Empat hari sudah, Zora berada di rumah Ayahnya. Hari-hari yang dilaluinya terasa begitu cepat dia lewati disana.
Dan selama itu pula, Ayah Hasan Ar-Rasyid meliburkan diri dari pekerjaannya. Semua demi waktu berharganya bersama sang Putri. Hanya sesekali saja Ayah Hasan menginjakkan kaki ke kantornya, itu pun dengan hitungan menit.
Sore ini, Ayah Hasan mengajak Zora kerumah temannya sekaligus rekan bisnisnya.
"Ayah, kenapa harus membahas pekerjaan di rumah teman Ayah? Kenapa tidak di kantor saja?" Pertanyaan itu di lontarkan Zoraya pada sang Ayah. Saat gadis itu memasuki mobil mewah Hummer H3 warna hitam, milik Ayahnya.
Mobil itu di kendarai Brian yang merupakan sekretaris pribadi Ayahnya. Pria berusia 30 tahun itu membawa kendaraan tersebut melaju sedang, keluar dari rumah megah milik tuannya.
"Selama Zora di sini, Ayah tak ingin meninggalkanmu terlalu lama. Sekalipun itu harus membahas tentang proyek baru. Lagi pula, Ayah sudah terbiasa membahas bisnis di meja makan" Jawab Ayah Hasan dengan telapak tangan yang tak lepas dari kepala putrinya. Hampir sepanjang perjalanan, beliau terus mengelus rambut Zora.
Zora terus tersenyum dengan perlakuan sang Ayah yang mengharukan. Dan gadis itu lebih terharu lagi, ketika Ayah bercerita, tentang alasannya yang memilih untuk tidak menikah lagi.
Alasan yang mungkin di pandang sebagian orang tak masuk akal. Sebab bagaimana bisa, Ayah Hasan memilih hidup sendiri selama ini hanya karena takut rasa rindu dan rasa sayangnya pada Zora terbagi dengan istri barunya.
Apalagi jika di kehidupan barunya nanti, mungkin sang Istri menginginkan anak darinya. Sudah pasti, kasih dan sayangnya akan terbagi kesana kemari.
Alasan yang terdengar seperti dirinya tak memiliki pendirian saja. Namun dengan alasan itu, membuat Zora mengharu biru. Dan begitu mengagumi cinta sang Ayah yang hanya untuknya.
Berulang kali hati dan fikiran gadis itu meminta agar dirinya tak kembali ke Jogja. Dan menetap bersama sang Ayah. Menemani beliau dalam hari-harinya.
Namun jelas itu bukan prinsip Zora untuk mengingkari janjinya pada sang Tante. Gadis itu bukanlah seorang pecundang yang akan kalah dengan keegoisannya.
Dan alasan Zora tidak mengarah pada segala fasilitas mewah yang dimiliki Ayahnya. Apalagi harus mengarah pada harta sang Ayah yang tak pernah ia ketahui jumlahnya.
Namun apa pun alasan gadis itu, tetap saja dia tak bisa mengingkari. Bahwa dirinya memang cikal bakal menjadi pewaris tunggal dari sang Ayah.
Berbicara tentang fasilitas mewah. Zora sudah cukup kenyang dengan kemewahan yang dimiliki Sarlan, Ayah sambungnya di Surabaya. Memang sebanyak apa pun kekayaan Ayah sambungnya, dia bukanlah pewaris mutlaknya.
Tapi bukan itu tujuan Zora. Alasan gadis itu lebih ke perasaannya sebagai anak. Ia ingin menemani sang Ayah di masa tuanya. Apalagi Ayah hanya hidup seorang diri, tanpa pendamping baru.
Meskipun Ayah Hasan memintanya untuk pindah, hanya sekali beliau ucapkan. Yaitu ketika mereka sarapan pagi tempo hari.
Namun gadis itu memikirkannya hingga berulang kali. Mungkin saja, Ayah takut akan terkesan memaksa, jika beliau memintanya terus berulang. Dan itu akan mengusik ketenangan batin putrinya. Ayah tak ingin merusak segalanya. Beliau akan membiarkan semua berjalan natural, bagai air yang mengalir.
Namun bagi Zora, itu seperti sebuah permohonan yang tersirat di balik tatapan mata sang Ayah yang begitu kesepian. Hingga gadis itu terus berfikir ulang, tentang kepindahannya ke rumah sang Ayah.
____________________
Lama Zora tenggelam dalam lamunannya. Hingga ia tak menyadari, mobil yang membawanya telah berhenti di halaman rumah berlantai tiga dengan design minimalis menawan.
Si pemilik rumah keluar, menyambut tamu yang di undangnya. Dan sang Istri ikut mengekor di belakangnya dengan senyuman ramah yang menghiasi wajah cantiknya. Meskipun wanita paruh baya itu tidak menyembunyikan usianya, namun kulit wajah cantiknya nampak sehat dan terawat.
"Apa benar, ini Zora putrimu? Apa kabar, Nak? Kau sudah besar dan sangat cantik!" Sapa Oom Riyadhi Arshad pada Zora yang sedang menyalaminya dan juga sang Istri dengan santun.
Oom Riyadhi Arshad merupakan salah satu teman baik dari Ayah Hasan. Juga sebagai salah satu rekan kerja Ayah yang entah berapa jumlahnya.
Zora hanya tersenyum dan mengangguk menanggapinya.
