"Kamu berjanji akan menikah denganku jika kita bermalam bersama!"
Sia tersentak, dia menatap wajah licik lelaki itu dengan tatapan tak percaya.
"Sungguh?" tanya Sia, sambil mendorong mundur lelaki itu, agar jarak mereka tetap terjaga walaupun situasinya tak mendukung.
Lelaki itu mengangguk mantap, dia sedikit berjongkok, sekedar menatap wajah Sia yang menunduk penuh keraguan.
"Kamu ingin dengar rekaman suaranya? Aku sudah membuat rekaman soal kemarin malam karena tahu kamu akan seperti ini saat pagi datang," ucap lelaki itu, berjalan keluar untuk mengambil ponselnya.
Namun saat dia hendak kembali ke kamar mandi, Sia sudah tak ada di tempatnya dengan jendela kamar mandi yang terbuka lebar.
Lelaki itu berjalan cepat ke jendela, menundukkan kepalanya ke bawah, menatap sosok Sia yang sudah ada di pelukan seseorang dengan menatapnya dari bawah.
Dia menghantam bingkai jendela kesal. Wajahnya yang marah, membuat dua orang di bawah sana segera pergi meninggalkan tempat itu.
Lelaki itu melakukan panggilan, mendatangkan seorang lelaki muda berusia sepantaran dengannya, di luar pintu kamar hotelnya.
Klek!
Lelaki di depan pintu itu, terkejut melihat Tuannya tak mengenakan busana yang pantas saat membukakan pintu untuknya.
"Tuan Albert, apa yang terjadi dengan pakaian Anda?" tanya Derick, berjalan masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintunya.
Lelaki bernama Albert itu mengucap wajahnya kasar sambil duduk sofa single yang ada di sana.
Derick berdiri di dekat Albert, menyaksikan wajah muram Tuannya yang mudah berubah menjadi pemarah.
"Kau harus mencari tahu tentang gadis itu! Dia pergi terburu-buru. Jadi dia pasti meninggalkan KTP-nya di resepsionis bawah!" ucap Albert, menghela napas gusar berulang kali.
"Saya tahu beliau, Tuan!" ucap Derick, membuat kening Albert bergejolak.
"Kau tahu dia? Wanita yang bermalam denganku?" tanya Albert, tak yakin.
Tapi Derick tampak begitu yakin. Dia bahkan menunjukkan beberapa potret wanita itu padanya. Membuat Albert mau tak mau mempercayainya.
"Benar, kan? Wanita itu yang bersama dengan Anda kemarin malam. Saya sempat melihatnya sekilas saat dia membuka pintu, mangkanya saya langsung mencari siapa dia. Anda juga tahu jika penglihatan saya cukup jeli, kan?" tanya Derick, menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda.
Albert hanya memutar bola matanya malas, mengembalikan ponsel Derick dan bangkit dari tempat duduknya.
"Berikan aku pakaian baru, dan carikan alamat wanita untukku. Aku harus bertemu dengannya untuk menagih janji!" ucap Albert, seakan memiliki tekad membara untuk bertemu lagi dengan wanita itu.
Derick pun tak paham dengan apa yang di pikirkan olehnya. Albert yang biasanya tak memedulikan para wanita yang tidur bersama dengannya, kenapa kini malah ingin mencari wanita yang tak di kenal?
Derick masih diam di tempatnya, membuat Albert menatapnya dengan pandangan mengintimidasi.
"Kenapa tidak bergerak? Kamu tidak ingin bekerja hari ini?" tanya Albert, setengah menyindir.
Derick segera menggelengkan kepalanya dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu.
"Saya akan segera kembali."
***
Hahhh ....
Lelaki berusia 24 tahun itu menghela napas kasar, memperhatikan Sia yang duduk di sampingnya dengan tatapan lelah.
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Penampilan kamu sangat tidak pantas untuk wanita perawan, Sia!" celetuk Gav, seperti menekan. Padahal dia tak memiliki maksud itu dalam menyampaikan pendapatnya.
Sia melirik sejenak, menatap Gav dengan tatapan setengah takut. "Aku sudah tidak perawan, Gav!" ucapnya.
Gav membulat, menghentikan mobilnya secara mendadak di pinggir jalan, membuat beberapa pengemudi di belakang mereka protes dengan membunyikan klakson mereka.
Tinnnn!!!
"Kau gila? Bagaimana kalau terjadi kecelakaan?" pekik Sia, menatap Gav dengan rasa kesak yang menumpuk.
