One + One (4)

Audrey dan Alvaro berada di ruang baca Papa mereka. Ada juga sang Mama yang sedang gelisah duduk di sofa. Suasana hening mencekam. Alvaro gelisah, ia takut akan kena hukuman dan murka sang Papa. Sedangkan Audrey hanya diam tanpa memikirkan apa-apa. Pikirannya sedang kosong.

"Jelaskan pada kami. Apa yang sebenarnya kamu lakukan ini, Alvaro? apa kamu memang sudah hilang akal, sampai rela menjual saudarimu sendiri?" tanya Andrew menatap kedua anaknya yang berdiri di hadapannya.

Alvaro menunduk, "Maaf, Pa. Aku terpaksa melakukannya karena terlilit hutang," jelas Alvaro mengakui kesalahannya.

"Apa? ahhh, aku bisa gila!" kata Andrew mengusap kasar wajahnya.

"Sayang, jangan emosi. Ingat kesehatanmu," kata Rose, yang datang mendekati sang suami.

"Alvaro, jangan buat Papamu kesal. Bicara yang jelas dan jangan ada yang kamu tutup-tutupi," imbuh Rose menatap Alvaro.

"Berapa hutangmu, sampai kau merelakan Audrey? apa tabunganmu habis?" tanya Andrew lagi.

Alvaro terdiam sesaat, tangannya mengepal erat. Ia tidak tahu apakah jawabannya akan meringankan hukuman yang akan ia terima atau malah membuat Papanya murka.

"Bagaimana ini? jika aku tidak jelaskan, Papa akan terus mendesak. Jika bicara terus terang, entah apa yang akan terjadi padaku nanti." batin Alvaro bimbang.

"Alvaro!" sentak Andrew.

Rose terkejut, begitu juga Audrey dan Alvaro. Ini kali pertama Andrew membentak anak-anaknya. Selama ini ia dikenal sebagai sosok Ayah yang baik, dan hangat. Ia sangat menyayangi dua anak kembarnya, Alvaro dan Audrey.

"Sa-sayang. Tolong jangan berteriak. Tenangkan dirimu, bicara pelan-pelan saja," kata Rose takut kalau sampai suaminya kenapa-kenapa karena terlalu emosi.

"Pelan-pelan bagaimana? ditanya saja dia hanya diam seperti patung. Dasar anak kurang ajar!" kata Andrew mengernyitkan dahi.

"Aku memang salah. Tidak seharusnya aku terlalu memanjakannya," guman Andrew terlihat kecewa.

Audrey sedih, melihat Papanya yang kecewa, dan Mamanya yang hanya diam karena tak bisa berkata-kata. Ia ingin angkat suara untuk megakhiri semuanya, tetapi ia kembali ingat akan kejadian semalam yang membuatnya kembali kesal.

"Maaf, Pa. Maafkan aku," kata Alvaro.

"Maaf ... " gumam Andrew menatap Alvaro. Pandangannya lantas beralih ke Audrey, "Minta maaflah pada saudarimu. Jangan pada Papa," lanjut Andrew berpaling muka.

Alvaro menatap Audrey, "Maafkan aku, Re. Aku bersalah," kata Alvaro penuh penyesalan.

Audrey menatap Alvaro, "Aku tidak tahu harus menjawab apa, Al. Aku tidak bisa membencimu, tetapi tidak bisa juga percaya padamu lagi. Kamu adalah satu-satunya orang yang aku percayai selama ini. Aku tidak menyangka kamu bisa punya pikiran sejahat itu. Menjualku untuk hutangmu, apa itu masuk akal?" kata Audrey sedih.

Alvaro mengeryitkan dahi, "Itu juga salahmu. Andai saja saat itu kamu membantuku. Aku tidak akan melakukan hal yang menyedihkan itu," gumam Alvaro. Ia ingat jika Audrey tidak mau membantunya meminjami uang.

Audrey kaget, "Wah ... pada saat seperti ini pun kamu tetap melempar batu, ya. Baguslah, sekarang aku benar-benar ingin menjaga jarak denganmu." kata Audrey kecewa dengan apa yang baru saja didengarnya.

Audrey menatap Papanya, "Bolehkah aku kembali ke kamar, Pa? Aku lelah," tanya Audrey.

Andrew menganggukkan kepala, "Ya, pergilah. Tenangkan pikiranmu. Biar Papa yang mengurus Alvaro." kata Andrew.

Audrey pun pergi meninggalkan ruang baca Andrew. Alvaro masih diam terpaku. Andrew dan Rose saling bertatapan. Digenggam erat tangan Rose oleh Andrew. Kali ini ia akan membuat keputusan yang berat.

"Pergilah ke luar negeri dan lanjutkan belajarmu. Jangan kembali sampai kamu bisa membuktikan, jika kamu berguna untuk Papa dan Mamamu ini." kata Andrew.

Alvaro menatap Papanya, "Papa, apa yang Papa lakukan padaku? ke luar negeri? aku tidak mau," jawab Alvaro tidak senang. Ia menolak perintah Papanya.

"Apa kamu ada diposisi yang bisa menolak kata-kata Papa, setelah menjual saudarimu?" tanya Andrew mengernyitkan dahinya.

"Aku sudah jelaskan. Itu semua bukan hanya salahku. Audrey juga bersalah. Dia tidak mau membantuku dan egois. Aku tidak punya pilihan selain membuatnya membayar." ucap Alvaro meluapkan kekesalannya.

Plakk ....

Satu tamparan mendarat di pipi kiri Alvaro. Rose berdiri tepat di hadapan Alvaro dengan mata berkaca-kaca dan penuh emosi. Ia sudah tidak tahan dengan pemikiran egois putranya. Bahkan sampai akhir pun hanya bisa menyalahkan Audrey, dengan alasan tidak memberikan bantuan.

"Apa kamu sadar apa yang baru saja kamu katakan, Alvaro Shawn?" tanya Rose dengan suara bergetar.

"Ma-Mama ... " gumam Alvaro kaget menatap sang Mama yang ada di hadapannya.

"Sebagai Mama, aku sama sekali tidak pernah pilih kasih padamu ataupun Audrey. Kalian mendapatkan hak yang sama, barang yang sama, jumlah uang yang sama, dan kasih sayang sama. Apa itu masih belum cukup? selama ini Mama hanya diam, saat diam-diam Audrey membantumu, Al. Kamu pikir Papa dan Mamamu tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan? tidak hanya satu, dua kali Mama melihat sendiri Audrey memberikan uangnya padamu. Hanya karena tidak membantumu, kamu lantas membalasnya dengan menjualnya, begitu?" ungkap Rose karena terlampau kesal.

"Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Itu ... " kata-kata Alvaro terhenti karena Rose membentaknya.

"Diam! jangan bicara apa-apa lagi. Aku sangat kecewa padamu. Ikuti apa yang Papamu katakan. Pergilah dan renungkan semua kesalahanmu." kata Rose yang langsung pergi sambil menangis.

"Mama ... Ma, tunggu ... " panggil Alvaro berlari memegang tangan sang Mama.

Lamgkah kaki Rose terhenti. Ia menepis dan menyeka air matanya. Ia berbalik, menatap tajam ke arah Alvaro.

"Jika kamu tetap berpikir Audrey yang bersalah. Maka Mamamu ini juga bersalah dalam mendidimu selama ini. Bagaiamana bisa? bahkan sampai detik ini pun kamu tidak tahu letak kesalahanmu. Benar-benar keterlaluan." kata Rose dengan nada suara dingin.

"Maaf, Ma. Maaf ... " Kata Alvaro merasa takut.

"Jangan meminta maaf hanya karena takut dihukum atas kesalahanmu. Ikuti apa katamu, atau jangan pernah anggap aku ini Mamamu lagi. Paham?" kata Rose yang langsung berbalik dan pergi dari ruang kerja suaminya.

Alvaro melebarkan mata. Bahkan Mamanya sampai sebegitu marah karena perbuatan bodohnya. Alvaro hanya bisa menunduk sedih, menyesali perbuatannya.

Sebagai seorang Mama, hatinya serasa terkoyak. Ia tidak ingin jauh dari anaknya. Akan tetapi ia tidak bisa juga membiarkan putranya terus terjebak dalam lubang yang sama dan terus menyalahkan orang lain.

Andrew melihat kepergian sang istri sampai menghilang dari pandangannya. Ia menatap Alvaro dan mendekati putranya itu.

"Ini pertama kalinya Papa melihat Mamamu begitu emosional. Selama mengenalnya, ia selalu bersikap lembut dan manis." kata Andrew.

Ia menepuk bahu Alvaro, "Kemasi barangmu dan Papa akan urus keberangkatanmu. Ini semua demi kebaikanmu, Al." kata Andrew yang kemudian pergi meninggalkan Alvaro.

Tubuh Alvaro gemetar. Ia pun terjatuh ke lantai. Alvaro menangis. Ia tidak ingin pergi, tetapi ia tidak punya pilihan. Jika melawan, maka ia harus siap dengan kemungkinan yang lebih buruk. Mau tidak mau, ia harus menerima semua akibat dari perbuatannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!