3. Lamaran

Tok ... tok ....

"Masuk," seru Albert, membiarkan Derick masuk dengan adik lelakinya, Lard, yang entah kenapa ada di sini juga.

"Kenapa kau kemari, Lard? Ada sesuatu yang kamu perlukan?" tanya Albert, pada lelaki berusia 23 tahun itu.

Lard hanya menggelengkan kepala dan beranjak duduk di sofa, menatap kedua Majikan dan Sekretaris itu berdiri di satu tempat dengan menatapnya lurus.

"Kenapa, Lard? Jika ada yang ingin di sampaikan, cepat katakan dan keluar dari ruanganku. Ada yang harus aku bahas bersama Derick!" ucap Albert, mengusir.

Lard menarik garis tegas di wajahnya, membuat wajah kalem itu terlihat dingin. "Aku ingin dengar sesuatu, mangkanya duduk di sini."

Albert menarik alisnya melengkung, menatap adiknya penuh tanya. "Apa yang ingin kamu tahu? Kamu saja tidak mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang harus aku jawab?"

Lard menunjuk ke arah Derick dengan gerakan dagu. "Yang akan kalian bahas, itu pertanyaanku!" Lard menatap kedua lelaki itu dengan tatapan dingin.

"Aku dengar gosip miring tentang calon Iparku. Jadi aku menunggu kalian membahasnya. Kalian akan membahasnya, kan?" Lard memberi jeda, dan berkata, "Aku ingin dengar juga!"

Lard kembali diam, sorot matanya yang mengintimidasi membuat Derick dan Albert saling memandang dengan curiga.

"Dari mana kamu tahu hal ini? Tidak ada berita yang terkuak–"

Derick spontan membuka breaking news dan melihat banyak berita tentang Albert di sana.

Melihat kedua mata Derick yang melotot, Albert merebut tablet lelaki itu dan melihat isinya.

Albert menepuk keningnya ampun, wajahnya terpampang jelas, dan untungnya wajah Sia tak tertangkap kamera karena dia memunggungi kameramen ini.

"Jika di lihat dari sudut fotonya, sepertinya di ambil dari kafe yang ada di seberang jalan. Gambarnya terlihat di zoom," jelas Derick, jeli.

Albert menyetujui itu. Dia mengangguk dan mengembalikan tablet itu pada pemiliknya. "Alamatnya?"

"Ya, saya sudah menemukannya, Tuan. Apa Anda mau pergi sekarang? Sebentar lagi Anda ada agenda penting. Anda tidak bisa meninggalkannya," jelas Derick, membatasi pergerakan Albert sebelum lelaki bertindak semaunya.

Albert mendengus kasar, menatap adik lelakinya dengan tatapan lurus.

Lard yang paham dengan pandangan itu, malah beralih menatap hal lain, sebelum memutuskan pergi dari tempat itu.

Albert meletakkan yang hannya di kening, memijit kedua pelipisnya dengan ibu jari dan jari tengahnya, bersamaan. Lalu dia berkata, "Dasar anak tak bisa di andalkan, pekiknya, menghela napas lelah.

***

Sia bangun pukul 10.00 pagi, dia membuka mata dan menatap ke arah luar jendela yang sudah terang-benderang.

Tak ada yang bisa Sia lihat dari balik tirai putih yang menghalangi jendela kamarnya itu. Dia hanya melihat bayangan gedung di depan sana dengan sorot sedih.

Namun rasa sedih itu sirna beberapa saat setelah Sia menerima telepon dari atasannya, Pak Farel.

Sia meraih ponsel yang selalu terletak di atas nakas, tiap kali dia bangun tidur itu. Bangun dari posisi tidurnya dan duduk di atas ranjang dengan menempelkan layar ponselnya ke telinga.

"Halo," ucap Sia, mengawali panggilan itu dengan suara muram.

Lelaki yang hendak marah di seberang sana, kembali menelan semua amarahnya saat mendengar suara lemah anak emasnya itu.

"Kau sakit? Tidak pergi ke kantor?" tanya Farel, menunggu jawaban dari seberang sana dengan sabar.

"Saya akan sampai 30 menit lagi, Pak. Bisakah Anda tidak memarahi saya saat saya datang? Saya benar-benar minta maaf karena datang sangat terlambat," ucap Sia, masih dengan nada lemahnya.

Farel menundukkan kepala, menatap ujung jari telunjuknya yang mengeruk permukaan meja, seraya otaknya sedang traveling ke mana-mana.

"Kalau sakit, jangan datang. Istirahat saja di rumah. Aku sudah lihat artikelnya, malang sekali nasib kamu," celetuk Farel, dengan mengembuskan napas gusar.

Sia mengerutkan kening, menatap ponselnya dengan tatapan terkejut. "Saya sungguh boleh cuti?" tanyanya, melewatkan topik terpenting dari pembicaraan mereka.

"Ya, liburlah selama 3 hari. Lalu masuk setelah para wartawan tenang dan tidak datang ke sini. Aku memberimu cuti dengan cuma-cuma. Kamu harus bersyukur karena–"

Tut!

Belum selesai Farel berbicara, Sia sudah memutuskan sambungan telepon mereka dan kembali tidur dengan senyuman mengembang sempurna.

Sementara Farel yang ada di seberang sana, hanya menggelengkan kepalanya ampun dan melanjutkan pekerjaannya.

Baru 5 menit Sia memejamkan matanya, tiba-tiba suara gemuruh dari dalam perutnya terdengar nyaring, sampai-sampai membuatnya bangun dari tempat tidurnya, dengan wajah kaget.

Klek ....

Honey masuk ke dalam kamar Sia dan memandang Sia yang duduk di atas ranjang dengan tatapan kaget, dengan pandangan aneh.

"Kenapa kamu?" tanya Honey, berjalan mendekat padanya dengan membawa sebungkus roti.

Sia menoleh padanya dan menggelengkan kepalanya cepat. Dia menatap Honey yang mengenakan pakaian casul, dengan tatapan heran.

"Kamu tidak keluar? Bisanya jam segini kamu sudah tidak ada di rumah," celetuk Sia, sambil membuka bungkus roti pemberian Honey dan melahapnya.

"Enggak, hari ini aku kerja di rumah saja. Di luar sangat panas! Turunlah, nanti makan siang denganku. Aku kira kamu masih sedih, ternyata sudah baikkan. Syukurlah," ucap Honey, berjalan keluar dari kamar itu tanpa menutup pintunya.

Sia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan keluar dan mengekori langkah Honey yang pergi menuju dapur.

"Ah, sampai lupa. Ada tamu yang sudah menunggu kamu. Aku lupa menyampaikannya," celetuk Honey, langsung ingat saat melihat sosok lelaki yang duduk di sofa ruang tamu dengan posisi memunggungi mereka.

Sia menaikkan sebelah alisnya, menoleh ke arah ruang tamu dan mendapati Albert tengah duduk di sana sambil menatapnya.

Sia terlonjak kaget, menatap wajah Albert yang sudah menunjukkan tampang liciknya dengan tatapan kesal.

"Kenapa kamu membiarkannya masuk!" seru Sia, setengah menjerit sambil memukul pundak Honey berulang kali.

Melihat wajah sahabatnya yang begitu, Honey pun menatap dua lelaki yang duduk di ruang tamu dengan tatapan bingung.

"Memang kenapa? Dua lelaki tampan mencarimu. Kenapa aku tidak membiarkan mereka bertamu? Aku kan tidak gila," pekik Honey, di sertai senyuman tengilnya.

Sia yang mendengar jawaban membagongkan itu, langsung memukul pelan bahu Honey untuk ke sekian kalinya, sambil loncat-loncat tak senang dan meminta Honey mengeluarkan keduanya.

"Usir mereka. Aku tidak mau melihatnya!" omel Sia, tampak benar-benar enggan.

Tapi Honey tidak menggubris dan kembali duduk di meja makan, melanjutkan acara mengetiknya

Sia menatap Albert yang melambaikan tangan, memintanya pergi ke arah mereka.

Sia mendengus kasar, berjalan dengan langkah malas mendekati kedua orang itu.

Sia memalingkan wajahnya, tak ingin menatap wajah Albert yang masih belum dia tahu namanya, tapi ujung-ujungnya malah tahu alamat rumahnya.

"Tatap aku, kalau tidak! Aku akan menyerukan maksud kedatanganku dengan lantang." Albert mulai mengancam. Bahkan sebelah tangannya sudah menarik turun salah satu tangan Sia yang bersedekap dada, dan menggenggamnya. "Jika itu terjadi, aku pastikan kamu malu!" lanjutnya, masih mengintimidasi.

Sia menatapnya dengan tatapan kesal. Menatap wajah tampan yang setia mengurai senyuman licik padanya. "Apa maumu datang ke sini, sialan?!" desisnya, penuh amarah.

"Melamarmu, Sia!" jawab lelaki rupawan itu, enteng.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!