Usai kelas siang, Liem tidak langsung pulang ke kontrakan. Ada beberapa tugas yang mengharuskannya singgah ke perpustakaan terlebih dahulu. Mencari referensi tentu saja menjadi tujuannya. Jika harus membeli bukunya, Liem rasa bulan ini tidak akan bisa mengirim uang bulanan untuk sang ibu. Harganya terlalu mahal untuk kantong pemuda berkacamata itu.
Saat Liem sedang membolak-balik lembar demi lembar buku referensi, tiba-tiba ponsel di saku celananya bergetar. Untung saja, ia masih menggunakan mode silent. Jika tidak, ia bisa mati diamuk penjaga perpustakaan yang galaknya minta ampun.
Pernah tempo hari, sebelum masuk ke kelas, Liem sempatkan mampir ke perpustakaan. Namun, ia lupa mengubah mode ponselnya menjadi silent. Alhasil, penjaga perpustakaan berjenis kelamin perempuan, spesies tambun itu meradang luar biasa. Tak segan-segan ia memelototi dan mengutuk Liem dengan kalimat pedas level dua puluh. Sejak saat itu, Liem tidak ingin jatuh ke lubang yang sama lagi.
Menjauh dari keramaian, pojok ruangan menjadi spot paling aman. Dirogohnya ponsel yang masih bergetar itu dari saku celana, lalu menerima panggilannya. Walaupun, itu adalah panggilan dari nomor yang tidak dikenal, namun Liem masih mengingat jika hari ini ada seseorang yang sedang bertaruh nyawa di rumah sakit. Terlepas ia tidak mengenal orang tersebut, setidaknya ia masih memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang penolong.
"Halo!" Liem menjawab dengan suara berbisik. Menutupi mulutnya dengan sebelah telapak tangan agar suaranya tidak terdengar oleh pengunjung lain, terutama libarian.
"Apa benar Anda yang bernama Liem?" tanya orang di seberang sambungan.
"Benar." Pemuda itu menjawab singkat.
"Apa Anda bisa ke rumah sakit sekarang?"
Mendengar kata 'Rumah Sakit', Liem langsung menyetujui. Dipotretnya terlebih dahulu halaman buku yang sempat dia baca tadi, sebelum melanting keluar.
Langkah seribu terayun menuju parkiran. Namun, saat hendak memacu kendaraannya, Liem kembali dibuat terkejut karena ulah si cewek tomboi.
Anjia ... dengan rasa tidak bersalahnya, seenak jidat menghentikan mobil di depan motor Liem.
Tentu saja, hal itu membuat Liem tersentak bukan main. Beruntung ekor matanya masih menangkap kelebat warna mobil gadis itu yang memang berwarna cerah. Jika tidak, mungkin tabrakan tidak bisa dihindari lagi. Nasib baik.
"Liem!"
Anjia keluar dari mobilnya, lalu menghampiri pemuda itu dengan wajah khawatir.
Liem masih mengekori pergerakan gadis itu, tanpa ingin angkat suara.
"Plis, kali ini kamu harus bantu aku," ucap gadis tomboi itu dengan kedua tangan bersatu di depan wajah, seraya memasang wajah memelas.
Kemana perginya aura pongah yang biasa dipertontonkannya?
Dahi Liem mengkerut sempurna seolah tidak percaya jika Anjia--Ratu Jutek--yang selama ini dia kenal sok judes, sok jago, dan sok-sok'an yang lainnya, kini mau menurunkan harga diri, hanya demi sesuatu yang belum Liem ketahui kepastiannya.
Melihat hal itu, Liem sontak mematikan mesin motor matic-nya, lalu membuka helm.
"Apa yang telah terjadi?" tanya pemuda itu dengan kedua mata menyipit. Jelas sekali kerutan di pangkal kedua alisnya semakin menebal.
Anjia tak menjawab dengan kata-kata, ia langsung melompat ke motor Liem. Duduk tepat di belakang pemuda itu.
Liem semakin keheranan. Apa gadis itu sudah salah minum obat?
"Ayo, jalan!" Anjia menepuk pundak Liem, mendesak pemuda itu agar segera melajukan motornya.
"Tapi, mobilmu?" Liem bertanya seraya memiringkan wajahnya.
"Biarkan saja, nanti aku akan meminta seseorang untuk membawanya ke rumah," jawab Anjia.
Liem tidak mau ambil pusing. Bagaimana pun ia harus segera ke rumah sakit setelah menolong Anjia.
Tanpa banyak bertanya lagi, pemuda itu kembali mengenakan helm dan menyalakan mesin motor. Dalam waktu singkat, kendaraan roda dua milik Liem berpacu meninggalkan area kampus.
Lima belas menit kemudian, Liem masih mengendarakan motornya dengan kecepatan sedang. Sesekali diliriknya wajah Anjia yang sebentar-sebentar menoleh ke arah belakang.
Liem mulai memahami situasi. Sepertinya gadis itu sedang menghindari seseorang. Apakah benar begitu?
"Sebenarnya kau mau kuantar kemana?"
Akhirnya Liem harus bertanya, karena ia juga mesti ke rumah sakit sesegera mungkin.
"Ke rumah sakit," jawab Anjia dengan kondisi kepala yang masih terus celingukan.
Sebenarnya dia sedang menghindari siapa? Tapi, kenapa ke rumah sakit? Liem membatin sendiri.
"Rumah sakit mana?" Liem kembali menagih konfirmasi. Ia sedikit membesarkan volume suara agar Anjia bisa mendengar pertanyaannya.
"Rumah sakit Bhayangkara." Anjia menjawab seraya menatap pantulan wajah Liem dari kaca spion.
Liem mengangguk setelah kedua netranya bersiborok dengan milik Anjia untuk sesaat.
Kebetulan sekali, rumah sakit yang ingin dituju Anjia adalah rumah sakit yang sama dengan rumah sakit yang akan disambanginya.
Sepuluh menit kemudian, motor Liem terparkir sempurna di pelataran rumah sakit.
Anjia turun perlahan, disusul oleh Liem setelah melepas helm-nya.
"Kenapa kau ikut turun?" Anjia mengerutkan kening setelah melihat Liem juga melepas pelindung kepalanya.
"Aku ada urusan juga di sini," jawab pemuda itu. "Kau?" tanyanya balik.
"Aku baru dapat kabar kalau kakakku masuk rumah sakit." Anjia langsung mengayun langkah seribu setelah mengatakan dialognya, tanpa memedulikan seperti apa ekspresi wajah orang yang sudah membawanya ke tempat itu.
Liem hanya menggeleng pelan. Menjadi sosok yang tidak dianggap oleh orang-orang sekitar adalah sebuah jamuan rutin yang harus diserap hatinya. Hingga kini, perasaannya sudah terlampau kebal. Ia tidak pernah tersinggung akan hal itu.
Kaki dibawa mengayun menuju ruangan di mana Firyanda dirawat. Tadi, orang yang menelponnya sempat memberitahu nomor kamar yang harus ia tuju ketika tiba di rumah sakit.
CEKLEK
Daun pintu dibuka dari dalam bersamaan dengan Liem yang hendak mengetuk pintu. Seorang lelaki yang usianya kira-kira tiga puluh tahunan menatap Liem dari ujung rambut hingga ujung kaki, seraya menutup kembali pintu ruangan. Ada ekspresi terkejut luar biasa di wajah lelaki itu ketika melihat wajah Liem.
"Liem?" tanya lelaki itu.
Liem mengangguk seraya membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit bergeser.
"Ikut aku!"
Lelaki yang merupakan Kozi--manajer Firyanda--membawa Liem menuju kantin rumah sakit. Di mana sudah ada Galih yang menunggu di sana dengan seorang anggota kepolisian.
"Silakan duduk!" Galih mempersilakan Liem untuk menempati kursi yang berada tepat di sampingnya.
Liem mengangguk, lalu mendaratkan bokongnya di sana.
"Kopi?" tawar Galih yang tugasnya memang tidak jauh-jauh dari urusan makanan, minuman, pakaian, dan perlengkapan apa pun yang dibutuhkan oleh atasannya.
