BAB 4

Silvi duduk seorang diri di depan kelas saat jam istirahat waktu itu. Selama dua tahun ini, dia memang terbiasa tidak memiliki teman. Teman-teman dekatnya satu per satu menjauhinya. Entah karena Dion atau yang lain, dia juga tidak mengerti. Atau mungkin karena kesenjangan sosial yang tidak bisa dia imbangi.

Dia tidak peduli, yang terpenting dia bisa sekolah sampai saat ini. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, masa SMA nya juga akan berakhir. Meskipun dia tidak tahu, mungkin setelah ini dia tidak akan bisa lanjut kuliah.

"Hai, kenapa bengong aja?" Dion duduk di sebelahnya. Memang hanya Dion yang selalu datang menemaninya di saat dia merasa kesepian.

Silvi menggelengkan kepalanya. "Gue udah biasa sendiri kayak gini. Bukannya bengong tapi memang gak ada yang bisa gue ajak ngobrol."

Dion tersenyum kecil. "Begitulah sifat asli seorang teman. Saat lo sedang berada di titik terendah, mereka malah pergi. Mungkin juga mereka iri melihat keberhasilan kamu. Tenang saja, masih ada gue."

Silvi hanya tersenyum masam. Selain Rika, dulu dia juga bersahabat dengan Anis dan Wita. Entahlah, mereka tiba-tiba juga menjauh darinya. "Udahlah, gak usah bahas itu gak penting. Yang penting gue mau latihan dengan sungguh-sungguh. Gue harus bisa memenangkan kompetisi itu karena gue sedang butuh banyak uang."

"Butuh uang? Berapa? Mungkin gue bisa bantu lo." tawar Dion.

Silvi menggelengkan kepalanya. "Lo cukup bantu gue buat memenangkan kompetisi itu." Silvi berdiri kemudian masuk ke dalam kelas saat jam istirahat telah berakhir.

Sepulang sekolah, Silvi menyempatkan diri untuk berlatih dengan Dion. Tinggal dua bulan lagi kompetisi itu akan dimulai. Dia harus bisa memenangkannya. Demi Ayah dan juga hidupnya.

...***...

"Bagaimana? Kamu sudah mengikuti semua kegiatannya?" Andika sedang berbicara dengan anak buahnya yang sengaja dia suruh untuk memata-matai Silvi.

"Sudah, sepulang sekolah Silvi langsung berlatih dance dengan teman lelakinya. Dari info yang saya dapat, dia akan mengikuti sebuah kompetisi dengan hadiah yang lumayan besar. Kisaran 100 juta."

"Apa kamu ada tempat Silvi sekarang?" tanya Andika.

"Iya."

"Alihkan dengan panggilan video." suruh Andika. Dia kini menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya.

Andika kini menatap video Silvi yang sedang menari di atas panggung teater itu.

"Wow, berbakat sekali dia." Semakin melihat lekuk tubuh Silvi yang bergerak lincah itu semakin membuat hasrat Andika kian membuncah. "Silvi, aku tidak akan membiarkan kamu menang dalam kompetisi itu. Tidak akan!"

Wajah Andika kian memerah. Hanya melihat Silvi dari video itu saja sudah membuat hasratnya bergejolak.

Dia mengangkat gagang telepon kantornya lalu menghubungi sekretarisnya. "Sonya, kamu masuk ke ruangan aku." perintahnya.

Beberapa saat kemudian Sonya masuk ke dalam ruangan Andika.

"Sonya, tutup pintunya."

Sonya paham dengan maksud Andika. Dia menutup pintu ruangan itu. Lalu berjalan mendekati Andika.

"Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

"Seperti biasa. Ayo, baby."

Andika memang sudah berhasil menaklukkan Sonya. Apapun yang dia mau, Sonya pasti akan menurutinya.

Andika membuka resleting celananya dan mengeluarkan sesuatu yang telah mengeras hanya karena melihat gerakan lincah Silvi di atas panggung. Dia mendorong kepala Silvi agar berjongkok di depannya.

Dia kembali fokus pada layar ponselnya yang masih terhubung dengan panggilan video. Matanya kini fokus pada Silvi yang kian di zoom oleh anak buahnya.

"Ough, iya, terus seperti itu." Sedangkan di pangkuannya, Sonya terus bekerja dengan bibir sexy nya.

Napas Andika semakin berat.

"Silvi, aku pasti akan segera menikmatimu!" umpat Andika dalan hatinya. Wajahnya kian memerah.

"Hisap terus, iya, semakin cepat."

Beberapa saat kemudian ada yang menggerakkan handle pintunya. Seketika Andika menahan kepala Sonya meski rasa nikmatnya sudah di ujung. Dia naikkan lagi resletingnya dan merapikan celananya.

"Sonya, pintunya gak kamu kunci?"

"Iya Pak, maaf lupa."

Sonya berdiri dan berpura-pura membawa berkas.

"Ya udah, kamu keluar sekarang." Kemudian Andika melihat Papanya yang sudah berdiri di ambang pintu. "Papa." Dia merapikan lagi kemejanya yang sedikit keluar dari celana.

Sonya tersenyum kaku saat Pak Reka menatapnya curiga.

Pak Reka kini berjalan dan duduk di sofa. "Habis ngapain kamu?"

"Sonya barusan hanya mengantar berkas yang harus dicek, Pa." bohong Andika.

"Pintu kamu tutup rapat?"

"Aku memang biasa seperti itu." Kepala Andika semakin pusing, hasratnya belum tuntas sekarang akan ditambah dengan ceramah dari Papanya.

Mau apalagi Papa ke sini? Lagi enak-enaknya diganggu.

Kemudian Andika mematikan panggilan video yang masih terhubung dengan anak buahnya.

"Papa mau apa ke sini?"

Pak Reka menghela napas panjang. "Papa dengar kamu menagih paksa hutang-hutang karyawan di sini."

"Iya, itu memang sengaja aku lakukan. Hutang mereka sudah jatuh tempo." Andika membuka laptopnya dan berpura-pura menyibukkan dirinya.

"Termasuk Pak Adi?"

Andika kini menatap Papanya. Darimana Papanya tahu? Apa Pak Adi yang bercerita? "Papa tahu darimana tentang Pak Adi?"

"Dika, diam-diam Papa terus mengamati kamu. Kasih kelonggaran pada mereka. Keuangan perusahaan memang mulai stabil. Tapi kasihan mereka kalau kamu paksa."

Andika berdiri dan menghampiri Papanya. "Papa, memimpin sebuah perusahaan itu harus menggunakan otak, tidak boleh memakai hati."

"Dika, bagaimanapun juga mereka karyawan setia di sini. Berkat mereka perusahaan ini tetap berdiri sampai sekarang."

"Papa kali ini tolong percaya sama aku." Andika akan tetap kekeh dengan pendiriannya.

Pak Reka hanya menghela napas panjang. Skill Andika di bidang bisnis memang tidak diragukan lagi tapi hanya satu kekurangannya, dia terlalu terpengaruh gaya hidup orang barat yang bebas. Dia juga kejam, melakukan semua hal tanpa menggunakan perasaan.

"Papa akan terus awasi kamu. Kalau kamu sampai melakukan kesalahan atau bertindak sesuka kamu biar adik kamu yang memegang perusahaan ini."

Andika menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. "Kalau Papa mau kasih, ya udah kasih aja. Kan enak aku bisa menganggur di rumah biar dia yang kerja."

Seketika Pak Reka menjewer telinga Andika. "Kamu ya, Papa nasihati selalu melawan. Beda sekali dengan adik kamu. Dia sangat penurut." Andika memang memiliki seorang adik kandung laki-laki yang sifatnya sangat berbeda dengannya.

"Iya, iya, Andre memang terbaik, beda dengan aku."

Pak Reka melepas tangannya dari telinga Andika dan menghela napas panjang. "Ya sudah, Papa mau pulang dulu. Kalau bisa kamu tinggal di rumah saja biar Papa bisa mengawasi kamu dan Mama kamu sangat kangen sama kamu. Jangan sampai nanti Papa coret juga dari KK."

"Iya."

Kemudian Pak Reka berdiri dan keluar dari ruangan Andika.

"Dasar Papa. Cerewet banget! Pulang? Nggak akan!"

Andika kembali menghubungi anak buahnya. Dia harus menyelesaikan masalah Silvi terlebih dahulu. "Kamu terus awasi Silvi! Pokoknya kamu harus bisa membuat Silvi gagal mengikuti kompetisi itu!"

💕💕💕

.

Like dan komen ya...

Terpopuler

Comments

Linfaurais

Linfaurais

Apakah adiknya dion

2023-02-15

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!