Jim memilih tinggal di hutan dengan alasan yang sengaja dia buat, pria itu hanya ingin menghabiskan waktu dan berbicara dengan bocah pencuri yang tadi dilihatnya.
Mereka berbicara dari jarak yang jauh, bocah itu tak memperlihatkan dirinya dan hanya menjawab saja. Hingga semakin lama mereka berbicara, bocah itu semakin mendekat ke arah Jim yang sedang duduk bersandar di batang pohon yang besar, pria itu juga memejamkan matanya.
Si bocah tak sadar kalau dia sudah berada di depan Jim, dia bahkan protes karena Jim memberikan nama Bori untuk dirinya yang belum memiliki nama. Wajah terkejut si bocah, terlihat sangat menarik di mata Jim.
"Ya, lepaskan aku!" kata bocah itu melawan sekuat tenaga. "Kamu bilang kamu tidak di pihak mereka, buat apa kamu menangkap aku seperti ini?" tanyanya menatap Jim tak suka.
"Hanya untuk melihat wajah imut pencuri kecil kita ini!" balas Jim main-main.
Bocah kecil itu menatap penuh permusuhan kepada Jim. "Ayolah, ceritakan sesuatu untuk ku!" ucap Jim santai. Pria itu menepuk tempat di sisinya beberapa kali, bermaksud untuk menyuruh bocah kecil yang berdiri di depannya ini duduk di situ.
"Kenapa harus?" tanya si bocah dengan nada tak suka, tapi walau begitu, pria kecil itu tetap duduk di sisi Jim.
"Anggap saja bayaran dari roti yang kamu ambil tadi," balas Jim tersenyum usil.
"Aku tak tahu banyak cerita," kata si bocah, akunya dengan suara lirih.
"Kalau begitu ceritakan tentang dirimu saja," tukas Jim tak memaksa.
"Apa bagusnya cerita tentang ku?" dengus si bocah tertawa mengejek.
"Biar aku yang menilai untuk itu!" kata Jim serius. "Kamu tinggal bercerita saja dan aku yang akan mendengarkan!" lanjut pria itu.
"Cih," decih si bocah merasa kesal, tapi dia juga merasa senang karena ada seseorang yang mau berbicara dengannya. Anak kecil itu pun mulai bercerita tentang dirinya, tentang dia yang sudah mulai mencuri makanan sejak dia sudah bisa berlari. Semakin bertambah usianya, semakin mahir juga dirinya bersembunyi.
"Warga desa itu mengatakan kamu juga mengambil uang mereka," tukas Jim setelah bocah di sebelahnya selesai bercerita.
"Buat apa? Memangnya bisa dimakan?" kata si bocah merasa kesal, dia memang mencuri, tapi dirinya hanya mencuri roti atau buah-buahan saja, bukan yang lainnya.
"Hoi, bocah!" panggil Jim. Bocah itu menoleh, menunggu pria yang sejak tadi menemaninya itu melanjutkan perkataannya. "Dari pada di sini terus, bagaimana kalau ikut saja denganku?" tanyanya disertai cengiran lebar.
Si bocah menatap waspada, dia memicing tak percaya. "Berapa banyak yang akan dihasilkan dari menjual seorang anak kecil sebagai budak?" katanya mengambil jarak dari Jim, dia sedikit menjauh.
"Budak?" ucap Jim tak percaya. "Maksudnya kamu?" kata pria itu terkekeh geli. "Memangnya ada yang mau membeli bocah sekecil kamu sebagai budak?!" tambahnya mengejek bocah yang saat ini menatap dirinya dengan tatapan kesal.
"Lalu apa?" ketus si bocah cemberut. "Tak mungkin ada kebaikan yang tanpa imbalan di dunia ini?!" katanya lagi dengan wajah murung.
"Siapa bilang tanpa imbalan?" tukas Jim cepat.
"Tuh, kan? Pasti ada apa-apanya makanya kamu mengajak aku pergi?!" si bocah semakin beringsut menjauhi Jim.
"Ya, bocah!" Jim menyentil pelan dahi bocah itu. "Aku hanya ingin kamu menjadi teman bicaraku saja," katanya menjelaskan
"Sungguh?" tanya si bocah masih tak percaya.
"Sangat! Aku berjanji?!" kata Jim dengan sungguh-sungguh.
Melihat si bocah mulai goyah, Jim pun kembali bersuara. "Kamu tak memiliki siapa pun di sini! Semua orang mengejar-ngejar dan menganggap kamu pengganggu! Bahkan mereka kerap memukuli kamu kalau kamu tertangkap sedikit saja! Lalu apa yang terjadi kalau kamu tak bisa meloloskan diri setelah ditangkap?" Kemungkinan terburuk yang kamu terima adalah kehilangan nyawa, bukan?!"
Si bocah menunduk dalam. "Semua benar," katanya lirih.
"Jadi? Apa kamu mau pergi denganku?" tanya Jim mencondongkan tubuhnya ke arah bocah kecil itu.
"Apa kita akan melarikan diri bersama?" tanya si bocah ingin tahu bagaimana mereka berdua bisa pergi. Tak mungkin warga desa yang memiliki banyak kekesalan padanya membiarkan dia pergi begitu saja.
"Yah, aku sepertinya terpaksa melakukan kebohongan kecil yang dibumbui dengan sangat sempurna agar tak ketahuan," kata Jim santai.
"Baiklah, tapi buatkan nama untukku!" kata si bocah menerima tawaran dari Jim. "Yang bagus, jangan aneh-aneh namanya?!" tukasnya kesal dengan nama yang sebelumnya Jim buatkan untuk dirinya.
"Apa salahnya dengan Bori?" kata Jim berwajah tebal. "Kupikir itu sudah cukup keren!" lanjutnya semakin tak tahu malu.
"Keren dari mananya?!" dengus si bocah membuang muka ke lain arah.
Jim terkekeh pelan, kemudian dia mulai berpikir untuk beberapa saat. "Hmm, karena namaku, Jim. Jadi, nama untuk mu yang cocok adalah ..., Jul!" senyum cerah terkembang di wajah Jim. Dia merasa senang karena telah berhasil menemukan nama yang cocok untuk bocah ini dalam waktu yang cukup singkat.
"Jul?" kata bocah itu berdiri dari duduknya dengan tiba-tiba. "Bercanda juga ada batasnya?!" dengus si bocah menggerutu tak percaya. Apa yang dia harapkan dari seorang pria yang hanya terlihat sangar, tapi nyatanya sangat suka mempermainkan orang lain, bahkan jika itu hanya seorang anak kecil yang jadi lawan bicaranya.
"Apa lagi yang salah dengan nama itu?" tukas Jim dengan wajah bodoh. "Sangat mudah untuk melafalkan nama yang aku buat barusan, jadi pasti tak ada masalah dengan nama tadi?!" kata Jim bersikeras.
"Terlalu aneh!!!" kata si bocah semakin kesal.
"Apa yang aneh dari nama Julius?" Jim tersenyum mengejek menatap bocah yang kini menatapnya semakin kesal lagi dan lagi.
"Argh, seriuslah sedikit kakek tua?!" kata bocah itu dengan wajah memerah. Mungkin dia menyukai nama yang dibuatkan untuknya, tapi dia terlanjur malu karena sudah protes sejak awal dari tadi.
"Ha-ha-ha, makanya, dengarkan dulu kalau ada yang berbicara sampai selesai, bocah!" ucap Jim. "Dan apa maksudmu dengan KAKEK TUA, hah?" Jim melotot berpura-pura marah. "Aku masih terlalu muda tampan untuk disebut kakek, bocah?!" lanjut pria itu bangga akan tampang yang dia miliki. Meski kesal, tapi Julius mau tak mau harus mengakui kebenaran yang ada di dalam perkataan Jim barusan. Dia memang terlalu tampan dan masih sangat muda untuk dipanggil dengan sebutan kakek tua. Tapi kan dia tadi tak sengaja dan hanya salah panggil saja saking kesalnya dirinya.
"Sudah, lupakan itu!" ucap Jim tiba-tiba. "Mohon kerja samanya untuk ke depannya, Julius!" kata pria itu lagi. "Dengarkan ucapanku dan kamu akan berhasil melewati gerbang tanpa banyak berdebat!" katanya menambahkan.
Julius mengangguk, dia menyukai nama barunya. Meski dia tak terlalu percaya pada Jim, tapi dia cukup senang menghabiskan waktu bersama dengan pria itu. Makanya dia memutuskan untuk mengikuti Jim saat ini, kalau ada yang tak beres nantinya, dia bisa kabur sendirian dan berpisah di tengah jalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments