Chapter 4

Flashback

Kerajaan Whittaker dipenuhi kabut juga badai salju. Badai salju yang sangat kuat sepanjang sejarah kerajaan. Tak seorang pun berani keluar rumah meski mencari kayu bakar untuk menghangatkan diri.

Namun di tengah badai itu, kebahagiaan menyelimuti seluruh kerajaan. Calon penerus takhta akhirnya lahir setelah sepuluh tahun pernikahan Raja dengan Ratu, bahkan ketiga selir Raja sudah memiliki keturunan lebih dulu.

"Kita memiliki dua putri Mahkota." Tabib Istana melapor pada Raja yang menunggu di samping Ratu dengan setia.

Ruangan dipenuhi suara tangis bayi. Bayi perempuan pertama digendong nya lebih dulu oleh Raja. "Ia adalah putri Mahkota." Selanjutnya Raja menggendong putri keduanya setelah membiarkan putri pertamanya berada di pelukan Ratu, "dan dia akan menjadi putri kerajaan yang setia mendampingi kakaknya."

"Raja.... Bayinya." Ratu terkejut saat melihat perubahan pada putri pertamanya.

Tabib kerajaan mendekat, memastikan bayi itu baik baik saja. Tapi tabib istana turut terkejut. Raja sendiri tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, rambut hitam tipis itu perlahan berubah menjadi putih, tak cukup keanehan berhenti disitu, warna matanya pun berbeda.

Namun tangisan bayi yang berhenti diikuti ketenangan wajahnya membuat hati siapapun disana melunak. Meski pada akhirnya salah satu tabib berkata, "apakah dia putri yang terkutuk."

Hampir saja Raja langsung memerintahkan pengawal untuk memenggal kepala tabib itu sampai akhirnya Raja memikirkan hal yang sama. Tabib yang merasa bersalah langsung bersujud meminta ampun. Raja tidak berkata apapun. Diberikannya putri kedua kepada tabib Istana, matanya menatap sendu pada putri mahkotanya. Harapannya yang selalu dinanti selama sepuluh tahun sirna begitu saja.

Begitu pun dengan Ratu. Di peluknya lebih erat bayi berambut putih itu. Mereka tidak tau bagaimana nasib yang akan menimpa bayi terkutuk itu, pun kerajaan jika membiarkan bayi itu memegang takhta. Tak sekalipun terlintas dipikiran mereka.

Dengan kepala menunduk, penasihat kerajaan menghampiri Raja, "Maaf yang mulia jika perkataan saya salah, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan selain menyembunyikan kelahiran bayi ini. Bahkan yang lebih buruk kita harus membunuhnya."

"Tidak!!! Tak seorangpun bisa membunuh bayi ini!!!" Dengan keras Raja menolak. Wajahnya terlihat memerah menahan marah.

Semua orang di ruangan hanya terdiam menunduk tidak berani menghadapi Raja. Sentuhan tangan Ratu pada pundak Raja mengalihkan perhatian Raja.

"Tidak ada pilihan lain. Kita harus menyembunyikan kelahirannya."

Raja terdiam beberapa saat, menatap sang Ratu dengan lekat, berharap ada jalan keluar lain. Tapi sayang, sang Ratu yang mengerti arti tatapan Raja menggeleng pelan.

"Maaf yang mulia, tapi bayi ini harus secepatnya diumumkan." Penasihat Raja menyahut dengan hati hati.

Dengan berat hati Raja memberi nama kedua bayi itu. "Putri pertama ini akan saya beri nama Delphy Frostine, namun kebenarannya akan selalu disembunyikan dan hanya diketahui oleh keluarga kerajaan serta beberapa pekerja di istana, siapapun yang membocorkan rahasia ini akan dihukum mati."

"Putri kedua ku akan menjadi putri Mahkota, kuberi nama ia Crystal Kimberley. Seluruh kerajaan hanya akan tau Crystal sebagai satu satunya putri Raja."

Bersamaan dengan itu, badai salju perlahan mulai berhenti. Tidak ada lagi kebisingan angin yang mengetuk kaca jendela.

***

Tangisnya pecah di bawah nabastala yang gelap. Kesadarannya perlahan menghilang. Tubuhnya yang sudah tak lagi bisa seimbang ia sandarkan pada pohon. Dadanya terasa sesak. Niat awal tidak ingin mabuk malah harus ia urungkan.

Wajahnya ia sembunyikan di antara kedua kakinya yang ditekuk. Hari ini terasa sangat berat. Bagaimana ia menghadapi setiap orang yang ia temui, berbagai reaksi yang berbeda, makian, pujian, ucapan terimakasih, semuanya terasa menjadi satu dikepalanya.

Entah sudah berapa banyak bir yang ia habiskan di bar, tapi kesadarannya masih tersisa. Digenggamnya surat dari Weaver. Dari sekian banyak hal menyakitkan yang ia alami hari ini, surat itu lebih menyakitkan dari apapun. Ia merindukannya, karena ia mencintainya. Satu fakta itu selalu ia pendam selama ini, bahkan selamanya.

Malam itu, untuk pertama kalinya ia menyesali semua perbuatannya. Ia menyesal harus menyamar menjadi laki laki, ia menyesal harus terlahir sebagai putri yang terkutuk, dan penyesalan terbesarnya ia yang selalu menyembunyikan perasaannya kepada Weaver.

****

Kepalanya terasa sakit saat terbangun. Rasanya ia tidak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Hanya saja, teriakan dari kakak pertamanya yang terus menerus memaksanya bangun hingga ia tidak sanggup lagi tetap berada di tempat tidur.

"Kak, tidak ada hal yang bisa kakak lakukan lagi selain mengganggu tidurku?" Sambil berusaha meminum segelas air, Delphy menatap Colden dengan tajam.

"Ada banyak hal yang harus anda jelaskan wahai Tuan Pengawal." Colden melipat kedua tangannya di dada memberikan efek intimidasi pada Delphy. "Habiskan sup mu, itu akan meredakan sakit kepalamu."

Tanpa menjawab Delphy menghabiskan sup nya dengan perlahan.

"Bisa kamu berhenti membuatku khawatir?" Kali ini Colden berkata dengan pelan. Tatapan tajamnya melunak.

"Memangnya apa yang perlu kakak khawatirkan?"

"Kamu. Kamu yang harus ku khawatirkan."

Tidak ada jawaban apapun dari Delphy hingga ia menyelesaikan sarapannya. "Aku hanya mabuk sedikit, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Ia turun dari tempat tidurnya berniat membersihkan diri. "Sebaiknya kakak pergi, masih banyak yang harus dikerjakan bukan?"

Colden menggeleng lemah, "Aku tidak akan pergi sampai kamu mau berbicara denganku."

"Terserah, ikuti saja aku semaumu. Karena memang tidak ada yang ingin kubicarakan."

Lagi lagi Colden harus menyerah dengan sikapnya. Bagaimanapun caranya, Colden tidak pernah berhasil membujuknya. Colden keluar dari kamar Delphy. Tujuannya saat ini, prajurit yang menemani Delphy kemarin.

Rasanya Colden ingin menghabisi kedua prajurit itu setelah membiarkan Delphy sendiri di luar Istana. Melihat bagaimana kedua prajurit itu semalam kembali tanpa Delphy, tanpa pikir panjang Colden menyusul Delphy.

Cukup mudah menemukannya. Rambut putih saljunya itu akan tampak sangat mencolok dimanapun ia berada. Dengan bau alkohol yang tercium jelas, Colden menemukannya tertidur di bawah pohon di temani cahaya bulan, jangan lupakan mata sembabnya yang terlihat jelas.

Jika saja itu Blaze atau Bach, Colden pasti sudah mengadu pada ibu mereka. Tapi jika Delphy, tidak mungkin ia mengadu pada Ratu yang hanya memperhatikan Crystal.

Baru saja ia memikirkan Ratu, wanita dengan kedudukan tertinggi di kerajaan Whittaker itu malah muncul dihadapannya bersama Blaze yang tampak kewalahan berbicara dengan Ratu.

