"Yang Mulia."
Suara hangat nan ramah seorang pria menariknya ke kesadaran, ke kenyataan.
Sang Putri terbangun dipenuhi keringat dingin. Napasnya terengah-engah. Tenggorokannya terasa kering membakar. Dadanya sesak. Matanya menjelajah ke sekitar, memindai dengan cepat sebelum akhirnya menyadari bahwa dia hanya mengalami mimpi buruk yang sama.
Mimpi buruk itu telah benar-benar terjadi tepat di depan matanya dan kini menghantui malam-malamnya. Tragedi yang menimpa keluarga kerajaan Schiereiland beberapa hari yang lalu membuatnya kehilangan keluarganya dan Istananya serta negeri yang dicintainya. Semua itu telah benar-benar terjadi.
"Yang Mulia, kau bermimpi buruk lagi?" tanya pria yang sejak tadi terus memperhatikannya dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Pria itu tidak tidur semalaman karena dia merasa berkewajiban untuk menjaganya. Kata-kata mendiang Raja beberapa tahun yang lalu masih terus terngiang di benaknya,
"Leon, aku mempercayakan Anastasia padamu. Kau pasti bisa menjaganya dengan baik."
Kata-kata itu, hingga kini, masih dia anggap sebagai sebuah kehormatan besar yang harus dia laksankan dengan baik. Tujuan hidupnya. Mandat dari Sang Raja. Tanda bahwa Sang Raja sangat mempercayainya.
Dan Leon berencana untuk memastikan dia tak gagal melaksanakan tugas itu. Jadi meski seisi Istana dibakar, meski seluruh anggota keluarga kerajaan dibunuh dan ditangkap, Putri Anastasia masih hidup dan selamat.
Meski kini dia tak benar-benar terlihat hidup.
Sang Putri hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Sorot matanya kosong. Seolah jiwanya tak ada di sana.
"Tunggu sebentar, aku akan segera mengambilkan air untukmu." katanya dengan nada suara yang menenangkan.
Putri Anastasia melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali mengangguk. Orang-orang akan mengira dirinya bisu sejak lahir. Padahal Sang Putri adalah sosok paling banyak bicara yang pernah dikenalnya.
Leon segera pergi membawa wadah air menuju sungai dekat pondok kayu yang saat ini menjadi tempat tinggal mereka.
Sudah seminggu berlalu semenjak tragedi yang terjadi malam itu, namun Putri Anastasia masih juga belum berbicara sepatah kata pun. Kejadian itu pasti membuatnya sangat terkejut dan sedih sehingga dapat merubah Putri Anastasia yang dikenalnya sebagai gadis muda yang ceria dengan kehidupan yang sempurna menjadi muram seperti bunga mawar yang layu kehilangan cahaya.
Bagaimana tidak, kejadian mengerikan itu terjadi di malam hari setelah pesta perayaan ulang tahun Sang Putri yang ke dua puluh tahun. Padahal paginya mereka masih menjadi keluarga utuh yang berbahagia dalam pesta pora perayaan Sang Putri yang baru menginjak usia dewasa. Namun setelah semua usai, saat orang-orang sudah mulai terlelap di malam hari, mereka datang dan menghancurkan segalanya. Menghancurkan kehidupan bahagia Sang Putri.
Leon tidak terlalu mengetahui detilnya karena malam itu dia sedang menemani Putri Anastasia berlatih pedang di hutan dekat istana. Sebagai hadiah ulang tahun yang ke dua puluh, Sang Putri memintanya secara khusus untuk mengajarinya ilmu berpedang yang belum pernah dia ajarkan. Jadi di saat semua sudah tertidur, mereka menyelinap ke hutan dekat Istana. Namun saat kembali ke istana, semuanya sudah terlambat. Raja yang telah dilayaninya selama seumur hidupnya kini telah tewas. Sang Ratu dan Putra Mahkota ditangkap oleh pasukan Nordhalbinsel. Saat itu, Leon tidak punya pilihan. Dia harus melindungi Putri Anastasia dan pergi melarikan diri untuk mengamankan Sang Putri alih-alih ikut melawan pasukan Nordhalbinsel bersama prajurit lainnya. Meski begitu, Leon masih dihantui perasaan bersalah karena merasa tidak mampu menjaga keluarga kerajaan yang selama ini sudah membesarkannya seperti keluarganya sendiri.
Sama seperti Putri Anastasia, kejadian malam itu masih menghantui malam-malamnya, membuatnya enggan tidur jika itu artinya dia harus kembali melihat kejadian itu di mimpinya.
