Chapter 4 : La Sécheresse

Pagi itu Anna dan Leon sudah mengemasi barang-barang mereka dan bersiap untuk menyewa kereta kuda di pasar. Anna membawa pedang Schiereiland di balik punggungnya dan menggantungkan pisau belati Nordhalbinsel di pinggangnya. Mereka tidak membawa terlalu banyak barang. Hanya makanan dan pakaian tebal yang sudah Anna beli kemarin. Leon sudah mengingatkannya berkali-kali untuk membeli pakaian tebal tambahan karena Nordhalbinsel dikenal memiliki suhu terdingin di antara negara-negara lainnya.

“Itu benar-benar Negri Es. Tidak ada musim lain selain musim dingin. Satu-satunya bunga yang dapat tumbuh disana hanyalah Tulip Kristal yang mirip seperti bunga tulip yang tumbuh di Westeria, tapi setiap kelopaknya berlapis kristal es. Kau akan benar-benar kedinginan meski sudah memakai pakaian berlapis-lapis sekalipun.” Kata Leon saat mereka sedang dalam perjalanan menuju pasar untuk membeli pakaian hangat tambahan dan menyewa kereta kuda.

“Kau pernah ke sana?”

“Aku pernah pergi ke Nordhalbinsel saat Perang Utara yang terjadi saat kau baru lahir."

"Waktu itu bukankah kau masih berusia lima tahun?"

Leon mengangguk. "Mendiang Raja Edward yang mengajakku agar aku dapat mengenal medan perang di usiaku yang masih lima tahun.” Leon menghentikan ceritanya sesaat, menyadari dirinya tidak seharusnya menyinggung tentang mendiang Raja di depan Anna. Itu bisa membuatnya sedih lagi.

“Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa aku terlihat sangat menyedihkan bagimu? Lanjutkan ceritamu. Aku harus mengenal Nordhalbinsel lebih jauh sebelum sampai di sana.” Ucap Anna berusaha sebisa mungkin terlihat baik-baik saja di hadapan Leon meski sebenarnya jauh di dalam, hatinya masih terluka dengan kematian ayahnya.

Leon kembali melanjutkan ceritanya selama masa Perang Utara di Nordhalbinsel, sebisa mungkin menjauh dari topik yang sensitif. Kebanyakan dia menyebutkan tentang makanan utama di Nordhalbinsel yaitu daging dan produk susu dan sangat sulit ditemukan sayuran karena mereka tidak dapat menanam sayuran dan hanya mengimpornya dari Westeria atau menanamnya dengan bantuan para penyihir. Tapi karena intoleransi terhadap laktosa, Leon hanya mengonsumsi daging saja selama berada di Nordhalbinsel.

“Maaf karena aku memberimu roti susu waktu itu.” Ucap Anna saat dia teringat perbuatannya.

“Syukurlah kau tidak benar-benar meracuniku.” Sahut Leon.

“Mana mungkin! Kau satu-satunya yang kumiliki sekarang. Jadi jangan biarkan siapa pun meracunimu. Ini perintah.” ucap Anna dengan sungguh-sungguh.

Leon berhenti melangkah, kemudian berlutut di hadapan Anna. Dia menatapnya dengan serius. “Baiklah." Katanya, sebelah tangan di depan dada seperti akan melakukan sumpah prajurit. "Aku berjanji tidak akan membiarkan diriku diracuni oleh siapa pun kecuali olehmu sendiri, Yang Mulia.”

"Hentikan. Kau berlebihan." Kata Anna.

"Aku juga berjanji tidak akan mati kalau tidak kau izinkan."

"Leon..."

"Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Dan selalu setia padamu."

"Oke. Cukup. Hentikan."

"Dan aku berjanji untuk—“

"Leon!" Anna turut berlutut di hadapannya. Menaruh telunjuknya di bibir Leon. "Sudah cukup. Jika kubiarkan, lama-lama kau bisa mengucapkan sumpah pernikahan di hutan."

Mereka tertawa bersama selama sisa perjalanan.

***

Ada yang berbeda hari itu di Pasar. Orang-orang berkumpul di satu titik dan membentuk antrean panjang. Bukan hanya para pembeli, tapi para penjual turut menutup tokonya dan ikut mengantri di tempat yang sama. Beberapa yang baru datang segera berlari menuju tempat itu dan ikut mengantri. Anna yang merasa penasaran dengan keramaian itu menghentikan salah satu wanita yang sedang berlari menuju antrean itu sambil membawa baki besar.

"Apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang?" Tanya Anna.

"Kami sedang mengantri untuk mendapatkan air terakhir yang bisa kami temukan di desa ini." Jawab wanita itu sebelum akhirnya ikut pergi bersama yang lain untuk mengantri.

Anna baru hendak ikut berlari menuju kerumunan itu saat Leon menarik tangannya untuk menjauh dari tempat itu.

"Lepaskan aku." Ucapnya dengan tajam.

"Maaf, Yang Mulia. Tapi terlalu berbahaya. Ada sesuatu yang janggal di sini. Kita sebaiknya fokus pada tujuan utama  kita." Kata Leon.

Leon memang benar. Saat ini mereka harus fokus pada tujuan mereka. Tidak banyak waktu yang tersisa untuk mengikuti pemilihan pengawal pribadi Putra Mahkota Xavier. Dan Anna masih jauh dari siap.

Meski begitu, hati nurani Anna mengatakan bahwa rakyatnya saat ini sedang membutuhkannya. Dan hanya dia lah satu-satunya anggota keluarga kerajaan yang tersisa yang dapat membantu mereka.

"Wanita itu bilang mereka sedang mengantri untuk mendapatkan air terakhir. Itu artinya sumur-sumur penduduk desa ini kering dan sungai juga kering. Padahal baru tadi pagi aku melihat sungai Scheine masih dipenuhi air seperti biasa." Kata Anna. Benaknya sibuk memikirkan berbagai kemungkinan dari penyebab hilangnya air untuk para penduduk desa itu.

"Itulah sebabnya aku melarangmu untuk ikut terlibat. Ini sangat aneh. Karena sepertinya ada yang menghentikan aliran sungai Scheine ke Desa Kleinesdorf."

"Kalau begitu kita harus mencari tahu siapa orang itu dan mengembalikan aliran sungai Scheine seperti semula."

"Yang Mulia—“

"Leon." Potongnya. Sorot matanya menunjukkan kesungguhan, keyakinan dan keberanian, sehingga bahkan Leon pun terdiam menatapnya. "Orang-orang ini adalah rakyat Schiereiland. Dan saat ini mereka semua sedang mengalami kesulitan di depan mataku sendiri. Aku adalah Putri kerajaan ini, Leon. Jadi bagaimana bisa aku mengabaikan rakyatku begitu saja?"

Tatapan kesungguhan Anna, kata-katanya, caranya mengucapkan semua itu, mengingatkan Leon pada mendiang Raja Edward sehingga menggoyahkannya. Leon pun menyetujui untuk turut membantu menyelesaikan masalah air warga desa Kleinesdorf terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan mereka menuju Nordhalbinsel. Dia melepaskan tangan Anna, membiarkannya berjalan menuju kerumunan antrian air terakhir.

Saat mereka baru akan mendekati kerumunan, Anna dan Leon berpapasan dengan seorang anak laki-laki yang berlari ke arah mereka. Anak laki-laki itu tampak terengah-engah menghampiri Anna. Tubuhnya kurus kering tapi cukup tinggi untuk seusianya. Rambutnya yang berwarna perunggu terang terlihat sangat kontras dengan mata cokelat gelapnya. Terdapat noda pelumas roda kereta kuda di kedua pipi tirusnya. Anna langsung mengenali anak itu sebagai putra pemilik penyewaan kereta kuda yang dia temui kemarin karena dia masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin.

"Nona, akhirnya saya menemukan Anda. Saya Louis Blanc yang Anda temui kemarin untuk menyewa kereta kuda." sapa anak laki-laki itu di hadapan Anna dan Leon. Dia sedikit melirik ke arah Leon yang tidak ditemuinya kemarin, pupil matanya melebar saat melihat Leon, tapi dia berusaha tidak memperlihatkan keterkejutannya. "Saya, atas nama ayah saya, memohon maaf karena sepertinya perjalanan Anda tidak dapat dilakukan hari ini."

"Tidak apa-apa Blanc—“

"Louis saja, Nona."

"Baiklah, tidak apa-apa Louis. Kami juga sepertinya harus menunda keberangkatan kami. Apakah kau tahu apa kira-kira penyebab dari..." Anna menggerakkan tangannya ke depan, "semua ini?"

Louis mengangguk. "Mari ikuti saya, Nona."

