"Saat kita berada di tempat umum, kau tidak boleh memanggilku dengan 'Yang Mulia' atau 'Putri' atau 'Anastasia'. Kita tak pernah tahu siapa saja yang mendengar pembicaraan kita. Jadi panggil aku Anna saja."
Tidak ada satu orang pun di Istana, bahkan Raja dan Ratu sekalipun, yang pernah menyebut Sang Putri dengan nama panggilan seperti itu. Anastasia adalah sebutan paling akrab dan hanya Raja dan Ratu yang menyebut namanya seperti itu. Dan Leon tak pernah menyebutnya dengan namanya.
"Leon?" panggil Anna sambil menoleh ke belakang karena entah bagaimana permintaan itu membuatnya terdiam di tempat. Mereka sedang berjalan menuju pasar, kembali menyusuri hutan. Tapi kali ini, Anna sudah tak memerlukan bantuan dari Leon lagi untuk berjalan.
Justru Leon lah yang sepertinya membutuhkan bantuan.
"Itu sangat tidak sopan—“
"Aku yang memintamu." Potong Anna langsung, "dan jika kau tidak mau, kau sama saja sedang menentangku." Tangannya dilipat di depan dada. Bahkan meski tak mengenakan gaun megah dan mahkota di rambutnya, dia tetap seorang Putri.
Leon menghela napas, percuma saja berdebat karena dia tahu dia pasti akan kalah. "Baiklah, Yang Mul—maksudku, Anna."
Anna tersenyum puas.
Sesampainya di Pasar, mereka bertemu dengan para pembeli yang sering mengobrol dengan Leon. Sekumpulan ibu rumah tangga yang berbelanja bahan makanan untuk sehari-hari. Mereka tampak tersenyum ramah saat melihat Leon datang bersama Anna. Kemudian saling lirik dan saling sikut saat keduanya semakin mendekat.
Anna tampak bingung dengan perilaku pada Ibu itu. Tapi dia memperlihatkan senyum ramahnya juga dan menyapa mereka semua. Orang-orang Schiereiland memang terkenal dengan keramahan mereka, jadi Anna tak heran mendapatkan perilaku ramah dari orang-orang yang tak dikenalnya itu. Dia hanya perlu berbaur dan bersikap normal agar tak dicurigai dan dikenali sebagai Putri Schiereiland yang menghilang.
"Astaga, senang sekali akhirnya dapat bertemu denganmu. Aku sudah lama ingin melihatmu." Sahut seorang pembeli yang usianya mungkin sama dengan ibunya, Ratu Isabella.
Orang-orang Schiereiland memang terkenal ramah, tapi sikap Ibu ini seperti orang yang memang sudah mengenalnya. Atau paling tidak pernah mendengar tentangnya.
Anna berusaha mengingat-ingat apakah dia mengenali wanita itu. Apakah mungkin dia memiliki kerabat jauh yang tidak diingatnya yang tinggal di desa dan bukan dari kalangan bangsawan. Tapi dia sama sekali tidak mengenali wanita itu sekeras apa pun Anna berusaha mengingatnya. Jadi dia hanya mengangguk sopan dan tersenyum padanya. Tak benar-benar tahu harus berkata apa.
Leon menggenggam tangannya dengan erat seolah mengisyaratkan padanya untuk tetap tenang. Leon selalu tahu kapan Anna merasa tak nyaman.
Pembeli lainnya, yang bahkan lebih tua dari pembeli yang pertama tadi, berkata padanya, "Suamimu sudah menceritakan semuanya. Kudengar kau sakit karena cuaca yang kurang bagus belakangan ini. Tapi sekarang cuacanya sudah membaik, jadi kurasa kau sudah sehat kembali."
"Suamiku?" Anna menatap Leon dengan raut wajah penuh tanda tanya.
Leon menghindari tatapan Anna. Wajahnya merona entah bagaimana. Genggaman tangannya dilonggarkan seperti hendak melepasnya dan pergi jauh bersembunyi. Tapi Anna masih menggenggamnya.
Anna akhirnya mengingat-ingat cerita Leon tentang beberapa wanita yang menyebutnya sebagai sosok suami yang baik. Anna menahan tawanya sebelum memperbaiki sikapnya dan mencoba mendalami perannya sebagai 'Istri yang baru saja sembuh'.
Untuk lebih meyakinkan, dia melingkarkan tangannya pada lengan Leon dan mendekatkan tubuhnya padanya. Senyumnya bagai senyuman seorang Istri yang merasa sangat beruntung. "Suamiku memang sangat baik hati sudah merawatku selama aku sakit. Dia pergi ke pasar, memasak untukku, bahkan membersihkan dan merapikan rumah kecil kami." Ucap Anna sambil tersenyum ke arah Leon yang kini tampak benar-benar malu. Anna melepaskan tangannya dari Leon dan kini menepuk-nepuk pundaknya. "Sayangku, terima kasih banyak ya." tambahnya dengan nada manja.
Kata-kata itu berhasil membuat wajah Leon memerah malu.
"A-aku permisi sebentar. Ada yang harus aku beli di tempat lain." Leon menunduk dan kemudian buru-buru pergi meninggalkan Anna menuju tempat penjualan senjata.
"Baiklah. Jangan pergi terlalu jauh, Sayangku." dia tertawa puas dalam hati.
Setelah Leon pergi, Anna melanjutkan berbelanja sayuran dan lauk-pauk sambil mengobrol bersama sesama pembeli lainnya. Sebagai seorang Putri Kerajaan, dia belum pernah mengobrol bersama wanita sebayanya selain di acara pesta yang digelar di Istana. Tapi dia sudah sering mengobrol bersama para dayang dan pelayan Istana yang usianya jauh lebih tua darinya. Jadi dia lebih terbiasa mengobrol bersama orang-orang yang lebih tua darinya.
Rasanya sudah lama sekali Anna tak merasakan perasaan hangat saat mengobrol dengan orang lain. Jadi dia tak merasa canggung, malah justru merasa nyaman saat berlama-lama berbelanja sayur dan lauk dengan para pembeli lainnya. Dari mereka juga, Anna berhasil mengumpulkan informasi tentang apa saja yang terjadi di luar hutan tempat persembunyiannya selama ini.
"Omong-omong," Ucap Anna akhirnya setelah mengingat ada yang harus dia lakukan. "Aku perlu menjual harta warisan dari ibuku karena kami kehabisan banyak uang selama aku jatuh sakit. Apakah nyonya-nyonya semua tahu di mana tempat yang tepat?"
***
"Yang Mulia—“
"Sssttt..." Anna memelototi Leon dan melirik ke sekitarnya. Khawatir jika saat itu ada yang mendengarnya. Dia pun memelankan nada bicaranya, "Sudah kubilang, panggil aku Anna saja jika kita sedang berada di tempat umum. Bawa ini semua. Aku sangat kerepotan membawa semua belanjaan ini sementara kau pergi entah ke mana bersenang-senang sendiri." Anna merengut dan terus mengomel sementara dia menyerahkan dua kantung penuh belanjaannya kepada Leon.
Mereka sudah bertemu kembali di tempat yang mereka janjikan sebelumnya setelah Anna selesai berbelanja. Pasar tidak seramai kemarin, tapi tetap saja bukan hal mudah untuk bertemu di tempat umum. Mereka pun melanjutkan perjalanan mencari jalan keluar dari pasar menuju hutan tempat pondok kayu kecil mereka.
"Aduh!" Anna terpekik saat seseorang menyenggolnya. Pasar ini memang tidak terlalu ramai, tapi dua orang sedang berlarian dan dia tidak melihat mereka.
"Maaf."
"Yang Mulia, kau baik-baik saja? Perlu kukejar orang itu? Akan kuberi dia pelajaran." Tanya Leon sambil mengusap pundak Anna yang tersenggol tadi. Tangan lainnya terkepal erat sambil memegang kantung belanjaan seolah akan melemparkan semuanya ke orang tadi.
"Tidak perlu. Jangan buat keributan. Jangan membuat orang-orang melihat kita." Kata Anna sambil menatap kesal ke arah orang yang sudah berlari jauh tadi. Dan Leon mengangguk setuju. Jika saja mereka tidak dalam persembunyian, orang itu niscaya sudah babak belur. Leon tidak menolerir siapa saja yang berani menyakiti Sang Putri.
“Oh, benar. Aku membelikanmu ini.” Leon mengambil sesuatu dari kantung belanjanya dan menyerahkannya kepada Anna. Itu adalah sebuah pisau belati bermata dua dengan gagang terbuat dari perunggu dan terdapat ukiran empat naga. “Sepertinya mereka merampok benda ini dari orang Nordhalbinsel jika dilihat dari simbol empat naga pada gagangnya.”
Anna menerima pisau belati itu. Jauh lebih ringan dari pedang, tapi sama mematikannya jika dihujamkan ke jantung seseorang. Pisau bermata dua itu tampak masih sangat tajam dan berkilauan di bawah sinar matahari seperti baru diasah kemarin. Mata Anna membulan lebar karena takjub saat memperhatikan pisau tersebut.
“Wah... Kau menemukan barang yang sangat bagus di pasar sesederhana ini. Ini mungkin bukan milik rakyat biasa. Ini mungkin koleksi salah satu bangsawan Nordhalbinsel.” Anna kini menyarungkan pisau tersebut dan mencari-cari simbol yang mungkin pernah dituliskan atau diukirkan oleh pemilik sebelumnya. Tapi yang dapat ditemukannya hanya lah simbol empat naga pada pegangan pisau tersebut. Anna kemudian menggantungkan pisaunya di sabuk pinggangnya. “Terima kasih banyak, Leon. Ini bagus sekali.” Kata Anna sambil tersenyum. “Tapi... kenapa?”
“Kau tidak dapat membawa pedangmu itu di tempat umum karena orang-orang akan mencurigai seorang wanita yang memegang pedang apalagi terdapat ukiran bunga mawar yang biasanya hanya terdapat pada barang-barang milik anggota keluarga kerajaan Schiereiland. Jadi kupikir tidak apa-apa kalau kau membawa pisau kecil untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padamu dan aku sedang tidak berada di dekatmu.” Jelas Leon.
Anna sama sekali tak memikirkan hal itu sebelumnya. Dia memang tak membawa pedangnya ke mana-mana. Bahkan hari ini dia sama sekali tak berpikir untuk membawa pedangnya. Tapi mereka sedang dikuasai oleh Nordhalbinsel. Para prajurit Nordhalbinsel bisa datang kapan saja dan menyerang mereka. Tanpa pedangnya, Anna tak bisa melawan mereka. Dia selalu berpikir bahwa selama dia bersama Leon, dia akan selalu aman bahkan meski saat dia tak bersenjata. Leon akan melindunginya apa pun yang terjadi.
Tapi bukan itu yang ingin dia tanyakan sebenarnya.
“Maksudku... kenapa kau membelikanku pisau belati padahal dengan uang itu kau bisa membeli makanan yang cukup untuk kita berdua. Kupikir kau tidak punya cukup uang untuk membeli makanan.”
Leon mengangkat bahunya dengan enteng. “Aku menjual Emblem Singa.” Jawabnya dengan suara yang lebih pelan seperti khawatir ada orang lain yang mendengarnya.
Anna menghentikan langkahnya.
Kali ini Leon lah yang menoleh ke belakang dengan tatapan bingung. "Anna?"
“Kau gila! Itu harta negara pemberian Raja yang hanya diberikan kepada pahlawan negara. Itu simbol kemenanganmu. Itu identitasmu sebagai Singa dari Schiereiland. Emblem Singa sangat berharga untukmu. Kenapa kau menjualnya?” Anna mencerocos tanpa henti, memarahinya. Lebih karena merasa menyesal bahwa Leon menjual benda berharganya demi dirinya. Emblem Singa memang terbuat dari emas murni dan pasti sangat mahal jika dijual, tapi benda itu bernilai begitu tinggi dan seharusnya tidak dapat dijual. Seharusnya tidak ada yang mampu membelinya karena benda itu diibaratkan sama seperti mahkota bagi Raja. Benda itu adalah tanda bahwa pemiliknya pernah menyelamatkan kerajaan.
Mungkin pasar hanya memberi beberapa keping uang pada Leon sebagai bayarannya karena tak benar-benar mengerti benda apa itu. Mungkin mereka hanya membelinya semata-mata karena benda itu berkilauan.
“Untuk saat ini, keselamatanmu lebih penting daripada simbol itu.” Jawab Leon dengan kalem seolah dia tak baru saja menjual bagian dari identitasnya. Harta paling berharga dan sebuah penghargaan tertinggi dari Raja. Seolah benda itu bukan apa-apa baginya, padahal Anna tahu Leon sangat bangga karena memiliki Emblem Singa. Tapi saat Leon kembali menatapnya, Anna tak melihat penyesalan barang sedikit pun. Dia justru tersenyum menenangkan. “Dan kau harus lebih menjaga volume suaramu, Anna. Kita masih berada di tempat umum.” tambahnya.
