Silvi bangun dengan semangat di pagi hari itu, karena hari itu adalah hari kompetisinya berlangsung. Dia segera mandi dan berganti pakaian. Tidak lupa juga sarapan meski pun hanya dengan telor dan sayur tapi itu sudah cukup memenuhi kebutuhan nutrisinya.
"Ayah, doakan Silvi menang ya." kata Silvi setelah meneguk air mineralnya. Dengan cepat dia menghabiskan sarapannya.
"Iya, Ayah akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Kamu bawa saja motor Ayah, biar Ayah bareng Tomo. Kebetulan pabrik dia searah dengan kantor." kata Pak Adi. Dia mengusap puncak kepala Silvi dan mendoakan yang terbaik untuk Silvi.
"Iya Ayah. Sebentar Silvi mau ambil tas dulu lalu berangkat." Silvi masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil tas dan ponselnya.
Ada panggilan masuk dari Dion. Buru-buru Silvi mengangkatknya. "Iya, hallo Dion? Ini gue udah mau berangkat. Gue bawa motor sendiri... Iya, tenang saja gue gak bakalan telat. Kita kan peserta nomor dua." Setelah itu Silvi mematikan panggilannya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu memakai tas punggungnya. Kemudian dia melangkah keluar dari kamar.
"Ayah, Silvi berangkat dulu ya." Silvi mencium punggung tangan Ayahnya lalu dia mengambil kunci motor yang ada di atas meja.
"Hati-hati ya. Semoga kamu memenangkan kompetisi itu." Pak Adi mengikuti langkah putrinya sampai depan pintu. Dia melambaikan tangannya seiring kepergian putrinya.
Silvi kini mengendarai motor butut Ayahnya dengan kecepatan standart. Jalanan sangat ramai pagi hari itu. Dia sempat kena macet sebelum pertigaan.
Silvi berusaha menyalip beberapa kendaraan. Dia takut akan datang terlambat jika hanya menunggu sampai macet terurai.
Akhirnya Silvi menghela napas panjang saat dia lepas dari kemacetan. Pandangannya fokus ke depan tapi tiba-tiba dari sisi kanannya ada sebuah motor besar yang menyalipnya dan menendang motor Silvi dengan keras hingga membuat motornya oleng.
"Woy!!" teriak Silvi saat Silvi tidak bisa menguasai lagi motornya. Dia pun terjatuh ke sisi kiri dengan kaki yang tertindih motor.
"Aww, sakit sekali kaki aku." Silvi meringis kesakitan. Dia berusaha menarik kakinya tapi tidak bisa.
Beberapa pengguna jalan segera menolong Silvi dan menepikan motor Silvi ke tepi jalan.
"Mbak tidak apa-apa?"
"Kalau ada yang sakit kebetulan di sini dekat puskesmas."
Silvi melihat jam tangannya. Tinggal 15 menit lagi, dia tidak mungkin memeriksa kakinya terlebih dahulu.
"Saya tidak apa-apa." jawab Silvi. Dia berusaha melangkahkan kakinya tapi terasa sangat sakit.
Dia mengusap pelipisnya yang berkeringat. Bisakah dia sampai di tempat kompetisi itu dengan kakinya yang terasa sangat sakit seperti itu? Sedangkan sepeda motornya saja bukan matic yang hanya bisa dimainkan dengan tangan. Tapi sepeda motor Silvi hanya motor biasa yang memasukkan gigi dengan kaki.
"Mbak beneran gak papa? Coba kakinya dilihat dulu, siapa tahu keseleo." kata salah satu pengguna jalan yang ikut menolong Silvi.
"Tidak apa-apa. Soalnya saya buru-buru." Silvi kembali menaiki motornya. Dia tarik napas dalam. Baru dia angkat kakinya saja sudah terasa sangat sakit.
Aku harus bisa. Ayo, aku gak boleh nyerah.
Silvi akhirnya kembali melajukan motornya meskipun kakinya terasa sangat sakit saat dia gerakkan.
Ya Allah, bagaimana aku nge dance kalau kaki aku sakit banget gini.
Tanpa sadar setetes air mata meleleh di pipinya.
Nggak! Aku gak boleh nyerah! Aku harus bisa!
...***...
"Bagaimana? Berhasil?" tanya Andika lewat panggilan suaranya. Dia memastikan keberhasilan anak buahnya untuk menggagalkan Silvi mengikuti kompetisi.