***

Anna, Leon dan Louis sampai di ujung Desa Kleinesdorf. Tak jauh dari posisi mereka saat ini, Sekumpulan orang dengan pakaian tentara Nordhalbinsel sedang memegang cambuk dan orang-orang dengan pakaian yang lusuh sedang bergotong royong membuat bendungan yang sudah hampir selesai. Sesekali para tentara itu mencambuk mereka yang berhenti sesaat atau mereka yang berjalan lambat. Beberapa di antara pekerja bendungan itu adalah orang yang sudah sangat tua dan anak-anak yang masih teralu kecil untuk bekerja.

Melihat itu semua, darah Anna mendidih. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan erat hingga kuku-kukunya hampir merobek kulit telapak tangannya sendiri.

Bendungan itulah yang menyebabkan air dari sungai Scheine berhenti mengalir ke sumur-sumur Desa Kleinesdorf. Dan orang-orang yang diperkerjakan oleh para tentara Nordhalbinsel itu adalah rakyat Schiereiland yang bekerja sebagai budak. Air sungainya, negerinya, rakyatnya. Itu semua adalah miliknya. Milik Schiereiland. Orang-orang utara itu tidak berhak memperlakukan mereka seenaknya.

"Berani-beraninya mereka!" Seru Anna dengan penuh amarah. Hatinya ingin menjerit. Anna hampir saja berjalan mendekati para tentara itu, tapi Leon segera mencegahnya.

"Yang Mul—“ Leon melirik ke arah Louis yang berdiri tidak jauh dari mereka. "Anna, kau tidak bisa begitu saja pergi dan menghentikan mereka. Berpikirlah sebelum bertindak."

"Kau benar." Kata Anna. "Kalau pun kita berhasil menghentikan mereka, kita harus mencari cara untuk menghancurkan bendungan ini tanpa membuat banjir Desa Kleinesdorf."

"Maaf apabila saya lancang," Louis yang sejak tadi hanya memperhatikan Anna dan Leon akhirnya angkat bicara, "Saya hanya ingin memastikan, apakah benar Nona ini adalah Putri Schiereiland yang kabarnya sudah meninggal? Putri Anastasia? Dan..." Louise menatap Leon dengan ragu, sebisa mungkin menyembunyikan rasa gugupnya. Tangannya memilin-milin ujung pakaiannya yang sudah lusuh. "S-saya yakin Tuan adalah Jenderal Leon, Sang Singa dari Selatan. Benar kan?"

Anna terkejut mendengarnya. Tidak akan mengherankan apabila ada orang yang mengenali Leon. Tapi jika ada rakyat biasa yang mengenalinya, itu adalah hal yang sangat jarang terjadi. Hanya para bangsawan yang pernah datang ke pesta ulang tahun Anna, dan pejabat negara yang sering mengunjungi Istana yang mengenali wajahnya.

"Bagaimana kau bisa tahu?" Tanya Anna.

Leon mengeluarkan pedangnya dan langsung mengarahkannya ke leher Louis serta menarik Anna menjauh ke belakangnya. Melindungi Anna dari bahaya yang mungkin akan terjadi. "Katakan. Siapa kau? Apakah Raja Vlad mengirimmu untuk memata-matai kami?"

Louis gemetar melihat ujung pedang Leon yang berjarak hanya beberapa senti dari lehernya.

"Apa yang kau lakukan!” Anna melepaskan diri dari tangan Leon. "Turunkan pedangmu, Leon! Dia hanya rakyat biasa." Perintah Anna sambil berusaha membuat Leon menurunkan pedangnya yang masih terarah ke leher Louis.

"Sa-saya mohon ampun, Yang Mulia." Louis bersujud sambil masih gemetaran di hadapan Leon dan Anna. "Mohon ampuni saya."

Anna segera menyingkirkan pedang Leon dari hadapan Louis dan membantu anak itu berdiri. Menyentuhnya dengan selembut mungkin karena anak laki-laki itu masih ketakutan. "Dia terlalu muda untuk menjadi mata-mata, Leon."

Anna membersihkan pakaian Louis dari tanah yang menempel di bajunya saat bersujud tadi. "Kau baik-baik saja?" Tanyanya pada Louis sambil memastikan dia tak terluka.

Louis hanya mengangguk, masih belum berhenti gemetar ketakutan. Sementara itu, tatapan Leon masih melekat pada Louis, bersiap jika anak itu memang merencanakan sesuatu yang dapat membahayakan Anna.

"Aku juga masih berusia dua belas tahun saat aku dikirim untuk menjadi mata-mata di Westeria. Kita tidak boleh lengah hanya karena dia masih anak kecil." Ucap Leon sambil menyarungkan kembali pedangnya. Tapi matanya masih mengawasi pergerakan Louis seolah anak itu bisa saja tiba-tiba menikam Anna.

"Dengan segala hormat Yang Mulia, Saya bukan anak kecil. Usia saya sudah empat belas tahun." Kata Louis, berusaha menghilangkan rasa takutnya dengan membalas tatapan Leon. Bukan dengan tatapan mengancam, melainkan tatapan penuh kesungguhan. Dia melakukannya untuk membuat Leon percaya padanya. Bahwa dia bukan musuh.

Leon menghela napas panjang, memijat-mijat pelipisnya. Ketegangan tadi mulai hilang. "Bagaimana kau bisa mengetahui siapa kami sebenarnya? Katakan yang sebenarnya atau pedang ini akan—“

"Leon!" Anna menegurnya sebelum Leon menyelesaikan kalimatnya.

"Pedang itu." Louis menunjuk pada pedang Schiereiland yang sejak tadi tersembunyi di balik punggung Anna. Namun kini kain yang menyembunyikan ukiran bunga mawar pada pegangan pedang itu telah terbuka. Memperlihatkan dengan jelas ukiran bunga mawar yang menjadi simbol Kerajaan Schiereiland. "Ayah saya pernah menceritakan pada saya bahwa semua anggota keluarga kerajaan memiliki simbol bunga mawar pada barang-barang berharga mereka termasuk senjata. Dan itu juga karena saya mengenali wajah Sang Singa dari Selatan." Louis memberanikan diri untuk menatap Leon, "Ayah dan kakak saya pernah mengikuti perang yang dipimpin oleh Anda, Tuan. Saat perayaan kemenangan di balai kota, saya datang untuk menemui mereka dan melihat Anda di sana. Anda adalah panutan saya."

Leon menatap Louis yang tampak bersungguh-sungguh dengan ceritanya, lalu kembali menatap Anna. "Kau percaya padanya?" Tanya Leon.

Anna mengangguk tanpa keraguan sedikit pun.

"Baiklah. Tapi ingat, kau harus menjaga rahasia ini." ucap Leon pada Louis.

Louis mengangguk dengan senang. Senyum sumringah terlukis di wajahnya yang penuh debu dan kotoran sisa pelumas roda.

Setelah mengetahui apa yang sedang terjadi dengan air sungai Scheine, Anna, Leon dan Louis kembali ke desa Kleinesdorf untuk memberitahu para penduduk. Mereka memberitahu segalanya dengan sangat detail. Tentang apa yang terjadi sebenarnya dibalik hilangnya aliran air mereka. Anna juga menjelaskan bahwa orang-orang Nordhalbinsel memperkerjakan budak dari Schiereiland untuk membangun sebuah bendungan besar yang membuat air dari sungai Scheine tidak lagi mengaliri desa mereka. Semua itu seharusnya berhasil menyulut api kemarahan mereka karena memang itulah tujuan Anna. Membangkitkan kemarahan semua orang, sehingga mereka akan sanggup melakukan apa pun untuk melawan dan merebut kembali air sungai mereka.

Anna takkan mampu melakukan semuanya sendiri. Dia membutuhkan rakyatnya saat ini. Dia membutuhkan semangat dari seluruh penduduk desa Kleinesdorf.

Tapi para penduduk desa hanya diam saja seolah mereka sudah tahu tentang hal itu dan menyerah, membiarkan apa yang menjadi milik mereka direnggut begitu saja.

"Kalian sudah tahu tentang hal ini?" Tanya Anna.

"Itu benar. Tapi kami tidak dapat melakukan apa pun." Jawab seorang pria yang sepertinya adalah pemimpin desa Kleinesdorf.

Anna mengernyit tak mengerti. "Kenapa kalian diam saja saat air kalian diambil oleh orang lain yang tidak berhak?"

"Memangnya kami bisa apa? Kami sudah dengar bahwa semua keluarga kerajaan sudah mati dan kerajaan diambil alih oleh Nordhalbinsel. Bahkan Duke Francis sudah memberi pengumuman bahwa kami tidak boleh melawan Nordhalbinsel. Kita semua sudah kalah."

Mendengar nama Duke Francis disebut, Anna tiba-tiba teringat akan suatu hal menyakitkan yang entah bagaimana bisa terlupakan setelah tragedi yang merubah hidupnya itu. Ironisnya, patah hati dan kekecewaan baru bisa terlupakan setelah tragedi yang lebih mengerikan dan menyakitkan terjadi dalam hidup.

