Halaman depan Istana dipenuhi rakyat yang menghadiri pesta, sedangkan aula Istana dipenuhi para bangsawan beserta keluarga Kerajaan.
Saat Delphy memasuki Aula tak satupun sepasang mata yang tidak menuju padanya saat ia dengan penuh wibawanya berjalan menuju kursinya. Namun, tak satupun juga dari mereka yang mengetahui jika ia adalah Putri Sulung Raja. Hanya beberapa pekerja Istana dan keluarga kerajaan tertentu yang mengetahui hal ini. Rahasia ditutup sangat rapat.
Mereka hanya tau, Delphy Frostine seorang anak laki laki tanpa marga yang menjadi pengawal pribadi Putri Mahkota. Anak laki laki berbakat yang pantas di hormati dan disegani. Anak laki laki yang berjasa yang pantas diberikan penghargaan. Wajar saja, sejak kecil kelahirannya disembunyikan. Setiap kali ia keluar Istana tidak ada pengawal yang menemaninya seperti keluarga kerajaan pada umumnya. Berlatih bela diri sejak tujuh tahun agar ia bisa bebas keluar masuk Istana tanpa ada kecurigaan dari rakyat sebagai pengawal pribadi Putri Mahkota.
Walau penampilannya yang terbilang aneh, tak sedikit anak perempuan yang mengaguminya. Wajar saja, wajahnya yang terbilang netral akan menjadi tampan jika berpenampilan seperti laki laki. Hanya saja tingginya tidak seperti laki laki pada umumnya. Bisa dikatakan ia tampak seperti laki laki imut dengan keahlian luar biasa. Tidak heran kenapa banyak anak perempuan yang jatuh cinta padanya.
"Putri Mahkota tiba!!!" Ujar penjaga pintu dengan suara lantang.
Dari pintu masuk terlihat jelas seorang anak perempuan dengan anggunnya memasuki Aula menuju kursinya yang berada di depan Delphy. Disana terlihat jelas kenapa tak seorang pun curiga jika mereka saudara kembar.
Jika Crystal dengan gaun indah, sepasang sepatu kaca, mahkota di atas kepalanya, beberapa hiasan serta rambut hitam panjangnya yang indah tertata rapih, tak lupa juga wajahnya yang cantik memikat hati para laki laki. Sedangkan Delphy tidak ada gaun indah hanya pakaian yang tidak jauh berbeda dengan pangeran, tanpa mahkota dan perhiasan hanya sebilah pedang yang tersampir di pinggangnya. Rambut putihnya juga ia potong pendek.
"Putri Mahkota kita ini sepertinya sudah lupa dengan saudaranya." Bisik Delphy kepada Crystal.
"Aku minta maaf oke, kamu tau pesta ini acara penting bagiku tentu saja aku harus mempersiapkannya dengan lebih matang." Balas Crystal.
"Yaahhh, setelah dua tahun tidak bertemu ternyata acara ini lebih penting dariku." Nada kecewa yang dibuat buat membuat Crystal jengah. "Kamu tau beberapa kali aku hampir mati di medan perang."
Crystal membelalakkan matanya kemudian memutar badannya menghadap Delphy. "Benarkah?!"
"Hei tentu saja, semua prajurit merasakannya tau. Bahkan Kak Colden yang paling terampil dalam berpedang saja sempat koma dua kali."
Belum sempat menjawab Ratu sudah menegur mereka. "Kamu harus menceritakan semuanya padaku setelah ini." Ucap Crystal mengakhiri percakapan singkat itu.
Delphy menggidikkan bahunya singkat. Kini ia fokus pada rangkaian acara yang ada, sesekali ia mengawal Crystal ke halaman Istana. Hingga kini, acara yang dinantikan oleh semua orang. Peresmian pewaris takhta. Di atas balkon yang menghadap langsung halaman Istana, disaksikan seluruh rakyat Whittaker ia melihat punggung Crystal yang terlihat rapuh.
