambil menyoroti satu persatu wajah kawannya.
"Wajahmu jadi pucat," kata Celine. Gadis itu menyipitkan matanya, merasa curiga.
Elle menggaruk pipinya yang tak gatal. Diabaikannya pernyataan sahabatnya itu, lalu dilanjutkannya kegiatan makan dan minumnya. Bahkan, kepalanya pun tengah terasa pening sebab memikirkan masalah mengenai menstruasi tersebut.
Tentu saja, Elle khawatir jika ia benar-benar hamil. Karena selain hal itu akan mempengaruhi masa depannya, ada masa depan orang lain pula yang sedang dipertaruhkan. Ia hanya memikirkan, jika ia benar-benar memiliki anak nanti, anaknya itu akan kekurangan kasih sayang, karena Elle sendiri pun, bahkan tak mengenal siapa ayah anaknya.
Tapi, daripada yang terjadi seperti itu, akan lebih baik jika itu tak terjadi sama sekali. Lagi pula, apa yang dia pikirkan hanya salah satu dari berbagai kemungkinan yang ada. Jadi, belum tentu pula Elle hamil.
'Tapi bagaimana jika aku benar-benar hamil? Lagi pula, kenapa aku baru menyadari ini sekarang? Aku ... takut. Namun, biar bagaimanapun, aku harus tetap memastikannya, kan?' Elle membatin.
Pikiran Elle terasa kacau. Gadis itu, kemudian hanya mengacak-acak makanan di atas piringnya sambil melayangkan tatapan kosong.
Merasa mood-nya telah benar-benar hancur, Elle pun beranjak dari kantin menuju ke perpustakaan. Elle memutuskan, ia akan mencari beberapa informasi di sana.
...««« »»»...
Gadis itu menatap bangunan di hadapannya dengan ragu.
Seragam yang dikenakannya masih lengkap. Tas gendong berwarna navy itu pun masih tersampir di kedua pundaknya.
Setelah turun dari taksi, Elle berdiri dengan jarak sekitar sepuluh meter dari apotek. Demi memastikan kekhawatirannya, ia rela membolos dari kegiatan ekstrakurikulernya di hari Rabu ini. Pun membohongi teman-temannya dengan berkata bahwa ia sedang tidak enak badan, meski sebenarnya, tubuhnya pun terasa sehat-sehat saja meski ia sempat merasa pusing.
Elle mengelus tengkuknya. Tungkainya terasa sulit untuk digerakkan. Meski berat melakukan ini, namun di satu sisi ... ia penasaran.
Ketika jaraknya sudah lebih dekat dengan toko obat itu, rasa bimbang yang begitu besar, tiba-tiba menggerogoti nuraninya. Ia semakin ragu—sangat!
Ingin rasanya Elle memutar tubuh, lalu pergi dari tempat ini. Tapi, ini sudah terlanjur. Ia pun sudah bersusah payah untuk mengumpulkan keberaniannya ini—jadi, tak ada jalan lagi untuk mundur.
'Aku takut ...! Bagaimana jika—'
Elle menggeleng, mencoba menepis pikiran berlebihannya. Tangannya tergerak untuk menampar pelan pipinya sendiri. Kemudian, diembuskan olehnya sebuah napas panjang.
'Jangan takut! Kamu harus mencobanya dulu. Jangan terlalu memikirkan hasilnya—yang terpenting, kamu harus memastikan kebenarannya sekarang,' batinnya.
Elle merasa tubuhnya gemetar. Tiba-tiba saja, kepalanya terasa pusing. Perutnya terasa agak mual. Dalam sekejap, gadis itu tumbang.
Orang-orang yang melihat itu, menatap Elle dengan iba dan khawatir. Di antara mereka semua, seorang wanita dengan sigap langsung mendatangi tubuh Elle yang terkapar di atas tanah, lalu memeriksa denyut nadinya. Sebuah jas putih yang menyelimuti tubuh bagian atasnya, menjadi penanda akan statusnya sebagai seorang dokter.
Dokter perempuan tadi, kemudian menyewa taksi dan dibawanyalah Elle ke rumah sakit terdekat. Setelah sampai, Elle pun langsung ditangani.
Ia berdiskusi dengan seseorang yang merupakan teman dokternya. Beberapa pertanyaan sederhana yang diajukan—seperti bagaimana ia bisa menemukan Elle—pun ia jawab seadanya. Akan tetapi, perkataan selanjutnya dari pria berjas putih itu, justru sangat mengejutkannya.
"Dokter Sandra—saya rasa ... lebih baik, Anda membawa gadis ini ke dokter kandungan," katanya.
Sandra yang mendengar itu pun membelalakkan matanya, lalu menggaruk rambut panjangnya yang tak gatal dengan kebingungan. Tentu, ia bisa memahami maksud lelaki di hadapannya. "Apakah maksudmu ... dia hamil?"
"Periksa saja sendiri." Sandra hanya berdecak sebal mengetahui pertanyaannya, justru dijawab dengan kalimat singkat yang tidak jelas.
Berikutnya, setelah dokter tadi pergi, Sandra pun benar-benar menghubungi dokter kandungan untuk memeriksa keadaan Elle. Namun, mereka harus menunggu beberapa saat mengingat Elle belum sadar dari pingsannya, sedang mereka juga memerlukan keterangan dari gadis tersebut.
"Dia siapamu?"
"Aku tak mengenalnya. aku hanya menemukannya pingsan di depan apotek dan menolongnya." Sandra hanya menjawab sambil tersenyum tipis. Ia menatap tubuh Elle yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit dengan prihatin.
