Sudah tiga hari, Zora kembali ke Jogja. Namun tak seperti semua jiwanya ikut pulang. Sebagian hati dan fikirannya masih tertinggal di sana. Terlebih ketika mengingat wajah sang Ayah, saat beliau mengantarnya di bandara. Wajah yang sudah berangsur tuanya, tak mampu membendung air mata, mengiringi kepergian Zora kala itu.
Drrtt... Drtt...
Bunyi ponsel miliknya, membuyarkan lamunan gadis itu.
"Hallo, Nad. Ada apa?" Zora mengangkat teleponnya.
"Apa??... Ayah sakit??" Zora tersentak dengan kabar yang di terimanya.
Di sebrang sana Nadya mengatakan, keesokan harinya setelah mengantar Zora ke bandara. Ayah Hasan di larikan ke rumah sakit dengan kondisi yang sangat kritis.
Di hari ketiganya kini, kondisinya semakin terus menurun. Dan membuat Nadya terpaksa mengabari Zora.
Tanpa fikir panjang. Zora kembali mengemasi barang- barang seperlunya dengan tergesa-gesa. Zora berpamit ala kadarnya pada Tante Adelia yang nampak kebingungan. Apalagi ketika Zora mengatakan, entah kapan dia kembali.
____________________
Selepas landas, Zora di jemput sekertaris Ayahnya yang sudah menunggunya sejak tadi di bandara. Gadis itu berlari menuju rumah sakit, di mana Ayahnya tengah di rawat.
Dengan langkah cepat, ia melewati lorong-lorong rumah sakit. Bahkan langkah kakinya setengah berlari. Dan langkahnya berhenti, kala ia bertemu Nadya yang sedang duduk di kursi tunggu.
"Kamu yang sabar, Ray!" Nadya menepuk pundak sepupunya.
Zora hanya mengangguk terisak. Dan langsung masuk ke tempat dimana Ayahnya terbaring lemah.
Oom Husein dan Tante Soraya yang sedang berbincang pelan di samping pembaringan Ayahnya. Serentak mereka menoleh ke arah Zora seraya tersenyum lebar. Menyambut sosok yang sering di panggil Ayah Hasan dalam igauannya.
"Oom, gimana keadaan Ayah?" Zora bertanya dengan suara parau dan masih terisak.
Gadis itu langsung lemas, melihat kondisi sang Ayah yang lemah dengan selang infus di tangannya. Matanya terpejam, wajahnya pucat. Zora pun tahu, jika ayahnya sedang tidak sadarkan diri.
"Sampai hari ini, belum ada perkembangan yang baik. Masih sama seperti hari kemarin. Dan beberapa kali dalam tidurnya, Ayahmu selalu memintamu untuk tidak pergi" Sahut Oom Husein .
"Mungkin, sakitnya Ayahmu karena rasa takutnya. Takut kau pergi meninggalkannya. Dan mungkin beliau takut, tak bisa lagi bertemu denganmu, Zora. Tapi mudah-mudahan saja, dengan kedatangan mu, Ayahmu bisa pulih dengan cepat dan bisa sehat kembali" Sambung Tante Soraya yang sedari tadi mengelus pundak Zora.
____________________
Sudah empat hari, Zora hampir tidak meninggalkan Ayahnya di ruang perawatan. Kalau bukan karena paksaan dari Nadya dan Tante Soraya yang bergiliran menemani. Mungkin gadis itu sudah lupa makan dan mandi.
Namun kegigihannya menjaga sang Ayah, tidak sia-sia. Sejak datangnya Zora, kesehatan Ayah Hasan berangsur begitu cepat. Beliau hanya menunggu pemulihan saja, untuk benar-benar bisa keluar dari rumah sakit.
Usai menyuapi Ayahnya makan dan menemaninya minum obat. Gadis itu menyuruh Ayah untuk kembali beristirahat
Zora keluar dari ruangan, dimana Ayahnya tengah berbaring. Dan gadis itu menghampiri Nadya yang sedang berbincang ringan. Bersama sekertaris Brian, di koridor rumah sakit
"Mas Brian..." Sapa Zora sambil mendekati keduanya.
"Ya, Nona..." Brian serentak berdiri dan mengangguk sopan.
"Bisa gak, Mas Brian mengurus kepindahan ku ke Jakarta? Yang terpenting kepindahan kuliahku" Pinta Zora yang mantap dengan keputusannya.
Keduanya tersentak kaget dengan keputusan gadis itu yang tiba-tiba.
"Kamu serius, Ray?" Nadya mengguncang bahu Zora, tak percaya.
"Aku serius dengan keputusanku!" Zora tersenyum.
"Tentang izin dari Ibu, aku akan memikirkannya nanti" Sambung Zora sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Hatinya sedikit penat, ketika mengingat larangan ibunya.
Brian segera bangkit dari duduknya. Hari itu juga, pria bertubuh tinggi tegap itu pergi ke Jogja. Untuk mengemban tugas yang di minta Zora.
Keputusan Zora sudah dia pertimbangkan dengan matang. Dan sudah melewati musyawarah dengan Tante Adelia, lewat telepon. Keduanya berjanji, akan saling membela dalam menghadapi kemarahan Ibunya.
____________________
Hari ini, hari pertama Zora masuk kampus baru. Kampus yang disarankan Nadya pada Brian, saat pria itu mengurus kepindahan kuliah sepupunya.
Zora hanya mengangguk saja, apapun saran dari Nadya. Karena dirinya tak ingin di pusingkan dengan urusan kepindahannya. Itulah sebabnya dia menyerahkan seluruh urusannya pada Brian, sekertaris sang Ayah.
Dan Zora meyakini, kalau Nadya memilihkan sesuatu untuknya pasti yang terbaik. Gadis itu sudah mengenalnya sejak kecil. Meski lama mereka tak bertemu, Namun Nadya masih sama seperti dulu. Nadya selalu menjadi yang terbaik, kala Zora menyerahkan segala urusan padanya
____________________
"Silahkan duduk, Zora!" Pak Dosen mempersilahkan Zora untuk duduk. Setelah gadis itu usai memperkenalkan diri.
Zora melangkah ragu ke arah seorang gadis yang duduk sendirian. Sebab gadis itu memasang wajah yang tak bersahabat.
"Maura, bisakah kau berbagi tempat duduk dengan Zora?" Pinta pak Dosen pada gadis tersebut. Karena gadis tersebut tampak enggan untuk menerima Zora.
"Maaf, Pak! Sejak pertama, saya sudah nyaman duduk sendiri. Jangankan berbagi dengan teman baru, dengan teman-teman setiaku pun, aku sudah malas!" Tolaknya dan menutup kalimat dengan tawa meledek.
Seluruh mahasiswa sontak riuh bersorak dan ikut tertawa.
Zora diam mematung. Dia bingung harus duduk dimana.
"Suruh duduk di lantai saja, Pak!" Gadis di belakang Maura menjawab konyol. Dan kembali di ikuti riuh tawa dari teman-teman sekelasnya.
"Ssstt...!! Sudah... Sudah. Jangan berisik!!" Pinta Pak Dosen.
Nadya, apa-apaan ini?!? Kenapa dia menyarankan, kampus seburuk ini.
Sesal Zora dalam hati.
Jadi lo mau, gue di jadiin bahan olok-olokan kayak gini? Awas aja, lo bakal berurusan sama gue, nanti...
Gerutu Zora kesal.
Dan kekesalannya tertuju pada Nadya. Namun orang yang di tuju, tak disampingnya saat ini.
"Araz, bisakah kau menggeser tempat duduk mu?!" Permintaan Pak Dosen beralih pada sosok pria yang lumayan tampan, berkulit putih bersih dan berambut sedikit gondrong, namun tertata rapi.
Dan pria itu sejak tadi tak menghiraukan keadaan sekitar. Termasuk ketika Zora memperkenalkan diri.
Keriuhan yang di timbulkan teman-temannya pun, sama sekali tak di gubrisnya. Pria ini benar-benar tak terbawa suasana. Dia hanya fokus dengan buku yang sedang di bacanya.
"Araz...!!" Ulang Pak Dosen.
Yang di panggil hanya melirik jengah ke arah Zora sejenak. Dan menggeser tasnya. Lalu kembali pada buku yang di bacanya.
Zora pun duduk dengan ragu. Takut si pemilik meja tiba-tiba marah dan mencekiknya.
"Hai, aku Zora..." Zora berusaha membuang canggung dan mengulurkan tangannya.
Araz tak merespon, hanya sekejap ujung matanya melirik tangan Zora. Dan kembali pada bukunya.
Nih, orang dari tadi asyik banget bacanya! Memangnya buku apa yang membuat seseorang bisa membacanya seserius itu?? Jangan-jangan, dia lagi baca buku porno??
Umpat Zora dalam hati.
_____________________
Dia begitu kesal dengan hari pertamanya. Mengingat kejadiannya tadi di kelas. Membuat Zora enggan untuk sekedar mencoba bergabung dengan teman-temannya.
Gadis itu memilih untuk duduk sendiri di kantin.
Mengunyah makanan yang sedikit terasa hambar karena menahan kekesalannya.
"Jadi pindah, rupanya?" Tiba tiba suara Marshall memecah kejenuhan Zora. Dan duduk di sampingnya.
"Hei, kau kuliah disini juga??" Zora sedikit girang. Setidaknya ada orang yang di kenalnya di tempat ini. Dan mungkin bisa sedikit membantu membuang kejengahan di kampus barunya. Mungkin!
"Hah?! ... Jadi kamu gak sadar, Zo? Aku yang duduk di belakangmu lho, tadi!" Marshall mencoba menyadarkan Zora.
Mungkin karena kegerogiannya tadi, membuat Zora tak sempat memandang satu-persatu wajah teman-temannya. Termasuk wajah Marshall. Terlebih, ketika dia sempat mendapat olok-olokan dari teman-teman sekelasnya.
Boro-boro untuk memandang wajah mereka satu-persatu. Yang ada gue ingin mati saja!
"Benarkah...?!?" Zora memang linglung dengan keadaannya tadi.
"Lo udah kenal sama ini anak, Shall??" Tanya seorang pria yang berjalan menghampiri keduanya. Dan memilih kursi yang berhadapan dengan Marshall. Sedang Araz membuntutinya dari belakang.
Perawakan dan style pria tersebut tak jauh berbeda dengan Marshall dan Araz. Entah mereka semacam satu genk, satu kelompok, atau satu grup mungkin?! Entahlah! Zora tak ingin menyimpulkannya terlalu jauh.
Belum sempat bagi Marshall untuk menjawab pertanyaan dari sahabatnya. Zora sudah lebih cepat bereaksi. Dia mencubit pinggang Marshall dan menatapnya tajam. Seakan memintanya untuk tidak mengatakan apa pun tentang dirinya.
Dan Marshall berfikir cepat, memahami reaksi Zora yang spontan. Seraya menahan sakit yang di timbulkan oleh gadis itu.
"Nggak. Kebetulan kita gak kebagian meja yang kosong, kan?! Dan hanya meja ini yang masih mampu nampung kita bertiga" Marshall sengaja berbohong. Dan membuat Zora menghirup nafas lega.
"Gue Ashlan!" Pria tersebut memperkenalkan diri. Dan menaruh nampan berisi makanan yang baru di ambilnya dari kantin.
Sedang pria yang dianggap Zora manusia beku, masih berdiri mengedarkan pandangannya berkeliling. Dan berharap masih ada tempat duduk lain yang bisa dia tempati bersama kedua sahabatnya. Tanpa perlu hadirnya orang lain di tengah mereka.
"Duduk aja! Udah gak ada lagi tempat yang kosong buat kita" Ashlan menatap Araz yang mungkin terusik dengan kehadiran gadis itu.
Dengan jengah, dia pun duduk di hadapan Zora. Dan gadis itu hanya menatap sebal dengan tingkahnya yang angkuh.
Tapi sebentar....
Zora menatap Araz lagi.
Araz tidak lumayan tampan, lho! Tapi dia tampan banget!! Hanya saja rambut gondrongnya itu, menyembunyikan sebagian ketampanannya. Namun justru membuat dia tambah keren dalam sikap dinginnya.
Seketika Zora segera menyadarkan diri dengan kesimpulannya. Berulang kali gadis itu meludah. Menarik kembali kata-kata yang di simpulkannya sendiri, dalam fikirannya tentang Araz.
Tampan dari mana?? Orang kaku dan beku, gitu? Angkuh pula...
Zora bergidik ngilu dengan kesimpulannya sendiri.
Gadis itu meralat kembali kekagumannya pada sosok Araz yang duduk di hadapannya, dengan sikap acuh.
Zora mengganti kata-kata itu dengan umpatan-umpatan gila. Memaki tentang Araz dalam hatinya.
"Kenapa kau terus meludah? Apa makanannya tak enak??" Marshall menyadari gadis di sampingnya, bertingkah aneh.
"Mungkin..." Jawab Zora tak jelas. Dan kembali melahap makanannya.
Zora menikmati makan siang dengan kejengahan di hatinya sendiri. Gadis itu menghabiskan makanannya dalam diam, dan tak lagi bersuara. Meskipun tiga pria tersebut, menemaninya di meja kantin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Siska Awet
lanjut thor
2021-04-22
2
Xshisy
likel
2021-03-13
2