"Crystal Kimberley Whittaker, usianya kini sudah mencapai tujuh belas tahun. Sudah saatnya kerajaan ini memiliki pewaris takhta. Maka dari itu, ia secara resmi menjadi pewaris takhta selanjutnya. Ia akan menjadi masa depan kerajaan." Ujar Raja dengan suara lantang.
Dadanya terasa sesak saat melihat mahkota Crystal diganti dengan mahkota yang terlihat lebih indah sebagai simbol resminya ia menjadi pewaris takhta. Bagaimana Raja memperlakukan Crystal seperti seorang keluarga kerajaan yang sebenarnya cukup membuatnya kembali masuk kedalam Aula.
Di ambilnya minuman dengan kadar alkohol yang rendah. Ia sedikit merutuki kerajaan yang tidak pernah menyediakan minuman beralkohol tinggi. Belum sempat ia meminumnya, Colden dengan tidak tau sopan santunnya merebut gelas itu. "Tidak ada alkohol untukmu tuan pengawal."
Ia memutar bola matanya kemudian bersedekap, "bisakah anda berhenti menggangguku pangeran?"
"Tidak bisa jika kamu belum berhenti bersikap kekanakan." Colden menaruh kembali minuman itu ke atas meja, "kamu bisa menceritakan segalanya setelah pesta ini."
"Tidak ada yang perlu kuceritakan." Ia menghela nafas pelan. "Tolong katakan pada ayah, aku tidak bisa melanjutkan pestanya tubuhku masih perlu istirahat lebih."
Tanpa menunggu jawaban dari Colden ia melangkah pergi meninggalkan Colden yang menatap punggungnya sendu. Colden tau apa yang ada dipikirannya, sejak ia kecil Colden selalu bersamanya. Berlatih bela diri, memanah, berpedang, mempelejari etika kerajaan, hingga menemaninya di kala ia sakit.
Bagi Colden, Delphy jauh lebih berharga dari Crystal. Di matanya, Delphy bukan seorang prajurit yang kuat, sekuat apapun Delphy dimata para rakyat, prajurit, bahkan Raja, baginya Delphy hanya seorang adik perempuan yang harus ia lindungi. Tidak sekalipun ia melepaskan pandangannya dari Delphy sejak mereka kecil.
Bagi Colden, bahu kecil Delphy bukan untuk memikul beban, bukan untuk sandaran rakyat kerajaan, bukan untuk menaruh harapan masa depan kerajaan melainkan untuk ditepuk dan dikuatkan.
Namun, takdir gadis kecil itu terlalu keras. Tidak dikenalkan sebagai anggota kerajaan hingga harus menyamar sebagai laki laki, tidak mendapatkan hak nya sebagai putri mahkota, menggenggam pedang sejak kecil. Delphy bahkan sudah meminum alkohol sejak sepuluh tahun.
"Kak." Panggilan dari Bach membuat Colden tersadar dari lamunannya. "Delphy, aku melihatnya meninggalkan pesta. Kali ini apalagi alasannya? Bukannya dia menjadi perwakilan pemberian simbolik penghargaan?"
Colden hampir melupakan satu hal itu, Delphy tidak pernah ikut pesta sampai akhir "Dia hanya masih merasa lelah, tentang penghargaan aku akan bilang pada ayah."
Bach menaikkan sebelah alisnya, "Ah, anak itu ada saja alasannya."
"Kamu sendiri sedang apa disini? Bukankah ayah menyuruhmu meladeni para bangsawan?"
"Malas sekali rasanya bersama para bangsawan itu. Mereka selalu merasa lebih dibanding rakyat biasa. Padahal tidak banyak juga kontribusi mereka pada kerajaan." Bach mengeluh sambil memakan sepotong kue.
"Yaaahhh, kamu tau sendiri sebagai keluarga kerajaan menjalin hubungan baik dengan para bangsawan sudah menjadi keharusan." Colden menatap seisi ruangan. "Asal kamu tau saja, aku juga malas berhubungan dengan mereka, hanya saja pajak yang mereka bayar lebih tinggi dari rakyat biasa."
Bach tertawa sarkas, "Motto tiada hubungan tanpa keuntungan itu sepertinya selalu ada dipikiranmu Kak."
