"Saya melihat ... ada kesamaan antara wajah Anda dan Firyanda. Mulai dari bola mata, alis, hidung, bibir, semuanya." Kozi mulai mendikte pemuda itu. Sejak melihat Liem di depan ruang rawat Firyanda tadi, ia seolah sedang menemukan solusi dari masalahnya.
DEG DEG DEG
Liem sungguh tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh lelaki yang mengaku sebagai manajer Firyanda itu, sehingga membuatnya berkerut dahi begitu dalam. Kedua matanya tampak menyipit.
"Kami ingin menawarkan Anda kerjasama," lanjut Kozi setelah beberapa jenak terdiam. "Anda bisa mendapatkan keuntungan besar dalam hal ini," ucapnya lagi memperjelas.
"Maksud, Anda?" Liem semakin terlihat tolol di hadapan orang-orang itu. Yang tentu saja, saat ini sedang tersenyum ke arahnya.
"Kami ingin menawarkan Anda untuk menggantikan posisi Firyanda sementara waktu, selama dia dalam masa vegetatif."
GLEK
Menggantikan posisi?
Liem masih belum memahami situasi. Bagaimana ia akan paham, siapa Firyanda Dwinthara saja ia tidak tahu.
"Ini profil Firyanda." Kozi langsung menyerahkan sebuah tablet pintar pada Liem.
Pemuda itu langsung menerimanya. Dalam sekejap, benda pipih berukuran sepuluh inchi dengan layar menyala itu pun berpindah tangan.
Setelah melihat foto Firyanda dan tertera di layar tablet, Liem tampak tersentak bukan main. Pasalnya, saat menyelamatkan pria itu, Liem tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Apalagi, kondisi Firyanda saat itu sedang bermandikan darah, luka lebam, dan juga luka sobek.
Sebelum melanjutkan bacaannya pada profil Firyanda, Liem sempatkan diri untuk menatap penuh tanya ke arah Kozi.
"Sudah kukatakan, kalian memang mirip." Kozi mengangguk seraya merespon tatapan Liem yang seolah butuh konfirmasi verbal.
Mendengar hal itu, Liem kembali menundukkan pandangan dengan kondisi mata yang masih terbuka lebar.
Baris demi baris kalimat yang tertera di layar tablet itu mulai dibacanya dengan saksama. Dari situlah Liem mulai mengerti tentang tawaran yang baru saja diajukan oleh Kozi.
Seraya membenarkan posisi kacamatanya, pemuda dengan predikat culun itu lantas mendongakkan pandangan, setelah bacaannya telah mencapai barisan akhir.
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa menerima tawaran Anda." Liem mengembalikan tablet pintar itu pada Kozi seraya memberikan tanggapan.
Kozi dan Galih lantas saling pandang. Tentu saja, keduanya tidak habis pikir. Ternyata, masih ada orang yang tidak mau diajak hidup enak.
Sementara petugas kepolisian itu hanya tersenyum sambil merunduk.
"Saya rasa, urusan saya di sini sudah selesai. Saya permisi dulu," ucap Liem seraya berdiri.
Tanpa menunggu tanggapan dari orang-orang asing yang baru dikenalnya itu, Liem langsung meninggalkan kantin rumah sakit.
Sesampainya di parkiran.
"Hei, Culun, tunggu!"
Merasa mengenal gelombang suara itu, Liem lantas membalik badan. Helm yang hampir saja menelan kepalanya bulat-bulat, kembali dikaitkan pada kaca spion.
Anjia ... dengan langkah tergopoh menghampiri pemuda culun itu.
"Kau mau meninggalkanku?" tanya gadis tomboi itu dengan mata menyipit karena sengatan teriknya cahaya matahari. Sebelah tangannya refleks menutupi mata dari atas, sementara yang satunya lagi berkacak pinggang setelah tubuhnya berdiri tepat di depan Liem.
Liem tampak meringis seraya menggaruk kepala bagian belakangnya. "Aku kira kau tidak perlu tumpangan lagi," jawab pemuda itu sekenanya.
Jujur, tadinya ia sudah lupa bahwa sebelumnya telah membawa Anjia ke rumah sakit itu. Lagi pula, gadis kaya seperti Anjia tidak mungkin tidak bisa pulang, walaupun ditinggal begitu saja.
"Ayo!"
Seperti tadi, Anjia langsung melompat ke jok belakang motor Liem. Membuat pemuda itu merasa serba salah. Masalahnya, ia harus segera tiba di kontrakkan untuk menyiapkan barang dagangannya. Mengolah beberapa bahan sebelum dibawa ke lapak gorengan.
"Tunggu apa lagi, Culun?" sentak Anjia.
Tentu saja, hal itu membuat Liem terkejut. Sebab, beberapa jenak pikirannya melayang ke dagangan.
"Baik."
Tanpa mengenakan helm penumpang, Anjia dengan santainya duduk di belakang Liem. Ia tidak menyadari bahwa sedari tadi pemuda itu mencuri pandang padanya.
"Jia--"
"Apa?"
Sudah menjadi kebiasaan, Anjia selalu menyerobot jika sedang berbicara dengannya.
"Apa kau tahu Firyanda?" tanya Liem yang tiba-tiba mengingat tentang sosok yang telah ditolongnya subuh tadi.
"Firyanda?" Anjia tampak berkerut kening. Salah satu telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu seolah sedang berpikir keras. Padahal, tidak separah itu. "Maksudmu Firyanda sang aktor ternama itu?" Anjia balik bertanya untuk memastikan asumsinya.