Mereka masih dalam perjalanan menuju kembali ke pondok kayu meski sudah keluar dari wilayah pasar. Di sekitar mereka masih ada banyak orang yang juga baru saja meninggalkan pasar untuk kembali menuju rumah masing-masing. Jadi mereka harus lebih waspada jikalau ada orang sekitar yang mengenali mereka berdua atau pun ada mata-mata dari Nordhalbinsel di pasar itu.
"Omong-omong, kenapa kau belanja banyak sekali. Kau dapat uang dari mana untuk membeli semua ini?" Tanya Leon kemudian sambil mengangkat dua bungkusan penuh berisi barang-barang yang Anna beli di Pasar.
Anna menoleh pada Leon, kemudian kembali melanjutkan jalannya. "Kita membutuhkan semua ini, Leon. Lebih baik membeli banyak belanjaan sekaligus untuk keperluan sehari-hari daripada harus pulang-pergi ke pasar setiap hari. Aku harus fokus pada latihanku. Kita juga akan membutuhkan banyak perbekalan untuk perjalanan menuju Nordhalbinsel. Sewa kereta kuda juga membutuhkan biaya yang besar. Kita tidak mungkin berjalan kaki—“
"Tunggu..." Kata Leon setelah menyadari sesuatu. "Kalungmu. Di mana kalung itu? Jangan bilang—“
"Aku menjualnya. Benar." Potong Anna langsung sebelum Leon mengatakannya. Dia tersenyum lebar tanpa beban, "Untuk saat ini, mengisi perut kita lebih penting untuk bertahan hidup daripada simbol identitasku sebagai Putri Kerajaan Schiereiland."
Leon hanya diam memperhatikan Anna yang kini tampak berbeda dari kemarin.
Kemarin malam Leon tak sengaja terbangun di tengah malam karena mendengar suara tangisan kecil. Berada di medan perang sejak kecil membuat telinganya terlatih untuk peka terhadap suara-suara kecil. Leon yang menyadari malam itu Anna tidak ada di tempat tidurnya pergi keluar dan mendapati Anna sedang menangis di dekat sungai tempat mereka biasa mengambil air. Anna memegangi kalung bunga mawar merah itu sambil terus menangis tanpa mengatakan apa pun. Saat itu Leon sangat ingin menenangkannya dan menghentikan tangisannya, tapi dia tahu bukan itu yang dibutuhkan Sang Putri. Leon yang sudah mengenal Anna selama 20 tahun tahu bahwa Anna membutuhkan waktu untuk sendiri di saat-saat seperti itu. Jadi malam itu Leon hanya mengawasinya dari jauh hingga Anna meninggalkan kalung bunga mawar itu begitu saja di tanah dan kembali ke pondok kayu untuk tidur seolah tak pernah terjadi apa pun.
Meski sudah kembali bicara dan makan seperti biasa, nyatanya Anna masih merasa sedih. Siapa pun pasti akan merasakan hal yang serupa jika seluruh kehidupannya direnggut secara paksa dari tangannya.
Tapi berbeda dengan kemarin, hari ini raut wajah Anna menunjukkan tekad yang kuat. Putri Kerajaan yang rapuh itu kini terlihat lebih kuat dengan tujuan baru yang digenggamnya. Dan mungkin tujuan itu akan membahayakan nyawa Sang Putri. Tapi Leon akan siap melindunginya dari apa pun selama itu artinya Sang Putri kembali memiliki semangat hidup.
"Jadi apa makan siang kita?" Tanya Leon.
***
Setelah makan siang berupa roti isi yang Anna beli pagi tadi di pasar dan memastikan keduanya sudah cukup bertenaga, Anna dan Leon bersiap melakukan duel pedang lagi di tengah hutan. Tekad bulat Anna untuk segera mengalahkan Leon hari ini terpancar dari sorot matanya saat dia memegang erat pedangnya.
"Kau sudah siap, Yang Mulia?" Tanya Leon, memastikan.
"Seharusnya aku yang bertanya, Leon. Kau tampak tidak nyaman. Kau mau menyerah sekarang?"
Anna tersenyum puas melihat raut wajah Leon yang berusaha menahan sesuatu sambil memegang pedangnya. Rencananya berhasil.
"Aku baik-baik saja, Yang Mulia." Dia berusaha berkata.
Tapi Anna tahu Leon bukannya baik-baik saja. Dia jauh dari kata 'baik-baik saja'. Karena Anna lah penyebabnya.
Duel pedang pun dimulai. Anna mengingat semua teknik pedang yang sudah dipelajarinya dari Leon. Gerakannya jauh lebih luwes dari kemarin. Dia merasa yakin akan kemenangannya hari ini.
"Kau yakin baik-baik saja, Leon?" Anna memastikan sambil mengayunkan pedangnya ke arah pedang Leon. Bukan ke arah Leon. Dia ingin mengalahkan Leon, bukan melukainya apalagi membunuhnya. Targetnya adalah untuk membuat pedang itu terlepas dari tangan Leon. Meskipun tidak mudah, tapi dia berhasil membuat Leon sedikit terhuyung ke belakang dengan gerakannya itu. Leon tampak kehilangan keseimbangannya untuk sesaat. Dan hal itu menuai senyuman di wajah Anna.
Leon berusaha menangkis pedang Anna sambil meringis. Pikirannya sedikit teralihkan. Dia tidak fokus. Dia mengingat-ingat kembali apa saja yang dimakannya hari ini sehingga membuat perutnya mulas dan merasa sangat bergas. Tapi dari yang dia ingat, hari itu dia hanya memakan lauk bekas semalam yang dia bakar kembali pagi ini dan roti isi yang diberikan Anna siang ini. Tak ada yang aneh.
Anna tersenyum saat melihat Leon sedikit tidak fokus dan kesulitan dengan gerakannya.
"Kau tampak sangat bahagia hari ini, Yang Mulia." Dia meringis.
"Ini adalah hari yang cerah." Jawab Anna singkat, sambil terus menyerang Leon dengan pedangnya. Pedang di tangan Leon hampir terlepas tapi Leon segera mengambil kembali pedangnya dengan tangan lainnya. Mengalahkan seorang ahli pedang yang sudah mulai belajar berpedang sejak usia enam tahun memang bukan perkara mudah. "Itu tadi nyaris sekali." ujar Anna.
Leon tertawa saat menyadari apa yang sudah dimakannya. "Rotinya." Ucapnya. "Apa yang kau masukkan ke dalam roti tadi, Yang Mulia?" kata Leon sambil memegangi perutnya. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya. Apapun yang dia makan hari itu, membuatnya ingin segera pergi sejauh mungkin dari tempat itu dan mengeluarkan seluruh isi perutnya.
Senyum Anna semakin lebar mengetahui Leon telah menyadari sesuatu yang salah tengah terjadi padanya.
"Tenang lah, Leon. Aku tidak mungkin meracunimu. Aku tak memasukkan apa pun ke dalamnya. Itu hanya roti biasa." Anna menyerang Leon sekali lagi. Melangkah dengan pasti ke arahnya sambil mengayunkan pedangnya dengan satu tangan sementara Leon mundur, kewalahan dengan serangan berturut-turut yang justru pernah diajarkannya. "Dengan isian keju dan susu murni." Anna menebas sekali. Dan dengan gerakan terakhir itu, pedang Leon terhempas dari pegangannya. Terpental jauh ke atas. Anna segera melompat tinggi dan menangkap pedang itu, menghunus kedua pedang di tangannya ke arah Leon. Senyum penuh kemenangan terlukis di wajahnya. "Intoleransi terhadap laktosa. Kondisimu lah yang membantuku memenangkan duel ini."
***
Dengan keberhasilan Anna dalam memenangkan duel pedang itu, Leon akhirnya menyerah dan bersedia mengajari Anna segala yang harus dia pelajari agar dapat lulus dari audisi pemilihan pengawal pribadi Putra Mahkota Xavier. Malam itu mereka merencanakan jadwal latihan serta perbekalan yang harus dibawa untuk perjalanan mereka menuju Nordhalbinsel.
"Yang Mulia, kau tahu kenapa simbol kerajaan Nordhalbinsel adalah empat naga?" Tanya Leon, saat Anna sedang menuliskan barang-barang yang harus dibelinya di pasar besok sebelum mereka berangkat besok malam.
"Aku yakin pernah mempelajari tentang ini dulu di buku sejarah, tapi aku lupa. Apakah karena mereka percaya bahwa naga masih hidup di dunia ini?" Tanya Anna, setengah memperhatikan. Dia mendengus setengah tertawa sarkastis. "Konyol sekali. Masa mereka percaya mitos seperti itu?"
Leon mengernyit, "Kalau begitu, apa kau tahu kalau sekitar seribu tahun yang lalu Nordhalbinsel dan Schiereiland adalah satu kekaisaran besar?"
Anna berhenti menulis pada bukunya, dia menatapnya tajam. "Tentu saja aku tahu cerita itu. Kau sedang mengetes ilmu pengetahuanku terkait sejarah empat negara?" Anna merasa tertantang. Dia menaruh buku catatan dan pena yang dia beli dari pasar. Tangannya diangkat ke udara, menekuk jempolnya, membentuk empat. "Kekaisaran Orient di Timur," dia menekuk satu persatu jarinya seiring tiap nama kerajaan yang dia sebutkan, "Kerajaan Westeria di Barat, Kerajaan Nordhalbinsel di Utara dan Kerajaan Schiereiland di Selatan."
Leon mengangguk setuju.
Anna melanjutkan, "Tapi dulu hanya ada satu kekaisaran besar, Kekaisaran Schiereiland. Setelah kematian Ratu Agung Zhera, mulai muncul Orient dan Westeria, bagian-bagian dari Schiereiland yang memilih untuk memisahkan diri. Kemudian Zuidlijk naik takhta menjadi Raja. Saat itulah terjadi perpecahan yang diawali oleh pengkhianatan adiknya sendiri, Pangeran Nordlijk. Sebagian besar rakyat yang mendukung pengkhianatan Pangeran Nordlijk terhadap Raja Zuidlijk memisahkan diri dari Schiereiland dan membentuk Kerajaan Nordhalbinsel dengan dipimpin oleh Nordlijk Si Pengkhianat. Dan begitulah sejarah terjadinya empat negara."
Leon menghela napas, menggeleng-geleng dan menatapnya prihatin. "Kau membaca buku sejarah yang salah. Itu bohong."
"Apa?" Anna mengernyit tak mengerti. "Apa maksudmu? Buku itulah yang diajarkan oleh ahli sejarah di Istana."
Leon baru menyadari tidak semua orang paham akan sejarahnya sendiri, terutama para anggota keluarga kerajaan. Atau paling tidak, mungkin itu yang dipelajari Anna dari gurunya di Istana. Karena permusuhan antara kedua negara itu telah berlangsung selama ratusan tahun, maka sejarah mereka pun terdistorsi oleh pandangan dan kepercayaan mereka masing-masing. Berbeda dengan anggota keluarga kerajaan, Leon yang sudah sering ikut perang dan memiliki rekanan dari negara lain, mengetahui versi yang berbeda dari sejarah empat negara. Versi yang lebih asli dari sejarah yang ditulis di Istana Schiereiland.
"Nordlijk tidak berkhianat. Tidak ada pengkhianatan yang terjadi, Yang Mulia." Katanya dengan penuh kesabaran. "Ini semua hanya masalah dari sudut pandang siapa sejarah ini diceritakan."
"Lalu bagaimana sejarah ini diceritakan dari sudut pandang yang lain?"
"Kau yakin siap mendengar kebenaran dari sejarah itu?"
Anna melipat kedua tangan di depan dada, dagu terangkat, "Ceritakan saja."
"Baiklah..." Leon berdehem dan mengatur posisi duduknya menjadi lebih nyaman seolah akan menceritakan kisah yang sangat panjang.
Anna mulai melupakan daftar belanjaan yang akan ditulisnya dan mengarahkan seluruh fokusnya pada sejarah tetuanya yang akan diceritakan oleh Leon. Meski Anna yakin sejarah yang dipelajarinya bukanlah sejarah yang salah, tapi dia selalu tertarik tentang pandangan orang lain tentang sejarah itu. Selalu ada sisi yang lain dari sebuah cerita.
Malam semakin larut dan langit semakin gelap. Hanya terdengar suara kayu yang perlahan habis dibakar api unggun yang mereka buat di luar pondok, dan suara-suara dari serangga malam di sekitar hutan, juga suara Leon yang menceritakan sejarah sesungguhnya dari kerajaan mereka.
"Dahulu kala, ada kekaisaran besar yang dipimpin oleh seorang Kaisar tiran dan haus darah." Leon memulai, "Rakyat hidup dengan sengsara. Peperangan antar daerah sering terjadi yang mengakibatkan pertumpahan darah dimana-mana. Semua menderita, tapi tak dapat melakukan apa pun. Hingga akhirnya, dengan doa tulus dari satu-satunya Putri kerajaan itu, yang kemudian dikenal sebagai Zhera Yang Agung atau Ratu Agung Zhera, empat naga turun dari langit dan membantu Zhera untuk mengakhiri kekuasaan ayahnya."
"Tunggu sebentar." Anna menghentikan cerita Leon. "Naga? Maksudmu monster besar yang dapat terbang dan menghembuskan api dari mulutnya itu? Yang ada di dongeng-dongeng? Kau yakin, Leon? Aku belum pernah dengar tentang versi ini sebelumnya."
Leon kembali menghela napas panjang. "Yang Mulia... Aku pernah berperang di Timur dan pernah berlatih pedang di Barat. Aku bahkan mengenal beberapa mantan prajurit Schiereiland yang kini tinggal di Nordhalbinsel. Versi inilah yang mereka semua ketahui. Beberapa tahun yang lalu, Raja sebelum Raja Edward, kakekmu, memerintahkan untuk membakar seluruh buku sejarah dan membuat ulang buku sejarah yang baru. Sejarah yang kau ketahui itu bukan yang asli."
"Tidak mungkin." Anna terkesiap mendengarnya. Dia merasa telah dibohongi sepanjang hidupnya. Dia kemudian meminta Leon melanjutkan ceritanya.
"Setelah kekuasaan Kaisar tiran tersebut berakhir, banyak daerah yang memisahkan diri karena banyak faktor, terutama karena mereka menginginkan revolusi serta karena memiliki perbedaan keyakinan serta pandangan politik. Ratu Agung Zhera mengizinkan mereka dan bahkan mendukung mereka demi terciptanya perdamaian di antara mereka semua. Akhirnya terbentuk Kekaisaran Orient di Timur dan Kerajaan Westeria di Barat. Sementara Zhera menjadi Kaisar wanita pertama yang memimpin Kekaisaran yang kemudian disebutnya sebagai Schiereiland. Zhera memiliki dua orang putra yaitu Putra Mahkota Zuidlijk dan Pangeran Nordlijk yang akhirnya masing-masing menjadi Raja Schiereiland dan Raja Nordhalbinsel."
Anna masih berusaha mencerna semua informasi baru itu. Semua itu terdengar seperti dongeng baginya. Tapi Leon mengatakan bahwa justru itulah sejarah aslinya.
"Lalu bagaimana dengan keempat naga itu?" tanya Anna setelah menyadari bahwa kisah itu sejatinya tak berakhir begitu saja.
Leon terdiam, berpikir sejenak, mengingat-ingat apa yang dia ketahui tentang empat naga tersebut. "Aku tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tapi yang jelas, orang-orang di Nordhalbinsel percaya bahwa Raja Nordlijk memiliki kekuatan naga dan oleh karenanya mereka sangat memuja Raja Nordlijk. Kurasa kita dapat lebih mengetahuinya setelah kita tiba di Nordhalbinsel nanti."
***
Hari itu saat Leon menjual Emblem Singa miliknya dan membelikan Anna pisau belati, dua orang pria yang mengenakan topeng dan tudung hitam menyusuri Pasar untuk mendatangi toko penjual senjata.
“Cepat lah Elias! Kita harus cepat membeli kembali pisau itu sebelum ada orang lain yang membelinya.” Ucap salah satu dari mereka yang lebih tinggi dari yang lainnya. Pemuda itu memakai cincin dengan batu ruby di tangan kanannya. Matanya yang berwarna emerald tampak sibuk berusaha mencari-cari toko penjual senjata di pasar yang ramai itu.
Mereka berjalan sangat cepat, bahkan hampir berlari di tengah keramaian pasar. Beberapa kali si pemuda bermata emerald itu hampir menyenggol orang-orang yang berlalu-lalang di Pasar. Dia sedang sangat terburu-buru dan tak ada waktu untuk berhenti. Jadi sebisa mungkin dia berusaha untuk menghindari orang-orang.
Tapi sebesar apa pun usahanya untuk berlari tanpa menabrak siapa pun di tempat seramai Pasar, pada akhirnya dia tanpa sengaja menyenggol seorang gadis berambut merah dan membuatnya terhuyung hampir terjatuh. Padahal dia tak berniat bicara satu patah kata pun pada orang-orang di Pasar karena khawatir akan ada yang mengenalinya dari logatnya, tapi gadis tadi kelihatan sangat ringkih dan nalurinya mengatakan bahwa dia harus meminta maaf.