"Sebagai keluarga kerajaan tentu saja harus tau setiap keuntungan yang bisa di ambil."
***
Disana ia duduk sendiri, menatap bunga yang tumbuh dengan indah. Walau sejujurnya ia tidak terlalu tertarik dengan bunga. Ditemani semilir angin yang meniup rambutnya seakan tidak ingin membiarkannya sendiri. Seakan bunga itu tidak cukup menarik dilihatnya, ia mengadahkan kepala menatap langit malam yang hanya penuh akan bintang. Dimana dewi malam saat ini? Pertanyaan itu terlintas di kepalanya. Benda langit yang hanya akan bersinar di malam hari itu tidak terlihat.
Tangannya memegang pedang yang bertumpu pada tanah dengan erat. Matanya menatap kosong pada langit, mungkin ia ada disana tapi tidak dengan kesadarannya. Ingatan masa kecilnya terlintas. Masa masa dimana ia masih sering bermain dengan saudarinya. Masa masa diamana tidak ada pembatas di antara mereka.
Kini, pembatas itu semakin kuat. Dinding itu semakin tebal. Gadis kecil yang selalu ia hibur saat menangis itu sudah memiliki beban yang jauh lebih besar darinya. Semua orang sudah memiliki tanggung jawab yang lebih besar, kecuali dirinya. Perang sudah berakhir, hanya hari harinya yang kembali terulang seperti dulu.
Rasanya semua orang menjadi dewasa, hanya dirinya yang masih sibuk dengan pedang. Semua saudaranya akan membicarakan politik, hanya ia yang masih memikirkan bagaimana cara menjadi lebih kuat lagi. Hanya ia satu satunya yang tidak terjun dalam dunia politik kerajaan. Hanya ia yang tidak berhak.
Bukan masalah tidak berhak, ia hanya berpikir mungkin hari hari nya esok akan dipenuhi kesepian lagi. Sejak dulu, saat rapat kerajaan hanya ia yang tidak hadir. Sejak dulu, saat pertemuan bangsawan hanya ia yang berdiri di sudut ruangan dengan sebilah pedang. Sejak dulu, hanya ia yang tidak pernah tau urusan politik.
"Delphy." Suara berat itu, ia sangat mengenalnya. Senyumnya sedikit terbit.
"Ayah." Ia menoleh melihat ayahnya berjalan menghampirinya.
Ayahnya itu, walau usianya sudah memasuki kepala empat wajahnya masih terlihat muda.
Raja Whittaker duduk disebelah putri pertamanya. "Apa yang kamu lakukan disini? Seluruh rakyat menantikanmu di atas panggung. Kamu pemeran utamanya di pesta ini."
"Aku bukan pemeran utamanya." Ia meletakkan pedang itu bersandar pada kursi.
"Begitukah? Meski bukan pemeran utama di pesta ini, tapi kamu menjadi peran utama di hidup ayah." Raja Whittaker merangkul pundaknya dari samping.
Sejak kecil Delphy sangat menyukai tangan ayahnya yang ada dipundaknya. "Apa yang ayah lakukan disini? Ayah harus hadir di pesta sampai akhir."
"Pesta sudah berakhir sejak tadi."
Delphy menoleh pada ayahnya, "Ayah bercanda?"
"Untuk apa ayah bercanda." Raja Whittaker menghadap pada hamparan bunga, "Memangnya apa yang kamu pikirkan sampai lupa waktu?"
Delphy menggeleng singkat, "Tidak ada, tadi aku hanya tertidur sebentar."
"Masuklah ke kamarmu dan tidur."
Delphy mengangguk pelan kemudian berdiri, "Ayah juga, jangan tidur terlalu larut."
"Jangan lupa untuk bermimpi indah." Percakapan singkat malam itu berkahir. "Putri mahkotaku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Shahid Alfatih
like it
2023-04-30
0
lil'sky
mau colden didunia nyata😭
2023-04-24
0
oh ya untuk judul episode sebaiknya kasih penjelasan jangan cuma chapter 1, 2 dst
2023-03-12
0