"Sudah Bos. Kita sudah berhasil membuat Silvi jatuh dan kakinya cidera. Tapi dia masih saja berangkat ke tempat kompetisi."
"Bagus! Kalau kaki Silvi cidera, dia tidak akan bisa maksimal menari. Terus awasi dia sampai di tempat kompetisi. Jangan biarkan dia memenangkan kompetisi itu!"
"Baik bos."
Andika tersenyum miring sambil mematikan panggilannya. Dia memang sangat kejam dan licik.
"Silvi, kamu tidak akan bisa lepas dari aku." Andika bersandar di kursi kebesarannya. Dia sangat menginginkan Silvi. "Body yang bagus, pasti sangat nikmat."
Andika menghela napas panjang. Dia berusaha menepis dulu pikiran kotornya. Ada satu hal yang harus dia lakukan. Dia kini mengangkat gagang teleponnya dan menghubungi sekretarisnya.
"Sonya, tolong panggilkan Pak Adi suruh ke ruangan saya. Sekarang!"
Andika kembali meletakkan gagang teleponnya setelah melakukan panggilan itu. Dia kini menunggu kedatangan Pak Adi sambil memutar-mutar kecil kursi kebesarannya dengan tubuhnya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu.
"Iya, masuk!" perintahnya.
Pak Adi membuka pintu lalu melangkah masuk ke dalam ruangan Andika. Dia kini berdiri sambil menundukkan pandangannya. Jelas, tidak ada hal lain yang dibahas selain masalah hutang itu.
"Saya cuma mau memperingatkan kalau jatuh tempo pembayaran itu tinggal 4 hari lagi." kata Andika.
"Iya Pak. Sedang kami usahakan." Pak Adi tidak berani menatap wajah Andika. Sedari tadi dia hanya menundukkan kepalanya.
"Jika tidak, ingat perjanjian yang telah kita buat. Anak bapak akan menikah dengan saya."
Pak Adi hanya mengangguk kaku.
"Dan ingat satu hal! Jangan pernah laporkan masalah ini pada Papa. Kalau Bapak ketahuan melapor pada Papa, aku akan membawa Silvi secara paksa." ancam Andika.
Pak Adi hanya bisa pasrah dan mengangguk.
"Tapi kalau Bapak mau bekerja sama dan membujuk Silvi agar mau menikah dengan aku secepatnya, bukan hanya hutang yang lunas tapi gaji Bapak juga akan saya naikkan dua kali lipat." Andika masih saja tak menyerah. Dia begitu ingin mendapatkan Silvi secepatnya.
"Maaf Pak, untuk soal ini saya tidak bisa. Permisi." Tanpa disuruh, Pak Adi membalikkan badannya dan keluar dari ruangan Andika.
Andika masih saja tersenyum licik. "Kita lihat saja nanti. Seorang Andika tidak akan melepaskan mangsanya."
...***...
Di tempat kompetisi, Dion menunggu Silvi dengan sangat khawatir. Tinggal dua menit lagi acara akan dimulai. Dia berusaha menghunungi Silvi tapi nomor Silvi tidak aktif.
"Silvi, lo dimana?"
Dion hanya bisa berjalan maju mundur sambil menunggu kedatangan Silvi. Seluruh peserta lain sudah datang dan berkumpul. Bahkan mereka sudah siap dengan atribut masing-masing.
"Silvi cepat datang..."
Beberapa saat kemudian, terlihat Silvi datang dengan kaki yang terpincang. "Silvi...", Dion segera berlari menghampirinya.
"Kaki lo kenapa?" tanya Dion sambil membantu Silvi berjalan.
"Gue jatuh dari sepeda, kaki gue tertindih sepeda motor."
"Coba mana gue lihat?" Dion menyuruh Silvi duduk. Kemudian dia berjongkok di depan Silvi dan melepas sepatunya. "Silvi, ini memar, pasti sangat sakit. Kita berobat dulu saja."
Silvi menggelengkan kepalanya. "Kalau harus berobat gak akan keburu. Gue harus tetap ikut kompetisi ini apapun yang terjadi. Gue akan tahan rasa sakit ini. Gue harus bisa..."
💕💕💕
.
Like dan komen ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
demi hutang ayahnya..Silvi berusaha semampu yang boleh
2023-07-25
0
Totoy Suhaya
lnjut
2023-07-25
0
Eika
Andika berusaha sekuat tenaga untuk meraih harapannya, walau dengan cara yang salah
2023-02-22
1