"Iya, kau benar! Putriku tumbuh tanpa kita mengetahui perkembangannya" Jawab Ayah dengan suara bergetar, menjelaskan penyesalannya.
"Betul. Sayang sekali kita tak menyaksikan itu semua. Tau-tau dia sudah besar dengan begitu baik dan cantik" Sambut nyonya Riyadhi tersenyum, seraya merangkul Zora. Lalu mempersilahkan masuk kepada para tamunya.
Sang pemilik rumah menyambut kedatangan tamu kehormatan sekaligus sahabat karibnya dengan jamuan makan malam sambil membahas proyek baru yang akan segera terwujud.
Tak jarang, candaan ringan mengisi percakapan itu. Terkadang di warnai gelak tawa yang saling bersahutan. Bahkan Zora ikut tertawa, kala gadis itu menyimak pembicaraan para orang tua yang ada di meja makan. Hingga ia tak menyadari hadirnya seorang pria muda, tampan dan stylish sudah berdiri di dekatnya.
Pria itu menyalami Ayah Hasan dengan santun. Tak lupa, dia juga menyalami Zora.
"Marshall..." Ucap pria itu di sela jabat tangannya dengan Zora.
"Zoraya..." Sambut Zora dan tersenyum simpul.
"Ayo makan dulu, Nak!" Ajak nyonya Riyadhi pada anaknya yang baru pulang, entah darimana.
Dua keluarga itu melanjutkan makannya dengan perbincangan hangat. Sedang kedua anak muda tersebut hanya bisa menyimak perbincangan dari para orang tuanya saja. Mereka terlalu canggung untuk ikut nimbrung.
Acara makan-makan pun telah selesai. Saatnya mereka mengarah ke perbincangan yang lebih serius, yaitu pembahasan tentang proyek barunya.
"Masrshall...!" Sapa Oom Riyadhi pada anaknya.
"Ya..." Marshall mengangkat kepalanya menghadap sang Ayah.
"Bisakah kau temani Zora? Untuk sekedar mengobrol, atau keliling-keliling taman belakang. Anggap saja sebagai perkenalan. Ayah khawatir dia bosan kalau harus menunggu Oom Hasan di sini" Pintanya pada sang Anak.
Dengan sigap, pemuda berkulit putih bersih itu mengangguk, tanda mengerti. Lalu mengajak Zora ke taman belakang.
Marshall membawa gadis itu dan berhenti di dekat kolam ikannya yang berhiaskan air mancur dengan tema tebing alam menawan.
"Sudah lama disini?" Tanya Marshall membuka percakapan dan duduk di kursi rotan yang tak jauh dari kolam kecil itu.
"Baru empat hari. Dan lusa, aku harus sudah kembali ke Jogja" Sahut Zora seraya ikut duduk di kursi yang lain. Gadis itu berusaha akrab untuk membuang rasa canggungnya.
"Gak kefikiran gitu, untuk tetap bersama Oom Hasan di sini??" Tanya Marshall lagi.
"Kasihan lho! Oom Hasan gak ada temennya di rumah. Dan gak ada yang mengharapkan kepulangannya, setelah lelah seharian bekerja" Saran Marshall yang seakan mengerti keadaan rekan Ayahnya.
"Apalagi usia Oom Hasan sudah tidak muda. Sudah selayaknya ada penerus yang akan menggantikannya, suatu hari nanti" Sambung Marshall yang seakan sedang menceramahi teman yang sudah begitu lama di kenalnya. Padahal perkenalan mereka, hanya berlangsung baru beberapa menit lalu.
Andai kedua orang tua Zora tak bercerai, sudah pasti mereka akan menjadi sahabat sejak kecil.
"Aku masih memikirkannya. Jujur, aku pun ingin banget tinggal sama Ayah. Menemani beliau di masa tuanya. Anggap aja, untuk mengganti masa dulu yang terlewati karena kami lama berpisah" Ungkap Zora melemah.
"Lalu apa lagi yang kau pertimbangkan, Zo? Temani Ayahmu di sisa usia tuanya!" Saran Marshall seakan Zora, adalah teman baik yang sudah lama ia kenal.
Zoraya tersenyum seperti mendapat kekuatan dan keyakinannya. Namun apapun pilihannya, lusa dia harus sudah pulang ke Jogja, sesuai janjinya. Agar beban Tante Adelia tidak terlalu berat.
Lama Zora dan Marshall bercengkrama, dengan obrolan yang mulai asyik. Layaknya sepasang sahabat yang sudah lama saling kenal.
"Zora... Ayo pulang, Nak! Sudah malam!" Suara Ayah Hasan menghentikan tawa kedua anak muda tersebut.
Keduanya menoleh kearah sumber suara.
"Baik, Ayah" Patuh Zora dan berdiri dari kursinya.
"Marshall, aku pulang ya!" Pamit gadis itu pada teman barunya.
"Ok. Hati-hati, Zo!" Marshall melambaikan tangan. Melepas kepergian Zora dan Ayahnya.
"Marshall, terima kasih sudah menemani Zora!" Ucap Ayah Hasan dan pamit pulang.
"Dengan senang hati, Oom!" Ujar Marshall mengangguk sopan.
Kembali pria muda itu melambaikan tangannya lagi, melepas tamunya pergi.
Setelah berpamitan dengan sang pemilik rumah, Zora dan Ayahnya meninggalkan rumah tersebut dan pulang menuju rumahnya. Karena waktu yang sudah menunjukan jam sepuluh lewat malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Xshisy
aku mampir thor
2021-03-13
1