"Jika benar, kasihan sekali—masih muda tapi sudah hamil dan harus memiliki anak. Lihatlah wajah polosnya itu—bukankah menggemaskan? Aku jadi ragu dia melakukan hal-hal semacam itu."
"Bukankah itu hanya praduga?" Sandra menimpali. Wanita itu, kemudian melepaskan jas putihnya, meletakkannya di atas sofa, lalu mendudukkan dirinya di sana dengan tangan yang terlipat di depan dada.
"Memang. Tapi setelah melakukan tes-tes ringan, aku rasa ada besar kemungkinan itu benar," jawabnya.
Sandra menghela napasnya ketika tiba-tiba, tubuh Elle bergerak tak beraturan dengan keringat yang mengalir deras dari pori-pori kulitnya. Wajah gadis tersebut jadi lebih pucat dari sebelumnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Sandra dengan panik.
"TIDAK! JANGAN LAKUKAN ITU! AKU TIDAK MAU!"
Keduanya tersentak mendengar raungan Elle. Mereka, kemudian mencoba menyadarkan gadis itu dan menenangkannya. Namun agaknya, itu tak terlalu berpengaruh besar.
"Dia seperti mengalami trauma," bisik Sandra kepada temannya. Ditatapnya Elle yang wajahnya telah basah oleh bulir-bulir air yang turun dari ujung matanya.
"Tenanglah ...! Ini baik-baik saja. Kamu aman di sini," kata Sandra. "Jadi, siapa namamu?" tanyanya.
Disorotnya Elle yang mulai tenang dan memelankan tangis histerisnya. Ia mengelus lembut surai sang gadis dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.
"Elle. A—apa yang ter—jadi?" Elle memandang bingung sekelilingnya. Ia tahu ini rumah sakit, hanya saja ... bagaimana ia bisa berada di sini?
"Hey ... kamu harus diperiksa. Aku harus memastikan kondisimu dulu. Tapi sebelum itu, pakailah ini." Dokter teman Sandra itu, memberikan beberapa alat pengecek kehamilan. Elle memandang itu dengan ketakutan.
"A—apa maksudnya? Aku ..., aku—" Dengan tubuh gemetar Elle menerima test pack itu. Dengan bantuan dua dokter perempuan tadi, ia pun menggunakan alat itu.
Beberapa saat kemudian, setelah hasilnya keluar, Elle hanya bisa memejamkan matanya sambil menatap dua garis yang tergambar di sana. Diremasnya tiga benda sejenis itu dengan kuat. Ia, kemudian meluruhkan tubuhnya di atas lantai dan memukul-mukul dadanya sendiri. Sungguh, ia takut sekali.
"Elle, sudahkah? Jika iya, cepat keluarlah ...!" Suara Sandra dari luar toilet, segera menyadarkan Elle. Gadis itu bergegas membuka pintunya, lalu memeluk dokter tersebut seketika itu juga.
"Tolong aku ...! Aku takut sekali. Aku ..., aku ..., aku diperkosa saat itu. Aku tak mau hamil. Ini bukan yang aku mau. Ini bukan yang aku harapkan. Bagaimana caranya aku bisa menghadapi ini? Aku masih punya mimpi ...."
Sandra yang mendengar itu pun langsung menatap temannya. Mereka, kemudian membawa Elle ke atas ranjang, lalu memberikan seulas senyum yang menenangkan untuknya. Sandra memegang kedua tangan Elle, sedang temannya mengelus surai sang remaja.
"Kami mengerti. Tak perlu takut. Di sini, kamu aman. Kami akan melindungimu, Elle ...! Katakan jika kamu memerlukan sesuatu—biar kamu menolongmu," kata Sandra, lirih.
"Aku mau pulang. Hanya itu," sahut Elle. Gadis itu mengusap air matanya dengan kasar, lalu memandang kosong ke depan.
"Keadaanmu belum pulih," tegas sang dokter kandungan. Elle yang mendengar itu, memilih mengabaikan. Ia tetap bersikeras dengan kemauannya.
"Mau diantar? Atau kami akan memesankan taksi untukmu. Kebetulan, Dokter Shania sedang tidak sibuk. Maaf, aku ada operasi setengah jam lagi," tutur Sandra.
Shania mendengus pelan, lalu menyorot dalam ke Elle yang tengah termenung. Ia, berlanjut menatap mata Sandra yang ternyata juga tengah menatapnya. Mereka saling memberi kode.
"Aku tahu bukan ini yang kamu harapkan. Hanya saja, tenangkan dulu pikiranmu—baru dipikirkan apa langkah yang mau kamu ambil selanjutnya. Kami yakin kamu bisa melewatinya," ucap Shania. Ia mengusap air mata Elle yang tiba-tiba kembali menetes.
"Sebelum itu, perkenalkan, namaku ... Sandra," tuturnya. "Dengar Elle ..., apa pun yang terjadi, tak ada yang bisa menghalangimu untuk meraih mimpimu. Kalau ada, kamu pasti bisa melewatinya. Jangan biarkan sesuatu itu mengalahkan tekadmu. Kalau kamu takut sendiri, kami bisa menjadi temanmu. Tapi, aku harus segera pergi. Ini kartu namaku. Hubungi aku kalau kamu perlu," sambungnya.
Elle menerima kertas yang diberikan Sandra. Remaja itu tersenyum dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Padahal, keduanya hanya orang asing; tapi Elle malah merasa nyaman dan dilindungi oleh mereka.
Elle, kemudian memandang ke arah perutnya. Wajahnya berubah pias ketika mengingat sesuatu yang tak diharapkan, sedang berkembang di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
✨My Sunshine
pasti sedih sekali jadi Elle. sudah jatuh ketimpa tangga
2023-02-27
1
✨My Sunshine
gak kebayang rasanya
2023-02-27
1