"Selamat pagi Yang Mulia." Colden menyapa sambil membungkukkan tubuhnya sesaat.

"Pagi Colden." Ratu menjawab dengan elegan meski di wajahnya tersirat amarah. "Kudengar Kau menemui Delphy pagi ini."

Dengan sedikit kebingungan Colden mengiyakan. Jarang sekali Ratu menyinggung gadis itu, pikirnya.

"Kudengar juga, ia pulang bersamamu semalam dalam keadaan mabuk."

Colden membelalakkan matanya. Sial, Ratu mengetahuinya rupanya, pikirnya.  "Sebenarnya, ia tidak semabuk itu." Sejak dulu, Ratu memang jarang berbicara dengan Delphy, kecuali ketika gadis itu membuat masalah, Ratu akan menghukumnya tanpa ragu. Colden tidak ingin membayangkan apa yang akan terjadi pada Delphy pagi ini.

Ratu melanjutkan perjalanannya. Dengan Blaze di belakangnya yang menatap Colden seakan berkata Kak, tolong lakukan sesuatu.

Tanpa pikir panjang Colden mengikuti mereka. Berbagai cara laki laki itu berusaha meyakinkan Ratu, tapi emang dasarnya Colden payah dalam hal meyakinkan, sampai di kamar Delphy pun Ratu tak menghiraukannya. Dibukanya pintu kamar Delphy dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

Disana terlihat Delphy yang baru selesai berpakaian dan LIlian terkejut dengan kehadiran Ratu dan kedua kakaknya. Delphy membungkuk hormat, "Apa yang membuat Yang Mulia Ratu  jauh jauh kemari?"

plakk

Bukan jawaban yang diterima Delphy, melainkan tamparan keras dari Ratu. Ia meringis merasakan panas dan perih di pipi kirinya. Pasti ketahuan mabuk, batinnya. Delphy menatap tajam Ratu. Rasa tidak terima dalam dirinya membuatnya ingin meledak saat itu juga.

"Rumor tidak mengenakkan di Istana hanya karena seorang putri yang terkutuk." Ratu berkata dengan nada merendahkan, "Kau tau, akibat perbuatanmu, Pangeran Colden di rumorkan penyuka sesama jenis, menyukai pengawal pribadi Putri Mahkota." Kali ini Ratu berbicara dengan nada tinggi.

Colden terkejut bukan main, rumor tersebar begitu cepat hingga sampai ditelinga Ratu sebelum dirinya sendiri, bahkan saat ia membangunkan Delphy pagi ini ia tidak mendengar rumor apapun.

Delphy mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya itu salah saya?"

Jawaban dari Delphy mengejutkan semua orang yang berada di ruangan itu. Untuk pertama kalinya Delphy melawan ucapan Ratu. Selama ini Delphy selalu menuruti perkataan Ratu meski Ratu tidak pernah menganggapnya sebagai putrinya sendiri.

"Kau masih berani bertanya?!"

Ratu hampir melayangkan tamparannya lagi, namun Colden menghalanginya, "Yang Mulia tolong tenangkan diri anda, itu hanya rumor belaka yang akan reda dengan sendirinya."

Delphy kembali bersuara, "Salahkan saja saya, memang sejak kecil saya hanya putri terkutuk yang tidak berguna, tidak ada orang tua yang mendidik saya sejak kecil, jadi saya tidak tau bagaimana caranya bertingkah dengan baik. Hanya pelayan Istana dan Komandan Claude yang membesarkan saya, jadi saya hanya tau bagaimana cara memegang pedang."

Wajahnya mengeras, giginya bergemelatuk, sedangkan tangannya ia kepal sekuat mungkin. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan?! Saya tidak pernah meminta apapun dari anda! saya tidak pernah peduli jika anda tidak menganggap saya sebagai anak! Karena itu, bisa anda berhenti mencampuri hidup saya?! Anda mungkin berhasil sebagai seorang ratu, tapi anda gagal sebagai seorang ibu." Habis sudah kesabaran yang Delphy simpan selama ini, semuanya terasa mengalir begitu saja dari mulutnya.

Blaze berusaha menenangkan Delphy, sedangkan Colden membeku ditempatnya, ia terlalu terkejut untuk melakukan sesuatu. Pertama kalinya ia melihat bagaimana Delphy marah.

Ratu menunjuk Lilian, "Sepertinya pelayan setia mu itu yang menjadikanmu seperti ini. Bukan masalah besar jika aku memecatnya saat ini juga."

"Jangan berani menyentuhnya meski hanya seujung jari anda!"

"Ibu, aku mencarimu kemana mana, ternyata ibu disini." Crystal yang entah sejak kapan berada di ambang pintu berucap seakan tak terjadi apapun.

Wajah murka yang sejak tadi ditampakkan Ratu kini menghilang tergantikan senyuman lembut, "Ibu hanya menyapa kakakmu sebentar Crystal, apa ada yang kamu butuhkan?" Nada tinggi yang sejak tadi terlontar tergantikan dengan suara yang penuh kasih sayang.

Delphy mengambil pedangnya kemudian berjalan pergi tanpa mengatakan apapun. Ia melewati Crystal dengan pandangan datar. Kakinya melangkah tanpa tau tujuan, yang terpenting ia bisa menjauh dari ratu.

***

Ia menatap pantulan dirinya pada air danau. Tamparan dari Ratu meninggalkan jejak kemerahan dan sedikit bengkak. Masih terasa perih dan ia mengumpat atas hal itu. Tidak ada rasa penyesalan padanya, karena sejak awal perasaannya pada Ratu sudah ia hilangkan.

Pandangannya beralih pada Claude yang berjalan mendekatinya. Komandan Claude melemparkan sebuah bingkisan pada Delphy, "Makanlah, sarapan sup saja tidak akan membuatmu kenyang, apalagi tenagamu pasti terkuras karena bertengkar dengan Yang Mulia."

Delphy memakan sepotong roti yang terdapat di dalam bingkisan. "Terimakasih."

"Ternyata kamu bisa mengucapkan terimakasih, kupikir hanya kata maaf yang akan kudengar."

"Komandan berharap aku mengatakan, maaf merepotkanmu?"

Claude menggeleng, "Cepat habiskan rotinya, kamu masih memiliki tugas dari Raja bukan?"

Dengan sekali suapan, Delphy menghabiskan rotinya, "Komandan tidak pernah membiarkanku makan dengan tenang." Mereka berjalan bersama menuju tempat latihan.

Setibanya mereka di tempat latihan, sudah ada dua puluh prajurit senior berbaris di lapangan.  Masing masing dari mereka sudah sering kali melaksanakan tugas yang berat hingga mempertaruhkan nyawa. Bahkan, Delphy sendiri merasa tidak ada apa apanya dibanding mereka.

"Misi kali ini mungkin tidak seberat misi yang selama ini kalian lakukan, hanya saja Raja meminta saya secara khusus untuk memilih prajurit terbaik." Delphy membagikan sebuah kertas plakat. "Jika penjaga melarang kalian melakukan sesuatu yang berkaitan dengan misi ini kalian bisa menunjukkan ini sebagai surat izin."

"RIchard akan memimpin misi ini."

Prajurit yang berdiri di ujung kanan menyahut, "Baik Kapten."

"Saya akan kembali untuk melihat kemampuan kalian secara langsung, kalian bisa berlatih lebih dulu."

***

Kini, ia berada di perpustakaan pribadi Putri Mahkota. Duduk berhadapan dengan Putri Mahkota dengan pembatas sebuah meja bundar. Ditemani secangkir teh catherine rose dan sepotong lemon cake. Delphy tidak berniat membuka obrolan, karena sejak awal Crystal yang memanggilnya. Jika boleh menolak, Delphy lebih memilih mengamati latihan prajuri elit. Ia tidak ingin berbicara dengan keluarganya untuk saat ini.

Jika saja Delphy tidak ingat perannya sebagai pengawal pribadi Crystal, sudah pasti ia akan menolak pertemuan ini.

"Sudah lama ya kita tidak berbicara berdua seperti ini." Crystal berbicara dengan lemah. Ia menatap sendu kepada Delphy. "Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kamu lihat, aku baik baik saja."

"Syukurlah jika kamu memang benar benar baik." Crystal menyeruput teh nya, "Karena aku sedang tidak baik."

Delphy menghela nafas pelan, "Kamu bisa menceritakan masalahmu kepadaku seperti dulu."

"Sejak peresmian ku sebagai putri mahkota, kamu terlihat menjauh dariku."

"Bukan aku yang menjauh, hanya saja tugas kita semakin banyak."

"Tapi, kamu tidak membelaku lagi seperti dulu." Crystal memalingkan wajahnya, "Kamu sudah tau bukan tentang pertunanganku dengan pangeran Erd dari Ash Shaif besok?"

Belum sempat Delphy menjawab, Crystal kembali bersuara, "Kamu bahkan tau lebih dulu daripadaku, tapi kamu tidak memberitahuku."

"Karena kupikir, seharusnya kamu tau lebih dulu dariku. Aku hanya ditugaskan untuk menyiapkan prajurit." Sebisa mungkin Delphy menjawab dengan tenang, berusaha menutupi kebohongannya, memang benar ia tau lebih dulu dibanding Crystal sejak pertemuannya dengan raja kemarin. "Memangnya ada masalah dengan hal itu?"

"Bisa kamu membantuku membujuk ayah menolak pertunangan ini?"

Delphy menggelengkan kepalanya, "Itu sudah menjadi resiko mu sebagai putri mahkota, jangan menghindar lagi."

"Aku tidak ingin bertunangan dengannya. Kamu tau persis bagaimana arogannya Pangeran Erd saat perjanjian kedua kerajaan dua tahun lalu."

Delphy menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Lalu mau sampai kapan kamu menghindar dari tanggung jawabmu? Dulu kamu bersembunyi saat pertemuan bangsawan, menangis saat tidak bisa memegang busur panah, mengeluh tugasmu sangat berat, perlakuan ayah yang tidak adil. Lalu sekarang kamu memintaku menentang perintah ayah lagi?"

Tidak ada jawaban dari Crystal, gadis itu hanya menundukkan kepalanya menahan tangis. Tangannya di bawah meja meremat gaunnya.

"Seakan takdirmu sudah sangat berat. Berhenti menganggap dirimu spesial, kita bukan anak anak lagi. Maaf jika menurutmu aku berubah, kehidupan yang kujalani penuh dengan darah, tidak mungkin aku tidak berubah." Delphy bangun dari kursinya, "Saya permisi dulu, Yang Mulia, masih ada yang harus saya kerjakan."

Delphy keluar dari perpustakaan meninggalkan Crystal yang kini menangis sejadi jadinya. Satu satunya harapan yang ia punya kini hilang. Raja sudah memarahinya saat menolak pertunangan, begitupun Ratu yang selalu ada dipihaknya. Crystal merasa sendiri saat ini.

Saudara kembarnya menjadi pribadi yang berbeda entah sejak kapan. Ia bahkan tidak mengetahuinya. Dua tahun tidak bertemu, Crystal merasa Delphy sudah menjadi orang asing baginya. Padahal Crystal ingin seperti dulu, ia bisa mengeluh saat iri jika Delphy tidak  dituntut mempelajari buku buku filosofi, tidak mempelajari manner sebagai putri kerajaan, tidak mempelajari ilmu politik, dan kini ia kembali merasa iri dengan saudari kembarnya yang bisa memilih jalan hidupnya sendiri.

Terpopuler

Comments

Shahid Alfatih

Shahid Alfatih

💖

2023-04-30

0

lil'sky

lil'sky

dua kembar itu punya masalah masing masing soal takdir, moga aja mereka ga sampe saling benci:)

2023-04-24

0

ZoeKus Charlotte

ZoeKus Charlotte

ratunya rada2 🙃

2023-02-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!