Jerit membahana Sang Ratu, mayat-mayat prajurit bergelimpangan di sepanjang lorong Istana, darah membanjiri lantai, api berkobar di berbagai tempat di dalam Istana sementara hujan dan guntur menggemuruh serta suara pedang yang menembus tubuh-tubuh prajurit yang pernah menjadi rekan seperjuangannya. Semua itu terputar tanpa henti di dalam kepalanya. Menghantuinya melebihi kengerian yang pernah dia hadapi di medan perang. Karena di setiap perang, dia memimpin pasukan kerajaan, bertarung dengan berani, dan berhasil mempertahankan negerinya. Dia berhasil menyelamatkan banyak orang. Tapi malam itu, dia melarikan diri dari dan gagal mempertahankan negerinya.
Putri Anastasia yang masih bernafas dan hidup adalah satu-satunya bukti bahwa dia tak sepenuhnya gagal. Dia belum gagal.
Setelah wadah airnya sudah cukup penuh, Leon segera berlari menuju pondok kayu itu.
Pagi itu langit gelap. Pohon-pohon rimbun di dalam hutan menghalangi masuknya cahaya matahari. Membantu mereka bersembunyi di dalam pondok kayu kecil yang tak terjangkau oleh siapa pun.
Pondok itu mereka temukan jauh di kedalaman hutan. Dan hutan itu telah menjadi tempat berlatih Putri Anastasia selama bertahun-tahun. Di tempat itulah Putri Anastasia biasa berlatih pedang secara sembunyi-sembunyi karena khawatir bahwa Raja tidak menyetujui hobinya. Tentu saja seorang ayah tak ingin putri satu-satunya terluka akibat memegang senjata. Sang Raja sangat menyayangi putrinya bahkan kadang terkesan overprotektif. Dia begitu takut jika putrinya terluka. Itulah sebabnya Leon yang merupakan ahli pedang terbaik di seantero Schiereiland bukan ditugaskan untuk menjadi pengawal pribadi Raja, melainkan pengawal pribadi Putri Anastasia.
Leon masuk ke dalam pondok kayu itu dan segera memberikan air kepada Sang Putri untuk diminum. Tepat pada saat itu terdengar suara petir menyambar. Suara itu membuat Putri Anastasia terkejut. Wadah air itu hampir saja terlepas dari pegangannya apabila Leon tidak sigap menangkapnya.
Putri Anastasia menjerit mendengar suara petir seolah sedang melihat kembali tragedi yang terjadi malam itu. Tangannya yang gemetaran menutup telinga. Dia terus menerus menangis dan memohon agar tidak dibunuh seolah ada prajurit Nordhalbinsel di sekitarnya. Semenjak saat itu, kondisi Sang Putri memang semakin parah hingga membuat Leon khawatir bahwa Sang Putri mungkin takkan bisa sembuh dari traumanya.
Dia tidak mau makan selama berhari-hari, tatapan matanya kosong. Dia tidak bicara dan selalu bermimpi buruk. Setiap kali hujan dan ada suara petir, dia mulai menjerit dan menangis seperti sudah kehilangan akal sehatnya.
Di saat-saat seperti itu, Leon akan mencoba menenangkannya dengan memeluk Sang Putri dan menutup matanya.
"Yang Mulia, mohon tenangkan dirimu. Tidak ada apa-apa. Kita aman disini." ucap Leon berkali-kali sampai tangisan itu reda dan Sang Putri kembali tenang.
***
Saat hujan sudah berhenti dan Putri Anastasia tampak stabil, Leon bersiap pergi menuju pasar di desa kecil dekat hutan untuk membeli bahan makanan. Jarak antara pondok kayu tempat tinggal mereka dengan pasar lumayan jauh dan memakan waktu kurang lebih satu jam berjalan kaki. Leon selalu meminta Sang Putri untuk tetap berada di pondok kayu dan menunggunya. Dan biasanya Sang Putri hanya mengangguk diam tanpa protes. Tapi baru kali ini Sang Putri bersikeras untuk ikut dengannya. Dia tak benar-benar mengatakannya, tapi begitu Leon keluar dari pondok, Sang Putri mengekor di belakangnya. Dan saat Leon memintanya untuk kembali masuk ke pondok mereka, Sang Putri menatapnya dengan tajam. Itu sudah cukup membuat Leon mengizinkannya ikut ke pasar.
Pasar di pinggir desa memang bukan tempat yang berbahaya untuk Sang Putri karena selain bangsawan tinggi dan pejabat negara yang sering ke Istana, tidak ada yang mengetahui wajah Putri Anastasia. Para prajurit Nordhalbinsel pun takkan pergi ke tempat kumuh dan terpencil seperti itu. Lagi pula, di dekat istana ada pasar lain yang lebih besar dan lengkap. Kalau pun orang-orang Nordhalbinsel yang kini menguasai Istana mereka ingin pergi ke pasar, mereka takkan memilih pasar terpencil di dekat hutan.
Leon kembali memandangi Sang Putri. Sikap keras kepalanya adalah satu-satunya bukti bahwa Sang Putri masih sama seperti dulu. "Baiklah." Dia menghela napas. "Tapi rambutmu..."
Sang Putri menunduk menatap rambut panjangnya. Rambut merah yang biasanya tertata rapih dan disisiri oleh para pelayan itu kini tampak kotor dan berantakan. Warna rambut merah seperti itu memang sangat jarang ditemui di mana pun. Jadi mungkin Sang Putri akan menjadi pusat perhatian dengan rambutnya.
"Tunggu sebentar." Leon pun kembali masuk ke dalam pondok untuk mengambil sesuatu.
Setelah memastikan Sang Putri memakai tudung yang menutupi rambut merahnya yang mencolok, mereka berdua pun pergi bersama.
Leon menuntun Putri Anastasia dengan perlahan menyusuri hutan itu. Putri Anastasia memang bukan wanita dengan fisik yang lemah, tapi kini dengan tubuhnya yang semakin hari semakin kurus dan pucat, dia terlihat sangat rapuh seperti ranting yang akan patah kapan saja. Jadi dia merasa perlu untuk menggenggam tangan Sang Putri selama perjalanan. Khawatir dahan pohon mungkin dapat melukai Sang Putri.
Hutan itu dipenuhi pepohonan yang rindang sehingga hanya ada seberkas cahaya yang menerangi perjalanan mereka. Jalanannya licin karena baru turun hujan. Berkali-kali terdengar suara gemerisik di antara semak-semak, tapi tidak ada sesuatu berbahaya yang muncul. Justru Leon berpikir alangkah baiknya jika yang muncul adalah hewan buas, maka dia bisa mengalahkannya dengan pedangnya dan membakarnya untuk makanan mereka hari ini sehingga mereka tidak perlu pergi ke pasar. Tapi hutan itu sangat aman, tidak ada hewan buas. Hanya ada beberapa burung kecil yang berkicau di balik pepohonan dan kelinci hutan yang dagingnya tidak disukai oleh Putri Anastasia dengan alasan dia menyukai hewan mungil berbulu itu. Air sungai yang mengalir sepanjang hutan terlihat sangat jernih, sehingga Leon bisa melihat dan memastikan bahwa tidak ada ikan di sungai tersebut. Benar-benar tidak ada yang dapat dia buru untuk makanan mereka.
Sepanjang perjalanan Leon berusaha mengajak bicara Sang Putri dengan menceritakan pengalamannya selama seminggu ini pergi ke pasar seorang diri. Sebisa mungkin Leon menghindari pembicaraan yang mengungkit masa lalu atau yang berhubungan dengan kejadian malam itu.
Leon bercerita bahwa beberapa penjual di pasar memuji Leon karena dia tampak seperti sosok seorang suami yang dapat diandalkan karena mau berbelanja ke pasar seorang diri. Dan setelah itu para ibu-ibu yang sedang berbelanja di sekitarnya akan mulai mengeluhkan suami mereka masing-masing yang tidak dapat memberikan banyak uang, tapi juga tidak mau diajak ke pasar.
“Kalau kau, pasti istrimu sangat bangga ya. Punya suami yang tampan dan dapat diandalkan. Omong-omong, di mana wanita itu? Sekali-kali kalian harus datang bersamanya, jadi kami bisa mengobrol sesama wanita.” Sahut salah satu pembeli, sementara yang lainnya mengangguk menyetujui.
“Aku tidak—“ Leon baru saja mau menyanggahnya dan menjelaskan bahwa dia belum menikah. Dan bahwa satu-satunya wanita yang menunggunya pulang dari pasar adalah seorang Putri Kerajaan yang sudah dilayaninya sejak masih bayi. Tapi dia menyadari bahwa akan lebih aman dan mudah jika dia tidak menjelaskan apa pun. Jadi dia pun berbohong dengan berkata, “Dia sedang sakit, jadi aku menggantikannya pergi ke pasar.”
“Astaga, wanita yang malang. Belakangan ini cuacanya memang sedang tidak bagus. Terkadang sangat cerah lalu turun hujan deras. Kau harus menjaga istrimu dengan baik, nak.”
Leon hanya mengangguk mendengar para ibu-ibu itu mengasihani ‘istri’ yang tidak benar-benar dia miliki, berharap obrolan itu segera berakhir atau paling tidak penjual sayuran itu cepat-cepat membungkus belanjaannya.
Kebanyakan dari para penjual di pasar tidak tahu bahwa dirinya adalah seorang Jenderal yang dikenal sebagai Singa dari Schiereiland atau Singa dari Selatan, tergantung orang dari mana yang menyebutnya. Meski begitu, ada beberapa pemilik toko senjata dan kedai minuman keras yang mengenali Leon karena mereka pernah menjadi relawan perang beberapa tahun yang lalu. Leon meminta orang-orang yang mengenalinya untuk tidak memberitahu siapa pun tentangnya. Leon juga meminta mereka untuk mengawasi kondisi sekitar dan memberitahunya apabila terdapat tanda-tanda keberadaan mata-mata atau pasukan Nordhalbinsel. Hingga dia dapat memastikan bahwa pasar itu akan tetap menjadi tempat yang aman baginya dan bagi Sang Putri.
Mereka sampai di pasar ketika hari sudah siang dan matahari bersinar sangat terang. Putri Anastasia yang belum pernah pergi keluar dari Istana selain untuk berlatih pedang di hutan selama hidupnya, terlihat sangat takjub dengan keramaian di sekitarnya. Matanya berkelana ke sekelilingnya memperhatikan segalanya seolah semua yang ada di pasar itu lebih menarik dari permata-permata mana pun yang pernah dia miliki.
“Hari ini pasarnya memang lebih ramai dari hari biasanya. Mungkin karena festival panen semakin dekat. Beberapa petani turun ke pasar untuk menjual hasil panen mereka dan para ibu berlomba membeli bahan-bahan makanan untuk perayaan itu.” Leon menjelaskan pada Putri Anastasia yang hanya mengangguk sambil masih memperhatikan sekitarnya dengan tertegun.
Pasar itu tidak terlalu luas, bahkan dapur Istana jauh lebih luas. Tapi karena banyaknya orang yang ada di sana, pasar itu terlihat seperti lautan manusia yang sangat luas. Suara-suara penjual menawarkan dagangannya, para pembeli yang menawar, dan beberapa bandit yang menagih uang keamanan memenuhi telinga. Dari sana-sini tercium bau amis ikan yang sudah tidak terlalu segar karena jarak pasar yang sangat jauh dari laut. Sedangkan ikan segar hanya dijual kepada para bangsawan atau, kini setelah mereka dijajah, diimpor ke Nordhalbinsel. Sayur-sayuran pun tidak semuanya dalam kondisi yang baik. Apalagi semenjak serangan Nordhalbinsel, sebagian besar sayuran dengan kualitas baik dikirim ke kerajaan Nordhalbinsel. Jika ada petani yang tidak mengirimkan sayurannya, maka ladangnya akan dihancurkan. Jadi para petani itu tidak punya pilihan lain selain menyerahkan hasil panen dan kerja keras mereka pada kerajaan tersebut.
Leon sedang menawar harga ikan karena sisa uang yang dibawanya tidak cukup saat dia menyadari bahwa Sang Putri sudah tidak ada di sampingnya. Sesaat jantungnya hampir berhenti. Dengan tergesa-gesa Leon pergi meninggalkan penjual ikan itu tanpa memedulikan bahwa si penjual ikan baru saja menyetujui harga yang dia tawar. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, memindai dengan cepat. Saat itu pasar memang lebih ramai dari biasanya, jadi sulit untuk menemukan Sang Putri. Dia berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali dia memastikan Putri Anastasia berdiri diam di sampingnya. Tapi dia tidak dapat mengingatnya dengan jelas karena terlalu panik.
Asumsi buruk mulai merasuki pikirannya. Leon bertanya-tanya apakah mungkin mereka diikuti oleh orang-orang dari Nordhalbinsel dan mereka menculik Sang Putri. Mereka mungkin menyiksanya di suatu tempat saat ini. Mereka mungkin tidak memberi kesempatan pada Sang Putri untuk berteriak minta tolong dan segera membunuhnya di tempat. Leon tak pernah merasa setakut itu sebelumnya. Berbagai perang, ribuan musuh, dan berbagai senjata yang pernah diarahkan padanya, bahkan maut sekali pun, tak satu pun dari semua itu yang membuatnya takut melebihi rasa takut kehilangan Sang Putri. Saat itu, dia berpikir lebih baik mati daripada harus kehilangan Putri Anastasia.