"Maaf." Katanya, tanpa menoleh, dan terus melanjutkan larinya.
Di utara, dia takkan pernah bersikap sekasar itu. Dan dia langsung merasa bersalah. Seharusnya tadi dia berhenti, dan memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Seharusnya dia meminta maaf dengan benar. Tapi jika dia melakukan semua itu, dia mungkin akan menarik perhatian orang-orang di sekitarnya dan dia akan dikenali. Kalau pun dia menutupi wajahnya, mereka masih dapat melihat warna matanya yang tak biasa dan cara bicaranya yang sangat khas orang utara.
Tiba-tiba saja dia merasakan tarikan yang kuat untuk berbalik, kembali, dan meminta maaf pada gadis tadi. Mungkin karena dia diajarkan untuk selalu bersikap baik dan sopan pada wanita. Jika orang-orang Selatan dikenal dengan keramahan mereka, orang-orang Utara dikenal dengan kesopanannya.
“Yang Mulia, tunggu sebentar. Sepertinya toko yang kita cari ada di sebelah sana.” Sahut pemuda yang bernama Elias.
Kata-kata itu segera saja membuat si pemuda bermata emerald mengurungkan niatnya untuk kembali dan meminta maaf. Ada hal yang sangat mendesak saat ini.
“Kenapa tidak bilang dari tadi! Ayo cepat!” pemuda bermata emerald itu semakin mempercepat larinya menuju toko penjual senjata. “Ini semua salahmu, Elias. Kalau saja kemarin kau membawa uang, kita tidak perlu menjual harta negara seperti itu. Apalagi hanya dihargai 100 gold? Bahkan jika seluruh tanah ini dijual, nilainya tidak akan lebih besar dari pisau itu!”
“Hamba sangat berdosa, Yang Mulia. Mohon bunuh saja hamba.” Pria bernama Elias itu berkata dengan nada bicara penuh drama.
“Sudah kubilang jangan menyebutku seperti itu di tempat umum. Kau mau orang-orang Schiereiland ini tahu bahwa Putra Mahkota dari kerajaan yang sudah menjajah mereka berkeliaran di pasar kumuh seperti ini?”
"Kau bisa membunuh mereka kalau kau mau."
Pemuda bermata emerald itu berusaha mengabaikan nada sarkastis dari kalimat rekannya karena mereka sudah sampai di toko penjual senjata yang dicari-cari.
“Oh, kalian dua pria bertopeng yang kemarin datang. Kalian datang lagi hari ini rupanya. Apa kalian membutuhkan sesuatu?” tanya penjual itu dengan senyuman ramah.
“Kami mencari pisau belati dengan simbol empat naga yang kemarin kami jual. Kami akan membelinya dengan harga empat kali lipat dari kemarin.” Jawab Elias tak sedikit pun menghilangkan aksen bicaranya yang sangat khas orang utara. Sengaja membuat penjual senjata itu takut.
“Oh. Sayang sekali, pisau itu sudah terjual pagi ini, Tuan." Si Penjual langsung merubah gaya bicaranya menjadi lebih formal begitu mendengar Elias bicara. "Apa ada barang lain yang kalian inginkan? Kami punya—“
Pemuda dengan mata emerald itu menarik kerah baju si penjual senjata dengan penuh amarah. "Katakan," ucapnya, setengah menggeram, “Siapa yang membeli pisau itu?”
“Sa-Saya tidak terlalu ingat, Tuan. T-tapi dia membelinya dengan ini.”
Si Penjual senjata memperlihatkan Emblem Singa. Benda itu tidak lebih besar dari genggaman Si Penjual. Tapi semua orang di Schiereiland tahu bahwa benda itu memiliki nilai yang sangat tinggi. Selain karena terbuat dari emas murni dan dibuat oleh pengrajin logam terbaik di seantero Schiereiland, emblem itu bernilai tinggi karena merupakan sebuah tanda kehormatan dari Sang Raja untuk pahlawan negara.
“Xavier, ini Emblem Singa!" Elias terpekik kaget. Pupil matanya melebar ketika melihat benda yang berkilauan di tangan Si Penjual. "Hanya tiga orang di Schiereiland yang memiliki benda ini. Dua diantaranya konon sudah meninggal, dan satu-satunya yang masih hidup adalah Jenderal Leon, Sang Singa dari Schiereiland yang sedang kau cari itu!”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Sri Astuti
wah.. mrk jd bertukar benda berharga
2025-03-11
0