Sudah beberapa hari sejak kecelakaan itu, Andika masih dalam kondisi tidak sadar. Anita selalu setia menunggu di samping putranya yang terbaring tak sadar itu. Bahkan ketika dia disuruh pulang untuk istirahat oleh suaminya pun dia enggan meninggalkan putra semata wayangnya itu. Setiap saat, dia mencoba mengajak bicara anaknya itu. Hati ibu mana yang tidak sedih melihat kondisi anaknya seperti itu.
"Bagaimana Ma, keadaan Dika, apakah sudah ada perkembangan?" tanya Wijaya tiba-tiba membuat Anita tersadar dari lamunannya.
"Masih belum, Pa...Bagaimana keadaan Pak Handoko dan istrinya Pah? Pasti mereka sangat terpukul atas kepergian Erina." Anita membayangkan betapa sedihnya hati calon besannya itu yang kehilangan putri kesayangan mereka. Meski hati kecilnya merasa bersyukur, putranya masih hidup sampai saat ini, tetapi dia juga merasa sedih kehilangan calon menantu yang sudah dianggap seperti anaknya sendiir.
"Pak Handoko cukup tabah, tetapi istrinya....." terdiam sejenak tidak melanjutkan perkataanya setelah mengingat kembali kejadian yang terjadi di pemakaman tadi. Dia tidak mau menambah kesedihan istrinya dengan mengatakan bahwa istri sahabatnya itu menyalahkan Andika atas kecelakaan yang menimpa putri mereka.
"Mudah-mudahan mereka tetap kuat ya, Pa..." lanjut Anita.
"Iya, semoga seperti itu. Dengar-dengar, setelah pemakaman Erina selesai, Pak Handoko akan memboyong istrinya untuk tinggal sementara di luar negeri, supaya bisa mengurangi kesedihan mereka."
"Iya ya Pah, pasti mereka akan sedih sekali jika mereka masih tinggal di rumah yang sama, setiap hari tentu akan kepikir dengan Erina." Anita membayangkan jika dia berada dalam posisi itu, diapun mungkin tidak akan mampu jika harus tinggal di rumah, mengenang keberadaan anaknya seandainya putranya itu juga meninggal dalam kecelakaan.
Tiba-tiba, tangan Anita yang kebetulan sedang memegang tangan Andika merasakan gerakan-gerakan kecil. Anita terkaget.
"Pah....Dika...Pa...Dika..." teriak Anita
"Aku akan panggil dokter." melihat gerakan kecil jari Andika, spontan Wijaya langsung lari keluar untuk memanggil dokter.
Sesaat kemudian, Andika pun telah membuka matanya dan dia masih setengah sadar. Diapun masih sangat lemah sehingga belum bisa bicara sepatah kata apapun.
"Bagaimana Dok, keadaan anak saya?" tanya Wijaya kepada dokter Hadi yang masih sibuk memeriksa Andika.
"Syukurlah, anak Bapak bisa sadar lebih cepat dari perkiraan saya. Hanya saja, kondisinya masih sangat lemah. Jadi, belum memungkinkan untuk diajak bicara saat ini." Dokter Hadi menjelaskan sambil memeriksa denyut jantung pasiennya itu.
Melihat anaknya sudah sadar, Anita sangat senang. Ingin sekali, dia memeluk putranya saat itu juga. Namun, ptiba-tiba dia menjadi sedih, ketika melihat pandangan Andika yang sedang menatapnya seolah-olah dia adalah orang asing.
Sesaat setelah dokter Hadi pergi, tinggallah Andika beserta kedua orang tuanya di dalam ruangan itu.
" Anda siapa?" tanya Andika dengan suara lemah yang mengagetkan Wijaya dan Anita seketika itu juga.
"Ini mama nak, ini mama...." jawab Anita sudah hampir menangis mengetahui anaknya tidak mengingat siap dia.
"Tenang ma, bukankah kita sudah tahu ini sebelumnya dari dokter....tenang...." Wijaya berusaha menenangkan istrinya sambil merangkul wanita itu.
"Tetapi, Pah...Dika...." akhirnya meledaklah tangisan Anita.
Andika semakin bingung dengan apa yang dilihat di depannya itu. Dia bingung siapa kedua orang itu, Kenapa wanita itu menangis. Dia ingin bertanya, namun dia masih sangat lemah untuk banyak berkata-kata. Akhirnya dia terlelap kembali.
Setelah menunggu semalaman, akhirnya pagi itu Andika terbangun. Sepertinya dia mulai lebih segar sedikit, meski masih terasa susah untuk bicara.