Namun tepat pada saat itu, saat dia hampir menyerah, dia melihatnya.
Sang Putri sedang berdiri terdiam di pojok lorong yang sepi menghadap ke arah sebuah papan.
Sosok gadis dengan rambut merah panjang yang kusut akibat tidak pernah lagi disisir, dengan gaun berwarna putih tulang dibalik jubah cokelat yang hampir menutupi seluruh tubuh kurusnya tampak begitu rapuh dari kejauhan. Namun itu masih lebih baik dari pada tak dapat melihatnya lagi untuk selamanya. Perasaan lega mengaliri jiwanya. Jika bukan karena Sang Putri yang melepas tudung jubahnya dan memperlihatkan rambut merahnya itu, mungkin Leon akan sangat kesulitan mencarinya. Leon bisa menjadi gila karenanya.
Leon berjalan perlahan ke arahnya, masih memperhatikan Putri Anastasia yang kini tampak lusuh dengan gaun yang kotor dan wajahnya yang pucat. Rambut merah panjangnya yang dahulu selalu tampak indah berkilau dan terawat kini tampak kotor. Tapi semua itu tak sedikit pun mengurangi kecantikannya.
Putri Anastasia sepertinya menyadari keberadaan Leon yang sedang mengamatinya dengan tatapan khawatir. Dia mengikuti arah pandang Leon, ikut memperhatikan rambut panjangnya yang kini tampak kusut dan kotor. Wajahnya memerah malu, menyadari penampilannya saat ini sangat jauh dari penampilannya yang biasa saat masih tinggal di Istana.
Sang Putri berjalan ke arah Leon. Tak seperti sebelumnya, langkahnya kini terlihat begitu mantap. Tak lagi terlihat lemah dan rapuh. Sorot matanya kembali hidup, seperti ada matahari yang baru saja terbit di dalam matanya, hingga Leon terkejut melihat semua perubahan itu. Lalu, tanpa disadarinya, Sang Putri sudah mencabut pedang yang tersampir di pinggang Leon.
"Yang Mulia, apa yang ingin kau lakukan dengan—“
Dengan sekali tebasan yang cepat, potongan rambut merah pun berjatuhan di atas tanah. Sang Putri masih dapat mengayunkan pedang dengan baik, hinggga meski tidak sempurna, dia berhasil memotong bagian rambutnya yang kusut. Rambut panjang berwarna merah yang menjadi kebangaan kerajaan Schiereiland itu jatuh di atas tanah kotor. Namun Sang Putri kini tampak jauh lebih hidup dari sebelumnya dengan rambut pendeknya.
"Apa sekarang aku tampak lebih cantik, Leon?" Tanyanya.
Leon terkejut mendengar ucapan dari bibir Sang Putri. Sudah seminggu dia tak mendengarnya bicara. Sudah seminggu lamanya dia menantikan kata-kata, apa pun itu, keluar darinya. Hingga Leon hampir menyerah dan mengira mungkin kejadian itu begitu traumatis sehingga merenggut kemampuan bicara Sang Putri.
Dia senang bahwa dia salah.
Kini, di hadapannya, seorang wanita berambut pendek dengan mata yang berkilauan dalam semangat hidup yang baru, sedang tersenyum padanya.
Leon pun tersenyum dan mengangguk tanpa bisa mengatakan apa pun sebagai balasannya. Tanpa dia sadari, air mata kebahagiaan menggenang di pelupuk matanya. Tapi dia buru-buru mengusapnya sebelum air matanya mulai jatuh.
"Kau sangat cantik, Yang Mulia."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Sri Astuti
mungkin dia melihat sesuatu di papan itu dan menimbulkan semangat juangnya
2025-03-11
0
Khumairoh Ari
Jadi keinget Yona pas dia lagi kabur dari kejaran anak bungsu suku api. Dia rela motong rambut panjangnya pake pedang biar bisa lepas dari jambakannya. Dan terjun jatuh ke jurang menyusul pengawal pribadi sekaligus teman masa kecilnya, Son Hak dari suku angin yang udah jatuh lebih dulu.
2024-03-23
1