"Apa yang telah diperbuat oleh tunanganmu?" bisik Leon yang berdiri di dekat Anna.

"Maksudmu, mantan tunanganku?" Anna mengoreksi dalam bisikan tajam, setengah kesal.

Duke Nicholas Francis yang usianya sama dengan Leon adalah kerabat dekat Raja Edward dan satu-satunya pria berusia dua puluh tahunan dengan gelar Duke di Schiereiland. Oleh karena itu, Raja memutuskan untuk menikahkan Anna dengannya. Mereka sudah bertunangan tahun lalu, bahkan Duke Francis telah menyiapkan Istana yang mewah dan megah di pinggir pantai di wilayah Eze sebagai hadiah pertunangan untuk mereka tempati bersama setelah menikah. Tapi Anna memutuskan untuk tidak melanjutkan pertunangan itu setelah tahu bahwa Duke Francis memiliki wanita lain. Anna tidak menjelaskan tentang perselingkuhan itu pada ayahnya karena tahu itu akan mempersulit kehidupan mantan tunangannya itu dan hal tersebut bisa merembet menjadi masalah politik yang serius. Kemungkinan terburuknya adalah Raja akan menurunkan gelar Duke Francis dan mengganti pemimpin Duchy dengan orang lain yang belum tentu sepintar dan semahir Duke Francis. Anna mengakui tidak ada pria sepintar mantan tunangannya itu jika menyangkut masalah politik. Dia menghargai Nicholas Francis sebagai Duke, bukan sebagai pria yang pernah bertunangan dengannya.

Anna menghela napas. Tak benar-benar ingin mengingat kembali tentang mantan tunangannya itu. Masa lalu hanyalah masa lalu. Sekarang ada hal yang jauh lebih penting.

"Kita bisa mengambil kembali air milik kita." Ucap Anna penuh semangat di hadapan puluhan orang penduduk desa Kleinesdorf yang saat itu sudah berkumpul. "Bendungan itu belum sepenuhnya selesai. Jika kita bisa melawan para tentara dan membebaskan para budak, kita dapat menghentikan pembangunan bendungan. Bahkan, kita bisa menghancurkan bendungan itu dengan bahan peledak dan—“

"Nona muda, kau ini siapa?" Sela si pemimpin desa. "Kita ini bukan siapa-siapa. Hanya rakyat biasa yang tidak dapat berbuat apa-apa. Kau ingin warga Desa ini, yang mayoritasnya hanya lah petani dan pedagang serta veteran perang, dibantai oleh para tentara Nordhalbinsel?"

Penduduk lainnya ikut berseru setuju. Mereka semua, para penduduk Desa Kleinesdorf terlihat tidak punya harapan dan sudah menyerah dengan apa yang menimpanya. Hal itu membuat Anna semakin merasa bersalah. Dia merasa bersalah karena dalam seminggu terakhir, sementara rakyatnya menderita dijajah oleh bangsa lain, dirinya tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya tenggelam dalam dukanya sendiri. Anna merasa sedih, kecewa dengan dirinya sendiri. Ingin rasanya dia memarahi dirinya sendiri karena begitu lemah dan tak berdaya.

Padahal dia lah satu-satunya harapan kerajaannya. Hanya dia yang tersisa, yang dapat membantu rakyatnya. Tapi dia justru tak dapat melakukan apa pun. Dia memutar otak. Berusaha mencari cara, apa pun itu, untuk membangkitkan kembali semangat juang yang telah hilang dari jiwa rakyatnya.

Sementara itu, di sekitarnya para penduduk desa terus berkeluh kesah dan bertanya-tanya kenapa mereka harus mendengarkan kata-kata dari gadis muda yang bukan siapa-siapa ini.

"Keluarga kerajaan belum mati." Anna akhirnya mengumumkan pada penduduk desa. Anna melirik sekilas pada Leon yang terlihat waspada, mengisyaratkan agar Leon mempercayakan hal ini padanya. Leon mengangguk. Bisik-bisik di sekitar penduduk desa kian bertambah. Sebagian besar masih menyangsikan perkataan Anna.

Anna menatap mereka semua satu persatu. Tak sedikit pun memiliki keinginan untuk menyerah. Dia harus bisa mengajak rakyatnya untuk berjuang bersamanya karena dia takkan bisa melakukan semuanya sendiri. "Itu benar bahwa Raja telah dibunuh. Tapi Ratu Isabella dan Putra Mahkota Alexis masih hidup. Itu artinya pemimpin kerajaan ini masih hidup. Dan kita berhak untuk mengambil apa yang menjadi milik kita. Air dari sungai Scheine adalah milik rakyat Schiereiland. Bukan milik Nordhalbinsel. Negeri ini adalah milik kita, bukan milik mereka!”

Terdengar gemuruh di antara para penduduk Desa. Beberapa di antara mereka tampak setuju dengan perkataan Anna. Tapi dari tatapan mereka masih terlihat rasa takut akan apa yang dapat terjadi jika mereka melawan tentara Nordhalbinsel.

Anna tahu bahwa hal ini akan sangat sulit. Memimpin dan meyakinkan orang lain bukanlah hal yang mudah. Tidak semua orang dapat melakukannya dengan baik. Bahkan seorang Raja sekalipun. Guru Anna pernah menjelaskan bahwa dirinya harus menempatkan diri sebagai rakyat dan melihat dari sudut pandang mereka agar dapat memimpin mereka. Anna tahu para penduduk desa ini ketakutan sama seperti dirinya. Tapi rasa takut Anna akan kehilangan negerinya jauh lebih besar dari rasa takutnya pada tentara Nordhalbinsel. Meski Anna tahu, jika melawan mereka, maka nyawa penduduk desa ini dalam bahaya. Bisa saja terjadi pembantaian besar-besaran karena penduduk desa ini akan dianggap memberontak.

"Kita tidak perlu takut!" Teriak seseorang dari barisan penduduk desa. "Jika Nordhalbinsel punya satu pasukan tentara, Kita punya Sang Singa dari Selatan!"

Ada terlalu banyak penduduk desa yang berkumpul di hadapannya saat ini sehingga Anna tidak tahu siapa yang berbicara. Dia berjinjit, berusaha melihat siapa yang mengatakan itu.

"Benar! Jenderal Leon ada di pihak kita. Kita tidak perlu takut!" Seru suara yang lain yang juga datang di antara para penduduk desa.

"Saya pernah menyaksikan langsung dengan kedua mata saya saat Jenderal Leon melibas habis puluhan tentara musuh seorang diri. Kita akan menang selama kita mau berjuang bersama Jenderal Leon!" Sahut yang lainnya.

"Siapa kalian?" Tanya Leon, yang juga berusaha mencari-cari sumber suara tersebut.

Seorang pria berusia sekitar akhir tiga puluh tahunan dan seorang kakek tua maju ke depan barisan. Awalnya hanya dua orang itu saja, namun tak lama kemudian, tujuh orang lainnya maju ke depan, salah satunya adalah ayah Louis, Si pemilik penyewaan kereta kuda. Mereka semua berlutut di hadapan Leon.

"Salam hormat kami, Jenderal Leon."

Anna tidak benar-benar mengenali wajah-wajah itu. Tapi dari beberapa bekas luka yang ada di wajah dan bagian tubuh mereka, Anna tahu bahwa mereka adalah mantan pasukan Leon di perang-perang yang pernah dipimpinnya. Mereka adalah veteran perang.

Terdengar suara bisik-bisik di antara para penduduk desa lainnya yang baru saja mengetahui bahwa Sang Singa dari Selatan telah datang di Desa mereka. Tentu saja mereka tidak atau belum mengetahui bahwa Sang Putri juga ada di hadapan mereka. Tapi Anna memutuskan untuk menuruti perkataan Leon, menyembunyikan identitasnya demi keselamatan semua orang.

Dalam sekejap, seluruh penduduk desa berlutut di hadapan Leon. Leon memang bukan terlahir dari keluarga bangsawan maupun dari keluarga Raja. Tapi Leon sudah hidup di Istana bahkan sebelum Raja Edward naik takhta. Dan semua orang tahu bahwa Leon sudah diperlakukan layaknya putra Raja Edward di Istana. Mereka juga menunjukkan rasa hormat itu pada Leon karena dia adalah orang yang sudah berjasa dalam menyelamatkan negeri mereka dari perang-perang yang sudah berlalu.

Semua berlutut dan serempak berkata, "Salam hormat kami, Jenderal Leon."

***

Terpopuler

Comments

Sri Astuti

Sri Astuti

mrk ga bs sembunyi lagi
rakyat mengenali Leon

2025-03-11

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!