"Kamu sudah sadar, Nak? Mama kangen sekali dengan kamu....kamu membuat mama kuatir sekali." sapa wanita paruh baya yang terlihat begitu kusut namun sisa-sisa kecantikannya saat muda masih terlihat jelas.
"Maaf....Anda siapa? Saya tidak mengenal Anda?" tanya Andika pelan
"Ini mama, Nak... Mama yang melahirkan kamu..." jawab Anita dengan mata berkaca-kaca berusaha menahan air matanya yang sudah hampir keluar dari ujung matanya. Sementara itu Pak Wijaya barusan pulang ke rumah untuk berganti pakaian dan membawa beberapa perlengkapan yang dipesankan oleh istrinya itu.
"Maaf...tapi, saya tidak ingat, saya punya mama seperti anda ini." Andika terlihat ragu memandang wanita itu, kemudian beralih ke ruangan sekelilingnya.
"Di mana saya???...Erina....Erina...di mana Erinaku? Akh......" tiba-tiba kepala Andika terasa sakit sekali, ketika dia mengingat sebuah nama. Nama yang tidak asing baginya.
"Erina baik sayang...tetapi saat ini kamu belum bisa menemuinya." jawab Anita mencoba menutupi kebenaran dari anaknya ini, karena dia tidak mau kondisi Andika akan memburuk jika mengetahui kebenarannya ini.
"Istirahatlah sayang, supaya kamu cepat sembuh, Nak..." ujar Anita sambil mengelus kepala Andika. Meski Andika masih merasa asing dengan wanita itu, dia tidak keberatan ketika wanita itu mendekat dan mengelus kepalanya. Dia merasakan ada kedekatan dengan wanita itu, tetapi dia sama sekali tidak bisa mengingat apa hubungan dengan wanita itu.
Setelah diperiksa oleh dokter, tidak lama kemudian, Andika pun terlelap kembali. Kebetulan Wijaya baru sampai dari rumah. Hatinya pilu melihat istrinya yang sedang duduk sedih menatapi putra kesayangannya itu. Dia tahu penyebabnya kesedihan wanita itu, namun dia tidak dapat berbuat banyak mengingat kondisi Andika yang memang sudah dijelaskan oleh dokter Hadi. Anaknya masih bisa hidup sampai sekarang saja dia sudah bersyukur sekali. urusan hilang ingatan, mungkin suatu saat nanti, Andika akan pulih pelan-pelan dan mengingat semuanya. Harap Wijaya menghibur dirinya sendiri supaya tidak ikut terlarut dalam kesedihan bersama istrinya. Dia harus kuat supaya bisa menjadi penopang bagi anak dan istirnya tiu.
"Bagimana keadaan Dika, Mah?" Tanya Wijaya pelan. Mata wanita yang dicintainya itu terlihat sembab. Sejak hari kecelakaan itu, Anita memang sering tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis, rasanya hanya itu satu-satunya cara untuk menumpahkan kesedihannya. Tanda disadari, tubuh istrinya itu terlihat semakin kurus, ketika Wijaya mencoba merangkulnya dan membawanya untuk bisa duduk lebih santai di kursi sofa di sudut ruangan itu.
"Masih belum ada perkembangan, Pah? Dika masih belum mengingat mama...."
"Sabar ya Mah, papa yakin pelan-pelan Dika pasti bisa mengingat semuanya." hibur Wijaya
"Tapi, Andika mengingat Erina Pa, dia tadi menanyakan keadaan Erina. Bagaimana kita akan menjelaskan keadaan sebenarnya kepada dia Pah? Aku takut......hiks...." Kekuatiran Anita dirasakan oleh Wijaya juga.
"Iya, untuk saat ini, kita jangan memberitahukan kebenarannya dulu kepada Dika, jangan sampai dia menjadi shock ... dan memperparah keadaannya."
"Iya Pah, mama setuju." sambil menganggukkan kepalanya, kemudian Anita merebahkan badannya ke dalam dekapan wijaya. Dia merasa lelah sekali dengan semua keadaan yang harus dia hadapi saat ini. Akhirnya, diapun terlelap dalam dekapan suaminya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
Kakak Author😉
like, jejak dan semangat hadir lagi ya untuk kakak😊💪
dari "Cinta Pak Bos"😍
mampir lagi yu kak 😊
2020-11-23
0
Endang Astuti
baguss👍
2020-11-15
1
Sasa (fb. Sasa Sungkar)
sedih kaa..
baper aku..
ada waktu mampir ketempatku ya ka 🤗🙏
2020-08-05
0