"Terima kasih, air mineral saja." Liem memang tidak terlalu menyukai minuman yang mengandung kafein. Namun, jika sudah kepepet, mau tidak mau harus ditelan juga. Dalam kasus ini, ia masih bisa memilih.
Galih beranjak dari duduknya untuk mengambilkan sebotol air mineral dari lemari pendingin yang ada di kantin tersebut. Setelah itu, ia kembali duduk di kursinya.
"Saudara Liem, tujuan kami memanggilmu kemari, untuk mengetahui lebih jelas tentang kronologi bagaimana Saudara menemukan tubuh Firyanda Dwinthara," jelas anggota polisi yang saat ini sedang tidak mengenakan baju dinas.
Kozi sengaja mendatangkan salah satu anggota Reserse Kriminal untuk menyelidiki kasus ini lebih lanjut. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi mereka untuk menemukan siapa sebenarnya dalang dari peristiwa misterius itu.
Liem menegakkan posisi duduknya. Kedua matanya mengerjap ke arah ketiga orang itu.
Oh, namanya Firyanda? cicit Liem di dalam hati.
Sesungguhnya, ia tidak mengenal siapa itu Firyanda Dwinthara. Artis ternamakah? Presiden negara tetanggakah? Atau mungkin sultan di bumi yang tengah dipijakinya? Liem tidak tahu sama sekali.
Rute kehidupannya hanya sebatas kampus--kontrakan--lapak gorengan--pasar. Jadi, ia tidak mempunyai kesempatan walau semenit pun untuk mengurusi masalah televisi dan media sosial.
"Aku Kozi, manajer Firyanda. Dan dia ... Galih--asisten pribadinya." Kozi angkat suara ketika melihat Liem tak juga berucap. Kedua netra pemuda itu hanya bergulir ke arahnya dan Galih. Seolah ada rasa ragu untuk bercerita.
"Identitasmu aman bersama kami. Kami juga akan memberikan pengamanan eksklusif padamu selama penyelidikan kasus ini," ucap anggota kepolisian itu. Berusaha meyakinkan Liem agar tidak lagi merasa ragu untuk berkata jujur.
"Saya tidak tahu-menahu tentang kasus yang Anda bicarakan, Pak. Saya hanya seorang tukang gorengan. Subuh tadi, saya menemukan tubuh pria itu tergeletak di trotoar jembatan saat akan berbelanja ke pasar. Lalu, saya membawanya ke rumah sakit ini," jelas Liem apa adanya. Raut kepanikan mulai merajai durjanya. Ia tidak ingin terlibat dalam kasus apa pun. Tentu saja.
Kozi dan anggota kepolisian itu tampak bertukar pandang. Tampaknya keduanya memiliki pemikiran yang sama. Ditandai dengan anggukan kepala keduanya yang hampir bersamaan.
Kozi lantas berbisik pada Galih. Entah, apa yang sedang dibicarakan oleh lelaki itu, Liem tak ingin terlalu memikirkannya. Dalam hal ini, dia hanya orang luar yang tidak tahu apa-apa. Seharusnya, ia tidak perlu merasa khawatir berlebih.
"Saya melihat, ada kesamaan antara wajah Anda dan Firyanda. Mulai dari bola mata, alis, hidung, bibir, semuanya." Kozi mulai mendikte pemuda itu. Sejak melihat Liem di depan ruang rawat Firyanda tadi, ia seolah sedang menemukan solusi dari masalahnya saat ini.
DEG DEG DEG
Liem sungguh tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh lelaki itu, sehingga membuatnya berkerut dahi begitu dalam. Kedua matanya tampak menyipit.
"Kami ingin menawarkan kerjasama," lanjut Kozi setelah beberapa jenak terdiam. "Anda bisa mendapatkan keuntungan besar dalam hal ini," ucapnya lagi memperjelas.
"Maksud, Anda?"
"Kami ingin menawarkan Anda untuk menggantikan posisi Firyanda selama dia dalam masa vegetatif."
GLEK
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 7 Episodes
Comments
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
sempit kali duniamu, Anak mudah🤣
2023-02-26
2