Ternyata dia tahu.
"Ya." Liem menjawab singkat.
"Aku pernah sekali menonton film-nya. Kenapa?" Dengan nada jutek gadis itu kembali bertanya.
"Tidak apa-apa." Liem tertawa kecil. Nampaknya bukanlah keputusan yang tepat jika ia bertanya pada gadis sombong di belakangnya itu.
"Hehe."
Tiba-tiba Anjia terkekeh kecil.
"Pasti kau ingin bertanya, apa benar wajahmu mirip dengan Firyanda?
GLEK
Seteguk saliva lolos melewati tenggorokan Liem.
Anjia terlalu frontal jika berbicara.
"Beberapa cewek bucin Firyanda di kampus, memang mengatakan hal itu. Tapi, menurutku tidak sama sekali." Anjia membuang muka ke sembarang arah. Diikuti oleh kedua bola matanya yang memutar.
Hal itu bisa dilihat Liem lewat kaca spion. Namun, Liem tak tersinggung sama sekali. Sudah biasa.
"Cewek bucin?" Liem berkerut dahi.
"Fans Firyanda Garis Keras," pekik Anjia di dekat telinga pemuda culun itu.
Untung saja, Liem menggunakan helm. Jika tidak, mungkin gendang telinganya terancam pecah karena suara menggelegar milik gadis itu.
Liem baru tahu, jika di kampusnya ada geng yang bernama Cewek Bucin Firyanda. Ah, jangankan masalah geng, siapa Firyanda saja dia tidak tahu. Cewek-cewek pemuja aktor muda itu memang acapkali mengatakan jika Liem adalah kembaran Firyanda. Namun, berhubung pemuda itu terlalu culun di mata mereka, jadilah hal tersebut seolah menjadi bentuk kehaluan belaka. Buktinya, mereka hanya memandang Liem sebelah mata. Bahkan ada yang dengan terang-terangan memalingkan wajahnya di depan Liem.
Beberapa menit berkendara, akhirnya Anjia meminta Liem menurunkannya di pusat perbelanjaan yang terletak tak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
Belum sempat Liem bertanya tentang bagaimana kondisi kakaknya, Anjia sudah lebih dulu berlari memasuki gedung. Seperti biasa, tanpa ucapan terima kasih.
***
Dengan apron di tubuhnya, Liem mulai membuat adonan. Lengan kemejanya dilinting hingga siku. Kini, kedua tangannya tampak telaten mengaduk, memutar, menggulung, memilin, dan memintal.
Jika dalam pose seperti ini, kacamata tak pernah menemani Liem. Benar seperti yang dikatakan oleh Kozi, dari segi apa pun wajah Liem memang mirip dengan Firyanda. Seperti pinang di belah dua. Namun, yang membedakannya adalah mata teduh pemuda itu.
Firyanda memiliki sorot mata yang tajam. Brewokan juga menjadi ciri khas yang sangat kentara.
Berbeda dengan Liem. Tak ada sedikit rambut-rambut halus pun yang menghiasi rahangnya. Katakan saja, Liem adalah Firyanda versi kalem.
Baiklah, satu setengah jam kemudian, semuanya sudah siap. Liem melepas apron, kemudian membersihkan diri. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ia harus cepat-cepat berangkat ke lapaknya.
Namun, saat ia sedang memasukkan semua dagangan dan beberapa perlengkapan ke dalam keranjang yang di dudukkan pada jok belakang motornya, seseorang tiba-tiba datang bertandang.
"Selamat sore, Tuan Liem."
Mendengar itu, Liem refleks menoleh. Bisa ia lihat Kozi sudah berdiri di depannya dengan senyuman lebar. Sepertinya, lelaki itu tidak akan mudah berputus asa walaupun sudah ditolak.
"Tuan?" Liem menegakkan tubuhnya ketika menyadari siapa yang datang.
Asisten Firyanda itu lantas mendekat dan memerhatikan sepeda motor Liem yang sudah penuh dengan barang-barang perlengkapan dagang.
"Saran saya, sebaiknya terima tawaran kami daripada Anda harus menyibukkan diri dengan semua perkakas ini," ucap Kozi.
Liem terdiam. Orang di depannya ini sedang memberi saran atau mengejek profesi sampingannya?
"Tidak masalah, Tuan. Saya sudah terbiasa." Liem melanjutkan persiapannya. "Ada yang bisa dibantu, Tuan?" tanyanya dengan nada santai sambil berpura-pura menyibukkan diri. Menutupi kekesalan dalam hati, karena Kozi sudah berani membuntutinya sampai kontrakan.
"Sebaiknya Anda baca dulu surat kontraknya, setelah itu baru Anda putuskan." Kozi meletakkan sebuah amplop cokelat lebar di atas meja yang terdapat di teras rumah.
Liem hanya meliriknya sekilas.
"Saya tida--"
"Baca saja dulu!"
Setelah mengatakan hal itu Kozi menepuk pelan pundak Liem, kemudian melenggang dari sana. Meninggalkan Liem yang hanya mematung di tempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 7 Episodes
Comments
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Ngakak.
Gorengan dibayangin terosssss
2023-02-28
3
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Awalnya jual mahal dulu, yak, Liem.
nanti mao tidak mao.
Mak Thor maksa lho bawa cerulit.😁
2023-02-28
5