Sementara Gav hanya bisa diam, menghiraukan omelan itu dan fokus menatap wajah Sia yang memerah karena marah.
"Kau serius? Kamu benar-benar sudah melepaskan segel??" tanya Gav, berhati-hati. Walaupun dia sangat ingin menge-gas saat ini.
Sia menarik mundur punggungnya, menyandarkan diri pada kepala jok mobil. "Memang aku terlihat berbohong?" tanyanya, menatap lawan bicaranya dengan tatapan meyakinkan.
Tak lama setelah itu Gav mengusap wajahnya kasar, membenturkan keningnya pada kemudi mobil dan menatap Sia frustrasi.
"Kau gila? Siapa yang melakukan itu padamu? Lelaki mana yang berani melakukan hal bejat itu padamu? Katakan padaku!" seru Gav, tampak marah, kesal dan geram.
Pokoknya, wajah lelaki itu benar-benar buruk. Bahkan sampai membuat Sia tak berani berkutik untuk menjawab pertanyaan remeh itu.
Gav buang muka, melihat Sia yang bungkam. Dia sudah berpikir jika Sia tidak mengetahui identitas lelaki itu. Dan dia di buat bertambah geram karenanya.
Gav kembali menjalankan mobilnya. Mereka pulang ke rumah dengan selamat.
Gav langsung turun setelah memarkirkan mobilnya di bagasi. Dia tidak menunggu Sia seperti biasanya. Dia langsung pergi dengan wajah muram.
Sia hanya bisa diam, dia segera turun dan menutupi tubuhnya dengan jaket musim dingin Gav, lalu memberanikan diri masuk ke dalam rumah.
Tapi sayang, dia tak akan bisa langsung masuk ke kamar, karena saat ini Gav sudah membawa teman-teman mereka di ruang tengah.
Tatapan lima orang itu jatuh pada penampilan Sia, begitu dia masuk ke dalam rumah dengan wajah kikuk.
Sia gadis yang dingin. Dia bisa saja mengacuhkan mereka dan langsung pergi ke kamar, mengurung diri di sana.
Tapi, kelima orang yang ada di dalam rumah itu adalah keluarganya. Satu-satunya orang yang bisa menerimanya dan memperlakukannya dengan baik sejak kecil sampai sekarang.
Honey, wanita yang sudah berteman dengan Sia sejak dia berusia 10 tahun, berjalan mendekat pada Sia dan berdiri di depannya dengan tatapan sendu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Honey, sedikit merentangkan tangannya, membiarkan Sia masuk ke dalam pelukannya.
Sia menangis. Wajahnya yang terurai air mata membuat Gav tersadar tentang satu hal.
Tentang satu langkah yang membuat Sia semakin menyedihkan di depannya.
"Aku salah memperlakukannya!" pikiran itulah yang terlintas di pikiran Gav, saat melihat wajah cantik Sia mulai memerah dan basah karena air mata dan keringat.
Honey memeluknya semakin serat, menyusupkan wajahnya di leher Sia dan berusaha membisikkan semua kata-kata yang bisa membuat Sia menjadi tenang.
Ya, Sia merasa terpukul. Benar-benar terpukul! Ini adalah pengalaman pertamanya, pengalaman yang harusnya dia rasakan dengan suaminya.
Tapi karena tipu daya alkohol, dia melemparkan dirinya yang frustrasi pada lelaki tak di kenal dan membuat harga dirinya serendah ini.
"Maafkan aku, Han. Aku benar-benar merasa malu!" ucap Sia, mendorong tubuh Honey dan berlari masuk ke kamarnya.
Brak!
Sia menutup pintu dengan sedikit keras, membuat lima orang temannya terdiam dengan suasana tak nyaman.
Honey menatap pada Gav yang tampak murung. "Kau harus minta maaf, Gav. Tidak seharusnya kamu memarahi wanita yang sedang terluka."
Honey mendekati teman-temannya, mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tas laptop yang ada di atas meja, dan memberikan undangan pernikahan itu di hadapan mereka.
"Rion akan menikah dengan wanita lain. Dan mungkin, alasan Sia kebobolan malam itu karena lelaki ini meninggalkannya!" ucap Honey, membuat keempat temannya termenung.
Dan yang paling terpuruk adalah Gav. Orang yang sempat menyentak Sia dengan amarahnya.
"Hahh ... bodohnya aku!" batin Gav, mengusap wajahnya dengan kasar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments